Minggu, 15 Desember 2013

NEO LIBERALISME DAN GLOBALISASI


Kemiskinan Mencolok.
Di Amerika Latin, gelombang privatisasi yang diminta Word Bank dan IMF telah menghasilkan penganguran, mengantarkan ribuan buruh turun ke jalan menjadi rombongan penganguran. Kontradiksi yang tak terselesaikan di benua ini menjadi terpolarisasi. Kita percaya bahwa Amerika Selatan adalah jaringan lemah dalam rantai imperialis transisional di era globalisasi. Ide-ide ekonomi dan politik yang dihamburkan borjuasi imperialis dan intelejensia mereka tak punya maksud lain yaitu untuk memusnahkan suatu bagian dari masyarakat kita. Kita akan mencoba untuk menganalisa ide ini dalam bentuk yang ilmiah. Suatu tugas untuk intelejensia progreif revolusioner harus dikontribusikan lagi, sebagaimana nampaknya mereka masuk ke dalam periode swa sensor beberapa waktu lalu. Sebagai suatu organiasi politik yang telah berkembang di hati rakyat, kita akan mencoba untuk mengungkapkan ide-ide ini dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tanpa kehilangan makna ilmihnya. Metode ini, dan aksi praktis kita, membuat kita selalu berada di hati dan kepala rakyat, mengesmpingkan harapan banyak orang yang masih mencoba untuk meyakinkan diri mereka sendiri pada tangisan kemenangan Fujimoriisme, dan lainnya yang mengumumkan bahwa penghancuran pada setiap kesempatan yang mungkin, sambil meminta maaf bagi kediktatoran. Ini bukanlah tujuan kita untuk jatuh pada pemakaian "terminologi yang enak" tetapi kita sadar itu sebuah permohonan maaf untuk konsep klarifikasi, dimana banyak orang yang dulunya aktif dalam putaran progersif dan revolusioner mulai memakai, karenanya hanya membuat kebingungan dan harapan yang salah dalam rakyat kita.
Pada saat apa yang disebut "model neo-leberal" menunjukkan dirinya sebenarnya, ada sebuah rangkaian protes sosial dengan kekerasan, sebagaimana di Mexico, Venezuela, Argentina dll, yang membuktikan bahwa tak mencapai hasil yang mereka inginkan , dan bahwa mereka tak bisa lagi menjual harapan yang salah kepada jutaan orang miskin didorong ke dalam kondisi kesedihan ekstrim, di Peru, di Andes kita dan diseluruh benua. "Statement intensi" atau suatu program untuk neo koloni.
Dalam bayangan "statemen intensi" yang dikembangkan IMF, mereka bermaksud untuk menswastakan tanah, sumber daya alam, dan yang tertinggal dari industri kita . Statemen ini adalah program sejati dari pemerintahan (neo kolonial) Amerika Latin dan telah menjadi penyebab penganguran yang besar, kemiskinan, dan kesedihan, dan mereka membuat jutaan orang mati kelaparan, seperti di Somalia. Adalah dalam kondisi ini ketika orang Peru dan Amerika Latin dan organisasi revolusioner mereka harus merencanakan alternatif objektif dan ilmiah untuk melawan sistem pembunuh dan pembinasa ini.


LIBERALISME DAN NEO LIBERALISME
Model ini secara teoritis berasal dari teori klasik liberal milik Adam Smith dan David Ricardo, dan diterapkan di zaman globalisasi. Bagaimanapun jika kita menekankan perbedaan kelas kita dengan klasik ekonomi borjuis, yang tak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita tak melihat kontribusi mereka pada teori ekonomi umum; teori tentang nilai kerja, dimana dengan kelas elemen  lain diperlakukan sebagai basis dimana ketidak adilan teori ekonomi kapitalis diumumkan, dimana mereka yang membuat kesejahteran yang berputar di dunia tak punya akses  untuk itu. Disamping pertanyaan subjektif tentang keadilan dan ketidak-adilan, sistem ini membuat kelas revolusioner, yaitu proletariat, yang dengan kapasitasnya membuat kesejahteraan dan dengan bentuk organisasi sosial dalam proses produksi adalah satu-satunya yang mampu untuk memberi alternatif radikal terhadap kapitalisme. Krisis kapitalisme bukan dibuat oleh kelangkaan barang, seperti dalam ekonomi sebelum kapitalisme, tetapi dengan dampaknya. Dari titik pandang ini, apa yang di sebut "Neo liberal" adalah lebih jauh dari Smith dan Ricardo daripada Marxisme; apologi borjuis mereka tak diharapkan atau mampu untuk masuk ke dalam perdebatan tentang "Teori Nilai", dan dengan usaha mereka untuk mengurangi krtesi produk dan kesejahteraan pada kekuatan besar kapital dan pasar. Mungkin mereka tak mau tahu bahwa kapital ada sebagai produk nilai yang diakumulasikan dan dibuat pekerja, yang kemudian dikonsentrasikan ke dalam tangan swasta. Pada titik ini, yang adalah tulang belakang liberalisme, tak ada pertemuan dengan neo liberal. Dengan cara yang sama  "perdagangan Bebas" yang ditawarkan oleh kaum liberal tak punya hubungan dengan monopoli komersial yang diterapkan oleh kaum globalisasi, atau monopoli multinasional (imperialis). Menurut Jonathan Elliot tahun 1987: "terhitung bahwa pada level pasar dunia, 40% perdagangan tak melalui suatu pasar bebas tetapi melalui perdagangan internal (dalam beberapa perusahaan)". Tahun 1994, Julies Kagian mengatakan dalam "Midle East Internasional" bahwa : "di Amerika Serikat, lebih 80% pendapatan dari barang yang dijual diluar, terbatas dalam dollar, tak datang dari ekspor tetapi dari menjual oleh perusahaan yang berafiliasi".


