Senin, 10 Maret 2014

Tentang Max Horkheimer


RIWAYAT HIDUP / BIOGRAFI SINGKAT
Max Horkheimer lahir 14 Februari 1895 di Zuffenhausen, dekat Stuggart, Jerman. Ayahnya, Moritz (Moses) Horkheimer mendidik dengan keras dan otoriter. Ayahnya, menuntut Horkheimer mengelola pabrik tenun milik keluarganya. Sekalipun tertekan, Horkheimer mengikuti saja yang apa yang dimaui ayahnya itu. jadilah ia direktur muda. Max Horkheimer adalah anak dari Moriz Hokheimer yang berkebangsaan Yahudi. Ia dididik dengan ketat dan otoriter supaya dapat meneruskan usaha perusahaan tenun ayahnya. Dalam persahabatan dengan Friedrich Pollock, ia berkenalan dengan dunia seni. Pada waktu kemudian, Horkheimer menginggalkan perusahaan tenun ayahnya karena ia dilarang menikahi Rose Christine Rieckher, sekretaris ayahnya, yang berusia sembilan tahun lebih tua. Setelah itu, ia berkenalan dengan filsafat dan belajar bahasa Perancis lewat buku yang berjudul Aphorisme on The Wisdom of Life. Buku inilah yang akan memengaruhi pemikirannya yang pesimistis terhadap rasionalisme yang mengajarkan kehendak buta manusia yang mengakibatkan tragedi manusia itu sendiri.
Tahun 1923 Horkheimer lulus dengan disertasi tentang Immanuel Kant. Tiga tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt dan semakin mendalami filsafat Kant dan Hegel. Ia juga akhirnya menikahi Rose Christine Rieckher. Setelah Perang Dunia I, perubahan peta politik membuat suksesnya Revolusi Bolshevik di Rusia, sehingga banyak cendikiawan Jerman yang beraliran kiri bergabung dengan Sekolah Frankfurt yang beraliran Marxisme. Dari sinilah Horkheimer berupaya untuk menyatakan kritiknya terhadap rakyat yang dicekam oleh kemajuan dalam kebebasan individunya.
Bulan Januari 1931, Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt. Inilah zaman keemasan Sekolah Frankfurt, namun pada tahun 1933 yang beranggotakan kebanyakan orang-orang Yahudi bermigrasi ke Amerika karena tekanan Nazisme. Sekolah Frankfurt berpindah ke Amerika dan berafiliasi dengan Universitas Columbia. Pengalamannya di Amerika makin membuat keprihatinan besar Horkheimer terhadap masyarakat kapitalisme, sehingga pada tahun 1940 para ahli dari Frankfurt sangat pesimis, sebab individu makin terbelenggu oleh sistem. Pemikirannya menjadi pesimis sebab pembebasan tidak mungkin dijalankan dalam masyarakat modern, dia pun menjadi sangat spekulatif dan refleksif, dia memilih agar filsafat diam karena ketidakmampuannya mendorong perubahan.
Pada tahun 1950 dia kembali ke Jerman dan menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa radikal dalam SDS (sizialisticher Deustscher Studentenbund), namun dia sendiri tidak setuju dengan gerakan itu karena memakai kekerasan dalam melakukan aksi demonstrasi. Kemudian Horkheimer justru ditolak oleh para mahasiswa, bahkan dimusuhi hingga mengalami trauma. Pada akhirnya dia menjadi seorang yang religius, sebab menurutnya kebenaran tidak mungkin ada tanpa adanya Allah. Hal ini memengaruhi warna dari Sekolah Frankfurt juga, yang tadinya optimis menjadi pesimis terhadap perubahan masyarakat. Dia meninggal pada 7 Juli 1973.
