Sabtu, 04 Januari 2014

Tata Kelola Hutan Indonesia Melanggar Pasal 33 UUD 1945


Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) sudah tegas mengatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Seharusnya, prinsip tata-kelola hutan di Indonesia mengacu pada ketentuan pasal 33 UUD 1945 tersebut. Dengan prinsip ini, pengelolaan hutan seharusnya tidak membuka peluang bagi kepentingan swasta. Terlebih lagi, jika pengelolaan hutan itu ditujukan untuk memupuk keuntungan bagi perusahaan swasta.
Sayang, sejak orde baru hingga sekarang ini, prinsip tata-kelola hutan Indonesia makin menjauh dari semangat pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, prinsip pengelolaan hutan sangat mengabdi kepada kapital swasta. Orde baru mengobral perijinan pengelolaan hutan kepada pihak swasta, baik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).
Masalahnya, logika swasta adalah logika mencari keuntungan (profit). Mereka mengabaikan kepentingan rakyat dan keselamatan ekologis. Akibatnya, lebih dari 1 juta hektar hutan di Indonesia rusak atau hilang pertahun. Sudah begitu, pemanfaatan hutan makin terkonsentrasi di tangan korporasi. Catatan KPA menyebutkan, dari 41 juta hektar hutan produksi di Indonesia, itu hanya dikuasai oleh 366 perusahaan.
Lalu, begitu dunia dibayang-bayangi oleh pemanasan global (global warming), yang salah satunya dipicu oleh hancurnya hutan tropis, negara-negara Imperialis seakan hendak berbagai “kepedulian”. Mereka kemudian meluncurkan apa yang disebut “ekonomi hijau”. Kita kemudian mengenal skema yang disebut “Clean Development Mechanism (CDM)”.
Melalui skema itu, negara-negara maju seakan mau “cuci dosa”, yakni dengan memberi bantuan hibah bagi negara-negara dunia ketiga yang punya sumber daya hutan, termasuk Indonesia. Lahirlah program yang disebut “reducing emission from deforestation and degradation of forest (REDD)”. Indonesia sendiri menerima dari pemerintah Norwegia hibah sebesar 1 miliar US dollar untuk program ini.
Pada kenyataannya, REDD justru berusaha mengkomoditifikasi fungsi hutan, yakni menangkap dan menyimpan karbon, untuk kemudian diperdagangkan di Kyoto Carbon Market dan Chicago Climate Exchange. Nah, dalam kerangka proyek REDD ini, korporasi besar pun bisa berpartisipasi dalam proyek menguasai atau memprivatisasi hutan-hutan di dunia ketiga.
Proyek REDD sudah berlaku di Indonesia sejak dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008. Ada 30-an proyek REDD di Indonesia, dengan luas lahan mencapai 26,6 juta hektar. Dengan skema ini, Indonesia menjual murah 26,6 juta hutam alamnya, termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya, kepada korporasi asing seharga Rp. 12,- per meter perseginya.
Inilah yang sedang terjadi di Jambi. Di sana, areal hutan seluas 101.000 hektar dikuasai oleh perusahaan asing bernama PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI). Ironisnya, begitu PT REKI menguasai areal itu, maka masyarakat setempat pun dikeluarkan secara paksa dari lokasi.
Ironisnya lagi, Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan berada di garis depan untuk mengusir petani dan masyarakat adat dari lokasi hutan. Bahkan, Menteri Zulkfli Hasan menuding petani dan masyarakat adat (Suku Anak Dalam) sebagai “perambah hutan”. Padahal, petani dan masyarakat adat (SAD) sudah menempati lokasi itu sudah berpuluh-puluh tahun.
Kita harus sadar, retorika “restorasi hutan” hanyalah cover untuk menutupi agenda komersialisasi hutan Indonesia di bawah dikte negeri-negeri imperialis. Kalau mau menyelamatkan hutan, maka Menhut Zulkifli Hasan mestinya mencabut semua HGU dan HTI yang masih berlaku sampai sekarang. Anehnya lagi, kalau memang mau menjaga hutan, kenapa harus diserahkan kepada lembaga asing (PT. REKI).
Untuk anda ketahui, di pihak lain, Menteri Zulkifli Hasan tetap membiarkan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) untuk mengelola puluhan ribu hektar lahan gambut di Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau. Padahal, warga masyarakat di sana sudah berulang kali mengingatkan bahwa eksploitasi lahan gambut oleh PT. RAPP itu akan merusak lingkungan.
Jelaslah, Menhut Zulkifli Hasan adalah jubir korporasi-korporasi besar. Ia lebih memilih melindungi korporasi besar, termasuk korporasi asing (PT. REKI), ketimbang menjamin hak rakyat terkait pengelolaan hutan. Tindakan Menhut Zulkifli Hasan jelas-jelas melanggar pasal 33 UUD 1945. Karena itu, Menhut Zulkifli Hasan harus dicopot dari jabatannya dan harus diadili sebagai “Mafia” penjual hutan milik bangsa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!