Globalisasi : Topeng baru Imperialisme
Pendewan pasar adalah tak lain dari produk modal nasional pada tingkat internasional, menghancurkan rintangan fisiknya . Fenomena ini dipelajarii pada permulaan abad ini dan dinamakan "imperialisme" oleh Lenin. Dalam cara ini globalisasi ekonomi hanyalah konsentrasi nilai yang dibuat masyarakat dunia dalam multinasional. Dapat dikatakan kemajuan penyatuan modal bank, finansial dan produksi. Jumlah perusahaan multinasional telah meningkat dari 7000 pada tahun 1970 menjadi 37.000 pada tahun 1992. Bekas perusahan nasional telah bersatu dengan yang lainnya dari negara lain dan mereka menjaga ketergantungan pada yang terbesar. Kekuatan ekonomi perusahaan multinasional lebih besar dari banyak negara-negara nasional. Contohnya penjualan mereka telah naik menjadi 5,5 milliard dollar, 90% yang dibuat negara imperialis utara  dan hanya 10% dibuat di negara produsen selatan. Kekuatan ekonomi multinasional memberi mereka  kekuatan politik tak terbatas melampaui negara nasional.


SEDIKIT SEJARAH
Perkembangan produksi membuat kontradiksi antagonistik antara kepemilikan swasta terhadap alat produksi dan sosialisasi produksi itu sendiri antara modal dan buruh, dan hal ini dihasilkan dalam banyak krisis dan dua perang dunia. Perang-perang ini mengizinkan pemenang untuk memotong pasar dunia lagi, dan mengubur krisis mereka. Pada akhir perang dunia 2, berkumpulnya kapital melalui multinasional sebagian besar Kapital amerika utara, melalui Marshall Plan, untuk mengabsorb apa yang tertinggal modal jepang dan eropa. Multinasional membuat  sebagian besar dari tingkat tinggi pembangunan yang dicapai oleh buruh di negara-negara ini. Bagaimanapun disamping fakta bahwa pekerja menjual labor mereka dalam kondisi baik, dikarenakan pengaruh kompetisi dari negara-negara sosialis, maka tak mungkin untuk mengutamakan kontradiksi antagonis antara modal dan buruh, atau antara produksi alam sosialis produksi dan perampasan  swasta produknya. Tanpa kesadaran ini tak akan mungkin bagi kita untuk menjelaskan ketidak-puasan dan pemogokan di Perancis.
Mungkin bahwa Imperialis atau Globalizer (untuk menggunakan istilah baru), telah menanam uang banyak untuk menginvestigasi bagaimana menghindari krisis dan kebangkitan kekerasan, dan bahwa mereka telah mencapai tahapan kontrol fikiran melalui media massa, tetapi mereka tak berhasil dalam menutupi ketidakpuasan ini, yang tetap tumbuh hari demi hari, dan setiap saat ia jadi lebih sulit bagi mereka untuk membuat orang percaya  bahwa sistem ini tak bertanggung-jawab terhadap persoalan dunia; di utara mereka melihat gelombang imigran dan jutaan dollar dikirim sebagai "bantuan" kemanusiaan pada negara "terbelakang". Pada era pasca perang, mereka mengamankan pasar internal di utara, yang meningkat dalam kedalaman tetapi tak meluas. Hal ini membawa kepada perkembangan konsumerisme. Hal ini dihasilkan dalam borjuisifikasi kelas pekerja, memisahkan mereka dari tugas sejarah mereka. Alasan bahwa ia yang bisa memuaskan kebutuhan dasarnya tak punya kepentingan dalam perubahan sosial. Meskipun mereka sadar akan kenyataan bahwa standar tinggi mereka akan hidup datang dari pemusnahan seluruh orang, setelah sumber daya alam bangsa-bangsa ini telah dirampok. Pemerintahan imperialis mensyahkan hal ini dengan mengatakan bahwa orang selatan itu pemalas dan kepala batu. Diluar itu, mereka juga telah dijangkiti oleh pertumbuhan tak putus-putus dalam pengangguran, yang meskipun bisa ditutupi dengan manipulasi statistik tetapi tak dapat dibantah bahwa kasus dan memindahkan sektor penting populasi dari pasar konsumen.
Cara lain yang mereka coba untuk menghindari atau bangkit dari krisis mereka adalah dengan mengembangkan perang regional jauh dari pusat mereka, yang didasarkan pada agama, rasisme, teritori dll. Mereka menyediakan pasar yang bagus untuk senjata. Tetapi sesuatu yang mengerikan terjadi di dunia globalisasi. Tahun demi tahun  profit terus menurun dan satu-satunya jalan bagi mereka untuk bangkit dari situasi ini adalah dengan memotong upah dan tunjangan sosial, dan hal ini telah menyebabkan gelombang kemubaziran yang massif, pertama di negara-negara selatan dan kemudian di metropol mereka di utara. Tendensi ini tak punya peluang untuk diperbaiki. Perbedaan nya adalah di utara efek sosial tendensi ini ditutupi dengan negara kesejahteraan, sesuatu yang tak kita miliki di selatan. Negara kesejahteraan di utara semakin memburuk, pada saat yang sama kelas menengah di Amerika Latin menghilang, meningkatkan gelombang migrasi eksternal dan internal dalam upaya untuk meningkatkan kondisi hidup mereka.