Ada sahabat sejati Horkheimer yang terus mempengaruhi hingga semakin tidak nyaman Horkheimer bekerja menuruti kemauan ayahnya itu, yakni Friedrich Pollock. Pollock, 9 tahun lebih tua dari Horkheimer, anak pengusaha Yahudi, yang terlatih berdagang sebelum ikut berdagang. Berkat pertemanan ini, Horkheimer menyukai bidang seni, sesuatu yang merupakan bidang baru baginya. Dari pengaruh Pollock, ia menyukai filsafat dan masuk ke Frankfurt School. Persahabatan antara Pollock dan Horkheimer bisa dikatakan cukup lama. Hubungan sosial ini terbentuk karena kesesuaian kepribadian antar mereka. Jika Horkheimer sering terbawa mood dan temperamental, sebaliknya emosi dan kendali diri Pollock lebih stabil dan sangat obsesif. Pollock pragmatis, realis, penuh kewaspadaan dan sering mengatur rutinitas sederhana untuk membantu Horkheimer. Nama popularitas Horkheimer juga karena kepiawaian mengajar. Seperti dinyatakan Martin Jay,
” Hal yang paling indah adalah mengajar, bahkan selama liburan ia tidak kehilangan kontak untuk mahasiswa ” (Martin Jay, 2005 : 405).
Sekalipun Marx Horkheimer bukan orang pertama diserahi mengelola The Frankfurt Institute for Social Research (Institute fur Sozialforsschung), tetapi dari sentuhan Horkheimer lembaga ini menemukan bentuknya, terutama saat ia menjabat sebagai direktur (1931-1958). Pada usia muda (35 tahun), Horkheimer tidak hanya mengambil keputusan penting agar institut tetap eksis, tetapi juga mengupayakan agar pemikiran-pemikiran dalam institut tetap independen tidak terkooptasi kepentingan politik manapun. Sebuah keputusan dan mungkin, juga tantangan sekelompok intelektual yang tidak lazim khususnya pada periode 1923-1950.
Sekalipun Horkheimer menekuni disiplin keilmuwan yaitu kebudayaan dan filsafat, tetapi The Frankfurt Institute for Social Research (Institute fur Sozialforsschung) diperkuat oleh ilmuwan dengan beragam latar belakang (filsafat, psikologi, sosiologi dan sastra). Uniknya, sekolah ini juga menerima pendekatan empiris, beberapa penelitian empiris telah dilakukan, salah satunya, Studies on Authority and The Family (German Studies in Prejudice). Dalam perjalanan The Frankfurt Institute for Social Research, peran penting Horkheimer yakni memikirkan dan memfasilitasi pengungsian ke Universitas Columbia, New York. Sampai akhirnya mereka kembali ke Jerman tahun 1949.
Pelarian ke Amerika ini ternyata tidak hanya membuat perkembangan cukup pesat bagi kiri baru di Amerika, tetapi dengan berinteraksinya para pendukung institut dengan ilmuwan-ilmuwan empiris Amerika, seperti: Charles Beard, Robert MacIver, Wesley, Mitchell, Reinhold Niebuhr, Robert Lynd dan beberapa ilmuwan dari Universitas Columbia, maka pengembangan teoritis Madzab Frankfurt semakin matang.

Ilmuwan-Ilmuwan yang Menginspirasi
Ketika Horkheimer menjadi mahasiswa di Universitas Jerman, Hans Cornelius adalah guru yang sangat inspiratif, memiliki daya kritis luar biasa. Dari gurunya itu Horkheimer mendapat tugas menganalisis buku Immanuel Kant yang berjudul Critique of Judgement. Dari situlah, hubungan Horkheimer dengan Cornelius semakin akrab dan membuat Horkheimer menaruh perhatian atas teori kritis. Nantinya bisa disimpulkan bahwa gagasan tentang perlunya teori yang menggugah sangat dipengaruhi dari gurunya itu. Kemudian, pengaruh karya-karya teoritis yakni pertama, Schopenhauer dan Immanuel Kant. Pollock pernah memberikan buku karangan Schopenhauer yang berjudul Aphorisms on the Wisdom of Life. Selain dari gagasan-gagasan Cornelius, pesimisme Horkheimer tentang masa depan masyarakat yang baik juga didapat dari Schopenhauer ini.
Ketertarikan yang kedua, ketika Horkheimer tergila-gila dengan pemikiran Kant, Hegel dan Karl Marx. Bagi Horkheimer, Immanuel Kant adalah filsuf kritis pertama. Sebab, ia tidak mempersoalkan bagaimana merumuskan dan mensistimatisir isi pengetahuan. Kant justru menyatakan bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan lewat itu akal budi mengetahui sesuatu. Bagi pendukung teori kritis, bisa disimpulkan bahwa Kant telah menemukan otonomi subyek dalam membentuk pengetahuannya. Hanya saja, pemikiran Kant tetap dikritik karena masih a historis (Sindhunata, 1983 : 31).
Dari pemikiran Hegel yang sangat mengesankan Horkheimer adalah mengetengahkan perjalanan akal budi untuk mencapai kesadaran diri yang sempurna. Bagi Hegel, kesadaran diri yang lengkap justru ketika ada tekanan-tekanan yang membuatnya bertarung. Dimana masing-masing unsur mengandung kebenaran. Dari sinilah Horkheimer tertarik dengan cara berpikir dialektika tersebut, bahkan dikatakan cara berpikir kritis adalah cara berpikir yang dialektis.
Kemudian yang tidak kalah penting pemikiran Karl Marx, terutama ketika mengkritik sistem ekonomi kapitalis. Dari pandangan sosial dan politik, kapitalis benar-benar merendahkan derajat manusia. Akibat berkompetisi memenangkan bisnis, para borjuis yang sekaligus pemilik modal mengeksploitasi para kaum proletar. Hampir sama dengan Hegel dalam membongkar apa yang menjadi persoalan masyarakat, Karl Marx memperkenalkan konsep dialektika. Hanya saja dialektika Marx tidak bersifat idealis, tetapi materialis dengan melakukan kritik-kritik politik dan ekonomi masyarakat. Horkheimer memandang bahwa kritik ekonomi politik Marx sangat penting untuk mengokohkan kedudukan kritik pada teori kritis. Menariknya, Horkheimer tidak luput merevisi gagasan-gagasan Karl Marx tersebut, mengingat corak kapitalis ketika Marx mengemukakan teorinya dengan ketika Horkheimer dan kawan-kawan hidup tidak sama. Kapitalisme Liberal telah mengalami metamorfosis dan berubah menjadi kapitalisme monopolis. Corak kapitalisme monopolis sama dengan kapitalisme negara, dimana kekuatan masyakarat tidak murni digerakkan variabel-variabel ekonomi, tetapi sudah ada intervensi kekuatan yang lebih besar yakni negara.
Selain beberapa pemikir besar tersebut yang mempengaruhi pandangan dan gagasan Horkheimer. Juga, masih ada para filsuf yang juga tidak boleh dikesampingkan, yakni : Nietzche, Dilthey dan Bergson. Pandangan Dilthey yang menyatakan bahwa ilmu sosial lebih didasarkan pemahaman dan pengalaman ulang disetujui oleh Horkheimer. Dimana dalam bahasa Horkheimer sebagai kebermaknaan struktur sejarah. Hal yang tidak disetujui Horkheimer ketika Dilthey menyatakan bahwa makna ini secara intuitif dapat ditemukan oleh sejarawan yang mengalami ulang masalah yang ditelitinya dengan pikiran sendiri. Singktanya, Horkheimer tidak setuju dengan metodologi Dilthey yang memasukkan pendekatan psikologi untuk analisa sejarah ( ibid, hlm. 69).
Dari pandangan Bergson, Horkheimer tidak menyetujui keyakinan dirinya bahwa intuisi sebagai sarana untuk menemukan kembali kekuatan hidup universal. Ilmuwan yang menginspirasi dalam pembahasan Horkheimer bisa dikatakan tidak sama dengan kebanyakan ilmuwan sosial yang lain. Jika ada tokoh yang lebih pada gagasan dan teori-teori ilmuwan sebelum yang dibenarkan, dikembangkan atau dimodifikasi, tetapi Horkheimer tidak seratus persen seperti itu. Beberapa dimodifikasi, beberapa yang lain dikritik, tidak segan ia menolak jika memang menurutnya tidak sesuai.