Proletariat internasional dan organisasinya masuk ke dalam suatu periode pembengkokan kepada pengaruh "negara kesejahteraan-isme" dan "reformisme". Hal ini memundurkan perkembangan praktis dan teori sosialisme dunia untuk waktu yang lama. Bagaimanapun peningkatan luar biasa dari kekuatan-kekuatan produksi tidak dibarengi dengan program alternatif, yang tak hanya akan menahan  peningkatan disproporsi dalam eksploitasi kekuatan buruh dan perampokan sumber daya alam. Itu adalah sebagai contoh tak mungkin untuk mengabaikan fakta bahwa hari ini, disamping kenyataan bahwa kekuatan produksi telah berlipat ganda sejak abad terakhir dan kita telah memasuki fase sebuah revolusi dalam teknologi informasi dan cybernet, orang masih bekerja 8 jam sehari di utara dan jauh lebih lama di selatan. Hal ini masuk akal karena pasti penganguran ketika seseorang dipaksa untuk bekerja  dua atau tiga. Ini di dalam kapasitas setiap pekerja untuk menyadari bahwa hari kerja tak dipotong paling tidak tiga atau setengahnya. Di Amerika Latin, privatisasi terkenal yang diminta oleh World Bank dan IMF telah memicu terjadinya pengangguran. Bagaimanapun melalui tingkatan perkembangan kekuatan produksi yang dicapai di Amerika Latin dan melalui polarisasi kontradiksi yang tak terselesaikan di benua kita.
Kita adalah jaringan lemah di dalam rantai Imperialis. Benua kita telah melalui banyak jalan, kita telah membuat banyak kesalahan dari mana kita percaya kita telah belajar dan sekarang kita menawarkan untuk membangun alternatif sosialis, karena kalau tidak, jika kita tinggal di kerajaan globalisasi imperialis, kita terancam  pengangguran, kesedihan dan pemusnahan. Hal yang digembar-gemborkan para ekonom, sosiolog, para guru manajemen, wartawan dan politisi borjuis adalah bahwa kita saat ini hidup dalam era sejarah baru dimana ekonomi nasional, budaya nasional dan batas-batas kenegaraan sudah kehilangan makna dan luntur oleh sebuah proses “globalisasi” yang cepat dan baru.
Pusat wacana mutakhir ini adalah klaim bahwa sebuah “ekonomi yang benar-benar global” telah muncul atau sedang muncul dimana keyakinan kebijakan ekonomi nasional dan negara menjadi tidak relevan. Ekonomi dunia sekarang didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang telah meng-internasionalisasi-kan aktivitas mereka untuk semacam perluasan, membawa produksi dan penjualan ke begitu banyak negara, dimana mereka (perusahaan-perusahaan tsb) tak punya kesetiaan terhadap suatu negara-bangsa secara khusus dan akan menempatkan investasi dan operasi mereka dimanapun dalam pasar “global”, dimana mereka bisa mendapatkan penghasilan tertinggi. Modal besar sekarang begitu tanpa kaki dan sangat luwes (mobile-pentj) sehingga usaha apapun yang dilakukan pemerintah-pemerintah nasional atau gerakan buruh di suatu negara untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan peningkatan biaya produksi akan menyebabkan para investor melarikan modalnya dari negara tersebut dan merelokasi (memindahkan) operasinya di tempat lain, yang biayanya lebih murah.
Dalam gerakan buruh argumen-argumen tersebut juga laku, dan melahirkan pejabat-pejabat serikat buruh yang merasionalkan pentingnya kaum buruh menerima potongan gaji, kondisi kerja dan tunjangan-tunjangan sosial dalam rangka mendapat pekerjaan. Konsep globalisasi juga telah memenangkan persetujuan diantara mantan penganut kiri radikal yang beralasan bahwa modal besar sekarang begitu luwes (mobile) dan kuat, dan negara-negara nasional begitu lemah jika dibandingkannya, sehingga tidak penting bagi kelas pekerja untuk merebut kekuasaan negara. Teranglah, jika pikiran para globalis benar lalu para Marxis revolusioner diseluruh dunia akan dihadapkan dengan kebutuhan mengkaji ulang secara radikal konsepsi strategik mereka. Benarkah semua itu ?


PERUSAHAAN - PERUSAHAAN TRANS NASIONAL
Menurut Laporan Investsai Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada 37.000 perusahaan transnasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari perusahaan-perusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara maju. Dengan menggabungkan data dari berbagai sumber, seorang akademisi Inggris Paul Hirst dan Graham Thompson, dalam buku mereka yang baru saja terbit Globalization in Question, mencatat penjualan dan aset perusahaan-perusahaan transnasional yang maha besar jumlahnya itu terkosentrasi di negara atau regional “rumah” mereka, “disamping semua spekulasi mengenai globalisasi”. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional disektor manufaktur dengan kantor pusat mereka yang ada di Amerika Serikat pada tahun 1987, 70% dari penjualan mereka dan 67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat sendiri. Di tahun 1993, 67% dari penjualan dan 73% asset mereka berada di Amerika. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada tahun 1987 dan 1993 ada di Eropa dan Kanada. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang jasa, 93% penjualan dan 81% aset mereka ada di Amerika Serikat pada tahun 1987.
Bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Eropa Barat, terjadi penyebaran penjualan dan aset mereka secara lebih luas, tetapi antara 70-90% diantaranya ada di negara “induk” (negara asal perusahaan) dan di negara-negara Eropa Barat lainnya. Untuk perusahaan-perusahaan transnasional yang bergerak dalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75% dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang, begitu juga 97% aset mereka. Antara tahun 1987 dan 1993, terjadi perkembangan konsentrasi aset-aset para perusahaan transnasional di negara “induk/asal” masing-masing, ketimbang trend ke arah “globalisasi”. Dus, perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Inggris yang bergerak dalam bidang manufaktur memiliki 52% dari aset mereka ada di Ingris pada tahun 1987, tetapi pada tahun 1993 aset mereka yang ada di Inggris menjadi 62%. Perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Jepang yang bergerak dalam bidang manufaktur meningkatkan penempatan aset mereka di Jepang dari 64% pada tahun 1987 menjadi 75% pada tahun 1993, sementara perusahaan-perusahaan transnasioal yang berpusat di Jepang yang bergerak dalam bidang jasa yang menempatkan asset mereka di Jepang meningkat dari 77% pada tahun 1987 menjadi 92% pada tahun 1993. Perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang manufaktur mengalami peningkatan penempatan aset mereka di Amerika Serikat dari 67% pada tahun 1987 menjadi 73% di tahun 1993.
Dari statistik di atas kita dapat melihat bahwa, jauh dari apa yang disebut sebagai penyebaran aset dan penjualan mereka, sekalipun menyeberangi bola bumi, justru perusahaan-perusahaan transnasional telah memusatkan baik produksi dan penjualan komoditi mereka di negara-negara “induk”. Dan mereka telah meng-internasionalisasikan operasi-operasi mereka ini yang dikonsentrasikan di negara-negara kapitalis maju lainnya. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tidak merata (uneven) dalam hal investasi langsung (Foreign Direct Investment atau investasi langsung) dan perdagangan dalam skala global.

DISTRIBUSI INVESTASI DAN PERDAGANGAN GLOBAL
Pada tahun 1992 total modal investasi langsung luar negeri seluruh dunia adalah sebanyak US$2 Trilyun. Perusahaan-perusahaan transnasional yang mengontrol modal bertanggung jawab atas penjualan sebesar US$5.5 Trilyun di seluruh dunia. 100 perusahaan transnasional terbesar di dunia memiliki sepertiga dari modal ini. 60% dari investasi langsung luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional adalah berhubungan dengan sektor manufaktur, 37% jasa dan hanya 3% dengan output produk-produk primer, seperti bahan mentah dari tambang dan pertanian. Distribusi modal investasi langsung luar negeri secara geografis sungguh-sungguh tidak merata. 75% diantaranya berlokasi di negara-negara kapitalis maju, secara prinsip di Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yang tertacat hanya 14% dari populasi penduduk dunia. 25% yang menjadi sisa dari investasi langsung luar negeri, 66%nya ditempatkan di 10 negara “sedang berkembang” yang utama --Argentina, Brazil, China, Hong Kong, Malaysia, Mexico, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dam Singapura. Negara-negara ini tercatat merupakan populasi 29% dari penduduk dunia. Namun, dengan termasuknya China didalamnya, dengan populasinya yang 1,2 Milyar orang, statistik ini menggambarkan underestimasi mengenai ketidakmerataan yang riil dalam hal distribusi investasi langsung luar negeri secara global. Investasi luar negeri langsung mengalir ke China sangat terkosentrasi di propinsi-propinsi pesisir, plus Beijing. Jika ini dimasukkan sebagai faktor, nampak bahwa 91,5% dari modal investasi asing langsung global terkosentrasi di wilayah-wilayah bumi ini yang hanya dihuni oleh 28% penduduk.
Selain itu ada juga ketidakmerataan secara geografis dalam hal arus investasi luar negeri secara langsung. 60% dari investasi internasional mengalir di antara “Trio” imperialis Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang. Dari sisanya 40% dari aliran investasi langsung luar negeri --sekitar US$34 Milyard di tahun 1990-1993-- 56% nya pergi ke Asia Timur dan 32% nya ke Amerika Latin. Bukan hanya negara-negara imperialis Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang,yang merupakan organisator dan tujuan utama investasi langsung luar negeri, pola aliran investasi langsung luar negeri negara-negara non-Triad juga memperlihatkan pola yang amat terkosentrasi. Dus, begitu besar investasi langsung luar negeri negara-negara non-Triad dari US megalir ke Amerika Latin. Bagi investasi luar negeri non-triad yang bersala dari Jepang, Asia timur adalah tujuan utama. Bagi investasi langsung luar negeri Eropa Barat untuk negara-negara non-Triad, tujuan utamanya adalah Eropa Timur, Brazil, Afrika Utara dan Barat.
Kosentrasi secara geografis dalam hal akumulasi modal dan aliran investasi langsung luar negeri dapat diparalelkan dengan ketidakmerataan secara geografis dari pola perdagangan global. Pada tahun 1992, total ekspor seluruh dunia adalah US$3.7 Trilyun. 69% dari ekspor seluruh dunia pergi ke anggota negara-negara Triad imperialis dan selanjutnya 14% dari seleuruh ekspor dunia menuju ke 10 besar Negera Dunia Ketiga terpenting dalam term aliran investasi langsung luar negeri. Berarti, 84% dari perdagangan seluruh dunia adalah hanya diantara wilayah-wilayah bumi yang hanya dihuni oleh 28% penduduk.

MARGINALISASI NEGARA-NEGARA TERBELAKANG
Dalam kata lain, sebagian besar mayoritas negara-negara di dunia, yang dihuni oleh hampir tiga per empat penduduk dunia --sekitar 3,8 Milyar orang-- tidak hanya dihapus dalam peta ketika menyangkut investasi langsung luar negeri, mereka juga secara lengkap termarjinalisasi senpanjang menyangkut perdagangan dunia. Jalan utama dimana mereka “terintegrasi” ke dalam ekonomi kapitalis global adalah melalui laporan pembayaran sebesar US$40 Milyar yang mereka buat dalam pembayaran dan servis hutang bagi bank-bank dan pemerintahan anggota Triad imperialis. Tetapi dalam pengelolaan hutang, mereka memberikan tanggungjawab besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial, sekalipun hutang ini hanyalah merupakan bagian marjinal dari hutang seluruh dunia. Pada tahun 1990, jumlah keseluruhan dari hutang yang dimiliki pemerintah-pemerintah lokal dan pusat, bisnis rumah tangga dan non-finansial di seluruh Amerika Serikat sendiri adalah sebesar US$10,6 Trilyun --hampir 10 kali total hutang negara-negara Dunia Ketiga.