PEMIKIRAN

Dimulai dari tahun 1931 ketika Horkheimer menjabat sebagai Direktur Sekolah Frankfurt menggantikan Carl Grunberg, dia berpidato tentang filsafat sosial sebagai "interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetap sebagai anggota [masyarakat]. Jadi, obyek filsafat sosial sekarang adalah semua kelembagaan yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara menyeluruh", bukan filsafat yang memaksa nilai filosofis manusia dalam pengangguran, keterasingan dan penindasan yang dilakukan oleh kelas penguasa. Dia memakai pandangan Karl Marx dalam anggapan bahwa kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian, filsafat sebagai semata - mata cermin dari bidang ekonomi, dan bukan dengan vulgar memakai sumbangan Hegel tentang kendali Roh, namun pada dialektika antara realitas material dan mental. Dalam pikiran yang bergerak di bidang ideologi inilah, ideologi dipandang sangat berperan dalam ikut mengacaukan kenyataan sosial. Dua hal yang menjadi perhatian teori kemasayarakatan Horkheimer adalah bidang sosiolgi politik dan kebudayaan.

Ini adalah salah satu kutipan karya Horkheimer dalam buku Eclipse of Reason pada tahun 1933 ketika dia di Amerika dalam puncaknya menentang kapitalisme. “ Individu-individu sejati zaman ini adalah martir-martir yang tenggelam dalam neraka-neraka penderitaan dan keburukan dalam perlawanan mereka terhadap perbudakan dan penindasan. Mereka bukanlah kepribadian-kepribadian yang mendongak, kaum terkemuka seperti lazimnya. Pahlawan-pahlawan tak dikenal itu secara sadar menyatakaneksistensinya sebagai individu-individu terhadap pembinasaan secara teror. Lain dengan mereka-mereka yang secara tidak sadar menanggung pembinasaan itu lewat proses sosial. Martir-martir tak bernama dari kamp-kamp konsentrasi adalah simbol-simbol dari kemanusiaan yang mencoba untuk lahir. Filsafat bertugas untuk menterjemahkan apa yang mereka kerjakan ke dalam bahasa yang dapat didengar, meski suara mereka dibungkam oleh tirani.

Munculnya Sekolah Frankfurt berbarengan dengan suburnya kapitalisme monopolis di Eropa. Sekolah Frankfurt, termasuk Horkheimer memandang kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta mereta digulungnya. Hal ini cenderung menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas.


DIALEKTIKA PENCERAHAN

Karya yang terkenal dari Horkheimer adalah buku berjudul Dialektika Pencerahan yang ditulis bersama dengan Adorno pada tahun 1944. Isi buku tersebut adalah kritik terhadapmodernitas, yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer, sebagai sejarah dominasi atau penguasaan. Pemikiran ini mirip dengan kritik Marx. Perbedaannya adalah Adorno dan Horkheimer tidak menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi, melainkan dari dorongan psikologis manusia, yakni kehendak untuk berkuasa. Paham kehendak berkuasa tersebut diambil alih dari Nietzsche. Karena itu, Adorno dan Horkheimer mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri, yakni kesadaran modern dengan rasiosebagai alat utama dominasi. Selanjutnya, mereka juga menyimpulkan bahwa Pencerahan yang dipandang sebagai kemajuan dari cara pandang mitologis, sebenarnya telah menjadimitos itu sendiri. Kemudian mitos itu juga menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang satu terhadap yang lainnya. Contoh kongkret dari penindasan itu adalah munculnya ideologi fasisme Jerman serta kemajuan teknologi yang memanupulasi manusia.
Dalam Dialectics of Enlightenment (1972), Horkheimer dan Adorno seolah memakai teori sebelumnya (Marx dll) namun juga mengkritiknya. Jika Marx hanya pada kapitalisme, maka Horkheimer dan Adorno memiliki lebih banyak aspek yang dipikirkan; politik, alam, kamausiaan dsb. Horkheimer dan Adorno mengkritik 'dominasi' yang biasa dilakukan olehj filsafat barat, bahkan karena terlalu mementingkan kemajuan dan rasionalisasi, maka alam begitu saja menjadi obyek untuk dikuasai. Walau pun demikian, Horkheimer dan Adorno tetap mengakui bahwa manusia membutuhkan makanan, pertanian dan industri bagi teknologi, namun semua itu haruslah dikendalikan agar tidak menjadikan martabat manusia mengalami kemunduran.
Namun yang terjadi adalah identitas manusia justru direndahkan karena keinginan para penguasa, pada pemilik industri, manusia menjadi alat bagi kemajuan teknologi. Dalam hal ini, selain kemajuan teknologi, kakuasaan manusia juga sudah mengalami kealpaan untuk menghargai martabat manusia lain. Hal ini terjadi dalam peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Nazi di bawah kekuasaan Hitler yang membantai manusia layaknya objek saja.

TEORI KRITIS SEBAGAI SUMBANGAN EMANSIPATORIS

Aufklarung atau pencerahan sumbangan Kant dalam diri manusia dimanfaatkan sebagai optimisme oleh Horkheimer. Manusia yang berakal budi dapat mengeluarkan dirinya sendiri dari keterpurukan akibat pihak di luar dirinya. Di sini, akal budi dianggap sebagai bekal untuk mengentaskan manusia yang menurut Horkheimer irasional, padahal manusia haruslah rasional. Lalu Horkheimer memulai teori kritisnya dengan pertanyaan-pertanyaan; "dapatkan teori rasional tentang diri manusia dalam lingkungannya?", "bagaimanakah teori ini menjadi emansipatoris?", "manakah teori yang mampu mengembalikan manusia menjadi rasional kembali?", "di mana martabat dan kepenuhan individu dapat terpenuhi?" dsb. Dari pertanyaan-pertanyaan inilah, dia berteori berbagai bidang sosial dalam usaha menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme yang sedang memonopoli kemanusiaannya.
Kritik-kritik yang dipakai Horkheimer adalah kritik [tradisional]] di mana terdapat tiga hal yang harus dilakukan; 1. dia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat, 2. ia harus berpikirhistoris, 3. ia harus tidak memisahkan teori dan praksis. Namun pada akhirnya terori ini gagal menurutnya. Kegagalan itu terletak pada ketidakmampuan memberikan pengertian rasional tentang manusia dalam alam lingkungannya. Namun sebaliknya, justru membiarkan individu terbelenggu dalam masyarakat irasional. Dari kegagalan inilah, maka teori kritis haruslah menjadi [emansipatoris].
Sifat Teori Kritis
1.      Bersifat historis, dikembangkan dalam situasi masyarakat yg kongkrit shg teori akan mampu melakukan kritikan terhadap masyarakat yang sekarang ada dengan melihat perkembangannya
2.      Kritis terhadap dirinya sendiri, tidak terjebak pada ideologi, shg memungkinkan melakukan verifikasi dengan refleksi
3.      Melakukan kritikan terhadap masyarakat dg membuka kedok-kedok ideologi dalam sistem yg menindas
4.      Bersifat praktis, ingin mewujudkan sistem baru yg lebih manusiawi dan emansipatoris menjadikan manusia sebagai subjek. Memihak kepada yang golongan yg tertindas
Aliran Kritis Generasi Pertama
1.      Pencarian akar-akar yg menyebabkan cara berpikirnya manusia modern hasil pneerahan yg cenderung irasional (cara berpikir positivis)
2.      Proses diterimanya dan pemraktikan cara berpikir positivis yg diterima oleh masyarakat modern