Dus, bagi mayoritas penduduk bumi ini, tempat mereka dalam pasar “global” mirip propinsi-propinsi terbelakang imperium Romawi pada masa epos kemunduran dan kehancuran corak produksi (mode of production) perbudakan --dirampok dan dimiskinkan untuk memperkaya orang-orang yang berkuasa dan kaya yang tinggal di pusat imperium. Contoh di atas mengambarkan distribusi investasi langsung luar negeri, perdagangan, aset dan penjualan dari perusahaan-perusahaan transnasional yang memperagakan, bagi segala maksud dan tujuan tersebut, negara-negara imperialis yang menyatakan keanggotaan ekonomi “global”, jika entitas semacam itu dapat benar-benar dinyatakan untuk eksis. Ekonomi kapitalis dunia terstruktur meliputi tiga blok persaingan perdagangan dan investasi yang terpusat di negara-bangsa imperialis, yaitu Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang. Kekuasaan mayoritas perusahaan-perusahaan transnasional “masih hanya” beroperasi di sejumlah kecil negara --secara prinsip di negara-negara “induk” mereka dan di negara-negara “berupah tinggi” lain diantara Triad imperialis.
Bertentangan pernyataan yang dibuat oleh para penganjur thesis globalisasi, perusahaan-perusahaan transnasional tidak mengarahkan investasi mereka ke daerah-daerah dimana upah buruh paling murah. Tidak ada dorongan besar perusahaan-perusahaan transnasional yang berbasis di Jerman, dimana rata-rata tingkat upahnya sebesar $25 per jam, ke cabang-cabang industri di India yang tak ada serikat buruhnya, dimana tingkat upah rata-ratanya hanya 40 Sen per jam. Faktanya, investasi langsung luar negeri dari perusahaan-perusahaan transnasional sektor manufaktur secara meningkat diarahkan ke cabang-cabang industri dengan tingkat pembelanjaan modal tetap tinggi, dengan tenaga kerja yang lebih sedikit tapi lebih terlatih (sklilled), dan dengan demikian tingkat upahnya relatif lebih tinggi (semisal industri kimia, otomotif dan elektronik) dan menjauh dari cabang-cabang industri yang ber-skill rendah, upah-murah dan padat karya semacam tektil, pakain dan sepatu.

‘DIVERGENSI’, BUKAN ‘KONVERGENSI’
Dalam Laporan Pembangunan Dunia 1995, Bank Dunia memperingatkan “ adalah bodoh jika memprediksikan bahwa perbedaan antara negara-negara kaya dan miskin akan secara cepat hilang melalui konvergensi, ataupun meningkatkan (upward) ( standar upah dan kondisi hidup negara-negar miskin menjadi sama dengan yang di negara-negara maju) atau menurun (sebaliknya)”. “Konvergensi”, begitu ditulis dalam laporan tersebut, “ adalah sebuah catatan yang ditujukan kepada para ekonom, yang mendogma pada teori [maksudnya, teori mengenai persaingan sempurna dalam wilayah tingkat-permainan dimana semua pemilik komoditas seimbang --DL], dan dibenci oleh kubu populis di negara-negara kaya, yang melihatnya sebagai ancaman bagi pendapatan mereka. Pengalaman yang lalu, bagaimanapun, dukungan ataupun harapan terhadap yang terdahulu atau ketakutan terhadap yang berikutnya...”Diatas segalanya, divergensi, bukan konvegensi, telah menjadi hukum...”. Lebih jauh : rata-rata pendapatan per kapita negara-negara kaya adalah 11 kali pendapatan per kapita negera-negara miskin pada tahun 1870, meningkat menjadi 38 kali pada tahun 1965, dan 58 kali pada tahun 1985.
Diantara sekitar jumlah tenaga kerja global sebesar 2,5 Milyar orang, 59% sekarang berada di tempat yang oleh Bank Dunia golongkan sebagai “negara-negara dengan upah murah”, 27% di “negera-negera dengan upah menengah” dan hanya 15% yang tinggal di “negara-negara dengan upah mahal”. Itu adalah proyeksi 30 tahun lalu, hanya 10% dari tenaga kerja global yang akan tinggal di “negara-negara dengan upah mahal”. Disamping itu, laporan Bank Dunia tersebut menjatuhkan ide bahwa sebuah “pasar bebas” global yang “terintegrasi’ pasti akan menghasilkan kenvergensi bagi para buruh seluruh dunia. Berikut adalah contoh tipikal dari laporan tersebut: Cerita-cerita mengenai hilangnya integrasi sering menjadi headline: bagaimana Joe kehilangan pekerjaan karena persaingan dengan orang-orang miskin Mexico seperti Maria, dan bagaiaman upah dia (Maria) menurun karena adanya ekspor murah dari China. Tetapi Joe sekarang mempunyai pekerjaan yang lebih bagus, dan ekonomi Amerika Serikat telah mendapat untung dengan adanya ekspor yang meluas ke Mexico. Standar kehidupan Maria telah meningkat, dan anaknya dapat mengharapkan masa depan yang lebih baik. Produktifitas dua pihak buruh tersebut meningkat dengan adanya peningkatan investasi, bagian yang terdanai dengan meningkatkan tabungan buruh di negara lain, dan dana pensiun Joe akan dibayar lebih tinggi melalui kesempatan diversifikasi dan investasi baru.
Laporan yang sama, ternyata, secara faktual menyatakan: “Ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan, antara kelompok-kelompok etnik, dan antara wilayah geografis secara khusus bersifat kekerabatan...Wilayah miskin, semacam negara bagian Chiapas di Mexico, selalu tetap miskin secara relatif sekalipun ekonomi seluruh dunia meningkat”! Cerita singkat Bank Dunia mengenai Joe dan Maria, tentu, tidak menceritakan kepada kita mengenai sesuatu hal yang realistis terhadap kehidupan umumnya seorang “Joe” di Amerika Serikat ataupun kehidupan umumnya seorang “Maria” di Mexico. Ini memang sengaja dirancang untuk mengaburkan fakta bahwa daya beli dari upah buruh-buruh non-supervisory di AS telah jatuh sejak tahun 1973 sampai pada level tahun 1950an, dan rata-rata upah riil di Mexico jatuh hampir 50% selama tahun 1980-an dan standar hidup mayoritas rakyat Mexico sekarang lebih rendah dibanding sebelum Perang Dunia II dulu.

INTERNASIONALISASI MODAL
Tak diragukan lagi, ada tendensi yang kuat ke arah internasionalisasi modal pada beberapa dekade terakhir ini. Munculnya perusahaan-perusahaan transnasional akhir-akhir ini sebagai bentuk dominan organisasi modal besar dibawah kapitalisme monopolis mutakhir adalah buktinya. Tetapi untuk memahami dinamika riil dari tendensi ini adalah penting sekali untuk tidak mengacaukan antara internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi (misalnya, internasionalisasi produksi dan realisasi nilai lebih (surplus value) dengan internasionalisasi kekuasaan mengendalikan modal (misalnya, sentralisasi secara internasional terhadap modal).
Internasionalisasi realisasi nilai lebih, misalnya internasionalisasi penjualan komoditas, adalah sebuah tendensi yang sifatnya inheren dalam kapitalisme, tetapi ia telah berkembang sangat berbeda dalam sejarah corak produksi ini. Dengan perkataan yang lebih luas, internasionalisasi meningkat dari sejak awal abad 19 sampai permulaan Perang Dunia I (waktu itu, ekspor meningkat dari dari 3% dari out put seluruh dunia pada tahun 1800 menjadi 33% pada tahun 1913). Ini jatuh lagi selama gelombang depresi panjang yang menyebabkan tahun-tahun dua Perang Dunia dari 1913 sampai 1939. Kemudian mulai mendaki lagi pada periode setelah Perang Dunia II –meskipun pendapatan perkapita dan nilai ekspor relatif sebelum masa PD I tidak dapat dicapai sampai tahun 1973. Sebelum Perang Dunia II, hanya ada internasionalisasi yang sifatnya marginal dalam hal produksi nilai lebih, diluar bahan mentah utama. Berarti, sangat sedikit perusahan besar yang membelanjakan modal konstan dan variabel nya diluar negara-negara “induk” mereka. Ini mulai berubah setelah Perang Dunia II, karena perusahaan-perusahaan besar berbasis di negara-negara kapitalis maju --terutama, perusahaan yang berbasis di AS-- mulai menginvestasikan dalam bidang manufaktur di luar negeri, atau dengan cara mendirikan perusahaan-perusahaan yang dimiliki anak cabang mereka di negara asing atau melalui cara membeli perushaan-perusahaan manufaktur asing. Sejak tahun 1960-an, ini telah mulai menjadi fenomena umum bagi pemodal besar di seluruh negara-negara kapitalis maju, yang mana untuk pertama kalinya secara aktual mencetak semuah frame-work internasional dengan cepat bagi persaingan modal.
Namun demikian, pembelanjaan internasionalisasi modal adalah tidak perlu kongruen (sama) dengan internasionalisasi kepemilikan modal, yakni fusi modal-modal dari berbagai bangsa menjadi perusahaan-perusahaan multinasional yang tulen, misalnya, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh kapitalis dari berbagai bangsa dimana kewenangan mengatur modal perusahaan tersebut tidak berada dalam tangan kapitalis satu bangsa tertentu. Diluar Eropa Barat, ada sedikit bukti bahwa fusi modal internasional semacam itu sudah atau sedang mulai.

KEKUASAAN NEGARA DAN PERSAINGAN ANTAR-IMPERIALIS
Jika benar-benar ada proses fusi modal besar secara internasional kita akan dapat melihat suatu dalil menurunnya persaingan antar-imperialis, yakni, perbedaan kepentingan ekonomi di antara pemilik-pemilik modal dari berbagai bangsa akan cenderung menghilang dan ini akan mencerminkan menurunnya penggunaan kekuasaan negara-negara imperialis untuk mempertahankan dan memperluas kepentingan kelompok-kelompok kapitalis nasional (AS, Eropa dan Jepang) unutk melawan satu sama lainnya. Sekalipun dalam kasus semacam ini,tentunya, kekuasaan negara imperialis akan tidak saja sekedar “melenyap”. Yang akan melenyap adalah peranannya sebagai sebuah instrumen persaingan antar-imperialis. Peranan negara sebagai pusat pertahanan kepentingan bersama dari para pemilik modal imperialis dalam perjuangan kelas antara modal dan tenaga kerja akan lantang dibandingkan sebelumnya. Lagi, tak ada bukti perihal adanya kemunduran peranan negara-bangsa imperialis sebagai senjata persaingan antar-imperialis. Sebaliknya, semenjak akhir perang dingin telah terjadi intensifikasi penggunaan kekuasaan negara imperialis, khususnya oleh para kapitalis AS, untuk meningkatkan kepentingan ekonominya melawan rival mereka dari Jepang dan Eropa Barat. Contoh yang paling besar adalah konflik dalam hal perjanjian Helms-Burton dalam Kongres AS. Perjanjian tersebut mengijinkan mantan para pemilik perusahaan yang diambil alih oleh negara Pekerja Kuba untuk memboikot perdagangan luar negeri dengan Kuba sebagai kompensasinya. Ini tidak hanya mendorong gelombang protes dari pemerintah-pemerintahan imperialis lain, yang telah menolak menyetujui sanksi hukum terhadap cabang-cabang perusahaan AS di negara-negara masing-masing.