Referensi
David Ashley, Sociological Theory; Classical Statement, A Pearson Education Company, USA, 2001
Gibson Burrel dan Gareth Morgan, Sociological Paradigm and Organisational Analysis, Heinemann Educational Books, New York, 1979
Martin Jay, Sejarah Madzab Frankfurt; Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, Kreasi Wacana, Jogjakarta, 2005
Max Horkheimer, Traditional and Critical Theory, dalam Paul Connerton, Critical Sociology, Middlesex, Penguin Books, England, 1976
Horkheimer, Dialektika Pencerahan, Ircisod, Jogjakarta, 2000
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional : Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Gramedia Jakarta, 1983
(Inggris)James Bohman. 1999. "Horkheimer, Max". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 393. London: Cambridge University Press.
Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 102-114.
(Indonesia) Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia, 1982
(Indonesia) Max Horkheimer., Eclipse of Reason, New York: Oxford University Press, Hlm. 161

(Inggris)Peter M. R. Stirk., Max Horkheimer - A New Interpretation, Great Britain: Harvester Wheatsheaf, 1992

Selasa, 25 Februari 2014

Jika Lelaki & Gadis Bugis saling Terlilit Lewat Pantun Cinta

Kasmaran, membuat hati berbunga-bunga. Jatuh cinta bagai sejuta rasa, laksana terbang di awan. Hingga syaraf pujangga pun aktif on fire. Orang yang jatuh cinta, sangat wajar merangkai kata indah. Sebab dihatinya dipenuhi bunga tak terkira. Namun terkadang, orang yang cinta diam seribu bahasa. Tak mampu merangkai kata. Menyusun kata dan kalimat hingga membentuk pantun cinta, adalah kewajaran bagi orang yang kasmaran. Tak terkecuali orang bugis dalam menyampaikan perasaannya pada lawan jenis.

Lelaki akan mengatakan :
Gellang ri Wata' Majjekko yang artinya Sesuatu yang bengkok dan ditarik keatas = Mata Pancing
Anrena Menre'E  yang artinya Makanan orang Mandar = Pisang
Bali ulu Bale yang artinya Lawan dari kepala = Ekor
Jika disusun sebagai berikut ;
Mata Pancing = Meng (dalam bahasa bugis)
Pisang = Loka (dalam bahasa bugis)
Ekor = Ikko (dalam bahasa bugis)
Jika dibaca terdengar Meloka (ri) iko yang berarti Saya mau kepada anda.
Demikian ungkapan perasaan lelaki bugis pada pujaan hatinya

Perempuan mengatakan : 
Iyya teppaja Kusappa artinya adalah Yang tak henti kucari Rapanna ri yalaE  artinya adalah Bagai yang dijadikan Pallangga Mariyang  artinya adalah Penyangga meriam. Penyangga Meriam adalah Pedati dalam bahasa Bugis disebut Padati. Jika diucap, kata PADATI berkonotasi dengan maksud kata Pada Ati yang artinya Sama Hati atau Sama perasaan. Demikian pantun yang diucap perempuan saat menerima lelaki pujaannya.

Ata (Manusia yang terdefinisikan Budak di Tanah Bugis Makassar)

Pada dasarnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Namun, sesama manusialah yang menciptakan sistem yang memperbudak manusia lain. Budak, orang yang dikontrol oleh orang lain untuk kepentingan kerja dan seks. Budak tidak memiliki hak atas dirinya dan sepenuhnya dikontrol oleh orang lain. Di Sulawesi Selatan, kata "Budak" dapat disepadankan dengan kata "ATA" meski maknanya tidak 100% sama dan memiliki perbedaan arti makna serta proses pembentukannya jika dipadankan dengan makna budak pada umumnya. ATA di zaman dulu terjadi karena beberapa hal, yakni :
Peperangan. 
Saat kerajaan-kerajaan utama berkembang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, relasi antara kerajaan utama (induk) dan kerajaan kecil (anak) bervariasi. Ada yang diibaratkan ibu-anak dan tuan-majikan. Adapun hubungan kesetaraan diibaratkan "kakak-adik". Pihak yang kalah perang akan diambil tanah dan orang-orangnya (joa'). Ia akan dipekerjakan pada lahan tersebut. Status orang-orang tersebut adalah ATA. Terkadang, mereka berkembang biak, sehingga menjadi ATA MANA atau budak yang diwariskan. Sejak zaman kemerdekaan, banyak diantara mereka dimerdekakan. Bahkan tak jarang mengambil/merebut/membeli lahan bekas tuannya tempat leluhurnya mengabdi sebagai budak. Kata Slave berasal dari kata Slavia, yaitu bangsa yang kalah perang dan dijadikan budak. Nampaknya, peperangan sebagai asal perbudakan adalah hal yang bersifat umum dimasa lalu.