Undang-undang Helms-Burton tidak sekedar membantu dalam hal mengetatkan blokade ekonomi AS terhadap negara sosialis Kuba. Ini dirancang oleh para lawyer dari perusahaan penyulingan alkohol Bacardi, yang terkenal dengan rum putihnya (non-Kuba). Sasaran utama Bacardi adalah perusahaan Pernod-Richard dari Perancis, yang telah melakukan negosiasi yang menghasilkan deal-deal besar bagi Kuba untuk menyediakan sulingan rum bagi operasi pemasaran di seluruh dunia .
Persaingan ekonomi terbuka antara perusahaan-perusahaan transnasional AS dan Eropa Barat juga berakar pada perjanjian D’Amato-Kenedy yang menyetujui sanksi pengadilan AS terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi dan perdagangan untuk bidang minyak dengan Iran dan Libya. Perusahaan-perusahaan ini termasuk Total dari Perancis, konglomerat minyak dan gas Italia Agip, Petrofina dari Belgia dan Verba dari Jerman. Perusahaan lain yang jadi sasaran adalah ENI, perusahaan negara Italia yang bergerak dalam bidang energi, yang telah menginvestasikan sebanyak US$6 Milyar dalam pembangunan pipa gas Libya. Dalam menanggapi isi perjanjian D’Amato-Kennedy oleh Kongres AS, Komisi Eropa menerapkan sebuah “black list” perusahaan-perusahaan AS untuk dijadikan sasaran untuk sanksi balasan oleh pengadilan-pengadilan di Eropa. Konflik dan rivalitas antara imperialis AS dan Perancis secara terbuka termanivestasikan dalam kejadian baru-baru ini di Zaire. Selama Perang Dingin, Washington, yang mana menjumpai sumber dayanya macet di tempat lain, tunduk pada kelanjutan militerisme Perancis, dominasi diplomasi dan ekonomi pada bekas koloninya di Afrika. Tetapi, dengan berakhirnya Perang Dingin, Washinton tidak mau lagi membiarkan modal Perancis mempunyai akses istimewa atas negara-negara yang kaya tambang di kawasan Afrika Francofon seperti Zaire. Sejak jatuhnya rejim suku Hutu yang di-bekingi Perancis tahun 1994, Washington telah meningkatkan kebencian rejim baru terhadap Perancis untuk memperkokoh pengaruh diplomatiknya di Afrika tengah dan timur. Washington secara terbuka menentang usaha-usaha Perancis untuk bersama-sama menempatkan kekuatan militer yang akan melakukan intervensi di Zaire timur guna memproteksi orang-orang Zaire dan kerabatnya dari suku Hutu Rwanda dari serangan pemberontak Zaire. Dalam rancangan menentang rencana Perancis tersebut, juru bicara kementerian luar negeri AS Nicholas Burns menyatakan: “ Beberapa orang di Paris nampak hidup dibawah angan-angan bahwa bagian tertentu dari Afrika dapat dipesan atau didominasi oleh kekuatan kolonial tertentu ...Itu adalah pernyataan yang mundur jauh ke belakang. Waktunya telah lewat saat...kekuatan asing dapat melihat keseluruhan kelompok di negara-negara lain sebagai dominasi pribadi mereka.”
Ketika datang persaingan antar-imperialis untuk akses terhadap pasar dan peluang investasi sama sekali tidak ada garis pemisah antara penggunaan kekuatan hukum, diplomatik dan militer. Dus, pemerintah AS menggunakan baik kekuatan diplomatik maupun kekuatan militernya pada bulan September 1996 untuk membendung rencana PBB “food for oil” untuk Irak yang merupakan inisiatif Perancis. Dibawah rencana itu, Irak diijinkan menjual sampai $2 Milyar dari minyaknya setiap 6 bulan dalam rangka untuk membeli makanan dan obat-obatan. Banque Nationale de Paris yang akan menangani rekeningnya dimana hasil penjualan minyak Irak didepositokan. Washington telah memblokade persetujuan rencana ini dengan Dewan Keamanan PBB selama lebih dari satu tahun. Pada bulan Mei rencana ini terpaksa disetujui. Namun, hanya menjelang rencana ini dilaksanakan, Washington menggunakan peningkatan intervensi Bagdad dalam konflik rivalitas partai-partai borjuis Kurdi di Irak utara untuk memproklamirkan bahwa Bagdad melanggar traktat antara Kuwait dan Saudi Arabia. Clinton memerintahkan serangkaian serangan Amerika dengan sasaran Irak Utara dan secara sepihak menyatakan bahwa rencana “food for oil” PBB ditunda. Pada bulan Desember 1996, pemerintah AS membiarkan rencana PBB tersebut dilaksanakan, tetapi dengan satu perubahan yang tidak signifikan --sekarang hasil penjualan minyak Irak tidak akan lagi didepositokan di sebuah bank di Paris, tetapi gantinya akan didepositokan di sebuah bank di New York.