Wanprestasi. Sejak bangsa Eropa datang, penggunaan uang sebagai alat transaksi semakin massif. Akibatnya adalah pola hidup juga berubah. Utang yang tak dapat dibayar, menjadi alasan perbudakan. Sehingga orang yang punya utang harus membayar utangnya dalam bentuk bekerja dalam jangka waktu tertentu.
Komoditas Ekonomi. Aktifitas ekonomi kerajaan di tahun 1700-1800an yang terganggu dengan kehadiran VOC di Makassar (Fort Rotterdam), menyebabkan penguasa lokal menjadikan pelabuhan Cenrana (Bone) dan Pare-pare sebagai pelabuhan alternatif untuk perdagangan antar pulau. Di era itu, manusia (budak) adalah komuditas ekonomi yang menguntungkan. Maka ramailah penangkapan manusia untuk diperdagangkan. Mereka bisa saja budak orang lain, orang merdeka bahkan kerabat istana yang ketiban sial. Dari cerita tutur yang pernah kami dengar, seorang putri bangsawan sedang memetik kapas, tiba-tiba serombongan menangkapi dan menjualnya. Hingga akhirnya dibeli oleh bangsawan lokal lainnya. Beberapa waktu berselang, orang tuanya dengan pakaian kebesarannya yang bertabur emas datang untuk membeli kembali putrinya.

Dalam ketatabahasaan Bugis klasik, ATA dapat pula diartikan "keluarga". Kata ATA digunakan saat menyebut person yang lebih rendah dari lawan bicara (orang kedua tunggal). Sebagai contoh pada konteks ;
Bangsawan rendah memperkenalkan diri pada bangsawan tinggi;
Iyya' ATAnna Petta/DatuE, napoanakka sangATAkku (nama orang tua person) yang artinya Saya hambanya/keluarganya Petta/Datue. diperanakkan oleh sesamaku hamba/keluarga

Bangsawan tinggi yang mengerti etika/tata krama/tata bahasa, akan mengerti bahwa yang bersangkutan adalah keluarga dekatnya. Meski yang bersangkutan mengaku "budak" tapi dalam terminologi bangsawan tinggi justru mengerti bahwa yang bersangkutan adalah "orang dekat". Maka setelah memperjelas siapa nama orang tua yang bersangkutan (Sangatakku) maka bangsawan tinggi tersebut (Petta/Datu) akan menghubungkan silsilah yang bersangkutan dengannya lalu memberinya tempat duduk yang pantas, meski yang bersangkutan ingin duduk dibawah/lantai.
Apabila memperkenalkan diri dengan kalimat sebagai berikut :Massijingki tu Pung Datu = Kita berkeluarga Pung DatuDianggap kurang etis/kasar sebab bahkan bangsawan tinggi yang setara tidak menggunakan kalimat seperti diatas. Dan secara otomatis bangsawan tinggi tersebut akan menilai bahwa yang bersangkutan kurang mengerti etika/tata krama yang menjelaskan bahwa bukan berasal dari kalangan istana.

Sesama bangsawan memperkenalkan anak/kemenakan/cucu pada bangsawan lain ;


YinaE ATAtta ri asengnge xxxx  yang artinya Inilah hamba=/keluarga anda/anak saya kita dinamai xxxx 
YinaE ATAmmu puang ri asengnge xxxxYinaE ATAnna Petta/DatuE ri asengnge

Simpulan

ATA secara denotatif memang ada dalam sejarah Sulawesi Selatan. Menunjukkan adanya dinamika ekonomi-politik yang mempengaruhi status sosial seseorang/kelompok. Namun, ATA juga dapat dipahami sebagai "kata ganti orang pertama atau orang ketiga" dalam etika berbahasa.

Mallibu Ittello (Konsepsi Persatuan Manusia Bugis)

Tiap individu terlahir dan berkembang dengan keunikannya. Sehingga tidak ada satupun individu yang identik dengan individu lain. Individu selalu khas dibanding individu lain. Ketika individu ini berkumpul membentuk komunitas, maka keragaman dan keunikan itu membentuk sinergitas tersendiri. Komunitas akhirnya menciptakan keunikannya sendiri, berdasar keunikan individu pada ruang dan waktu yang bersangkutan yang memiliki pengetahuan lokal tersendiri, pun juga dengan makna-makna referensial sendiri. salah satunya adalah kebudayaan di jazirah selatan sulawesi.



Di zaman dahulu, orang Bugis memiliki sejarah yang dinamis. Pernah mengalami kondisi stabil, dinamika politik, peperangan hingga model resolusi pasca konflik. Sehingga, tidak jarang kita temukan dalam naskah attoriolong (kitab sejarah bugis), terselip pesan-pesan filosofis-politis. Atau pesan bijaksana dalam tata kelola negara dan masyarakat. Begitupula pada tradisi tutur masyarakat, terkadang kita temukan idiom yang berkaitan dengan hubungan sosial.


Kembali pada relasi sosial orang Bugis dimasa lalu, pemahaman akan dialektika gagasan dan pentingnya persatuan direpresentasikan pada idiom Mallibu Ittello yang secara harfiah bermakna, bulat bagai telur. Ketika orang Bugis dimasa lalu melakukan musyawarah, tentu ada silang pendapat. 
Musyawarah itu disebut Tudang Sipulung atau arti harfiahnya duduk bersama. Ada juga yang menyebutnya dengan Assipetangngareng atau saling berbagi pendapat. Setelah didapatkan kesimpulan, itulah hasil mufakat yang disepakati. Tentu, ada pihak yang tidak 100% setuju. Namun, kesepakatan yang diambil, harus dijalani bersama. Seperti kita ketahui bersama, bahwa bentuk bulat pada telur tidaklah simetris, namun agak oval atau lonjong. Inilah maksud dari Mallibu Ittello. Bahwa komunitas tersebut, bersatu pada satu kesepakatan meski semua individu tidak sama persis pemikirannya. Hal ini menyiratkan pentingnya mendahulukan persatuan untuk kepentingan bersama daripada egoisme individu. Meski disaat bersamaan juga mengakui kekhasan dan keunikan individu.

Jika kedua tangan kita dirapatkan, masing-masing jari bersilangan, dan telur ditengah, maka sekuat apapun dorongan tapak tangan kanan dan kiri tidaklah dapat memecahkan telur. Hal ini menyimbolkan kekuatan telur tersebut. Telur, disimbolkan sebagai awal kehidupan sehingga merepresentasikan makna hasil permufakatan sebagai awal dari implementasi kedepan yang akan dijalankan.


Mallibu Ittello sebagai sebuah konsep, dimana merupakan titik pertemuan antara jiwa demokrasi yang mengakui hak berpendapat disatu sisi, dan kolektivitas disisi lain. Kekuatan yang lahir dari persatuan disatu sisi, dan keragaman disisi lain. Antara kebersamaan dalam mengeluarkan pendapat di satu sisi, dan implementasi kesepakatan di sisi lain. Mallibu Ittello merupakan sebuah capaian prestasi sosial orang Bugis dimasa lalu, yang kini terkadang semakin terlupakan. 

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!