Selama perang dingin, para kapitalis AS menggunakan kekuasaan negara mereka, khususnya aparatus militer mereka yang massif, untuk membela kepentingan pemilik modal imperialis melawan ancaman pengelolaan secara kolektif oleh kekuatan negara non-imperialis, khususnya negara pekerja. Dengan berkurangnya ancaman tersebut, para kapitalis AS telah mulai menggunakan kekuasaan militer yang maha besar itu untuk meningkatkan kepentingan ekonomi mereka sendiri melawan saingan imperialis lainnya. “Tata Dunia Baru” muncul setelah kolapsnya blok Sovyet, sehingga akan mendorong untuk semakin menampakkan diri seperti kekuasaan imperialisme klasik pada jaman Lenin, walaupun dengan beberapa modifikasi yang penting. Yang utama adalah kepemilikan senjata nuklir oleh kekuatan-kekuatan imperialis utama atau, dalam kasus Jerman dan Jepang, basis teknologi untuk secara cepat mereka miliki, membuat perang global antar-imperialis sangat tak mungkin. Hal itu tidak termasuk, tentu saja, perang antar-imperialis yang dilokalisir yang oleh perlawanan penguasa-penguasa non-imperialis.
Mereka yang beranggapan bahwa perusahaan-perusahaan transnasional telah menjadi kekuasaan kolosal lintas negara-bangsa borjuis, atau mengabaikan pertanyaan mengenai kekuasaan negara-bangsa , membuat dua kesalahan yang fundamental. Pertama, mereka gagal untuk memahami bahwa persaingan antar perusahaan-perusahaan transnasional yang meningkat, akan meningkatkan pula kebutuhan perusahaan-perusahaan tersebut akan adanya kekuasaan negara yang tangguh untuk mempertahankan kepentingan mereka dari pesaingnya. Dalam konteks ini, segala perusahaan “satu negara”(maksudnya perusahaan yang berasal dari negara yang sama—pentj) akan menjadi semakin terancam oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki dukungan aparatus negara nasional yang tangguh. Kedua, kegagalan dalam membedakan antara negara borjuis semi-kolonial yang lemah dan negara-bangsa imperialis. Kekuasaan ekonomi yang kolosal yang dimliki oleh perusahaan-perusahaan transnasional terhadap negara borjuis semi-kolonial secara fakta berakar pada dukungan yang mereka terima dari kekuasaan negara imperialis yang menjadi basis/“induk” perusahaan mereka dalam semacam area yang krusial sebagai riset dan pengembangan yang disubsidi negara, infrastruktur ekonomi, subsidi ekspor, dan lain-lain.

ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL
Tetapi bukankah telah terjadi peningkatan “pengalihan kekuasaan” (“ceding sovereignity) pemerintah kepada organisasi-organisasi internasional yang bertindak demi kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional seperti IMF, Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia ? Lagi-lagi kita perlu membedakan antara negara-negara semi-kolonial dan negara-bangsa imperialis. Pemerintah negara-negara imperialis tidak lain adalah merupakan sebuah komite eksekutif untuk mengelola kepentingan bersama para kapitalis nasional mereka, fraksi yang dominan diorganisir di dalam perusahaan-perusahaan transnasional. Dan adalah pemerintah negara-negara imperialis yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan WTO, sebagaimana mereka juga mengontrol Dewan Keamanan PBB. Di dalam IMF, misalnya, proporsi suara berdasarkan besarnya setoran saham mereka atas sumber keuangan. Pada tahun 1990, ke 23 negara-negara imperialis memiliki 62,7% suara sebagai tandingan 35,2% suara yang dimiliki 123 anggota lainnya. Lima pimpinan Dewan Eksekutif Permanen IMF dicalonkan oleh lima besar pemilik saham --AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang.
Fungsi pokok IMF, Bank Dunia dan WTO adalah untuk menyetir seluruh negara dalam hal kebijakan ekonomi dunia yang telah disepakati oleh negara-negara imperialis utama. Kebijakan tersebut diputuskan dalam pertemuan tahunan pemerintah 7 negara imperialis utama (atau kelompok G7,pentj). Dalam pertemuan tahun 1976 mereka, misalnya, pemimpin-pemimpin negara G7 menyetujui rencana reorganisasi ekonomi negara-negara Dunia Ketiga melalui : pembukaan pasar dunia (dalam hal ini, untuk mengimpor barang-barang dari negara-negara imperialis), memprioritaskan ekspor daripada pasar dalam negeri, privatisasi BUMN-BUMN serta pemfungsian dan membukanya bagi investasi asing (dalam hal ini : imperialis), dan pemotongan pos-pos anggaran yang “tidak produktif” seperti pendidikan dan kesehatan. Setelah tahun 1976, keputusan itu menjadi kebijakan yang dipaksakan bagi negara-negara pengutang yang berasal dari Dunia Ketiga oleh IMF dan Bank Dunia.
Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menancapkan pengaruh guna mendapatkan konsesi politik dan ekonomi bagi negara-negara imperialis dan perusahaan-perusahaan transnasional yang mana dekolonisasi dan kemerdekaan politik formal yang diberikan kepada borjuasi di negara-negara tersebut. Dus, penerapan beberapa resep pro-export bagi semua nagara-negara debitur (pengutang—pentj)Dunia Ketiga berarti adalah intensifikasi persaingan diantara mereka, dengan efek yang menghancurkan harga komoditi ekspor mereka, yang terdiri dari sebagian besar bahan mentah. Menjelang tahun 1989, harga rata-rata produk-produk ini, diluar minyak, adalah dibawah 33% harganya di tahun 1980.
Penaklukan kembali pasar dalam negeri negara-negara semi-kolonial adalah juga merupakan tujuan mendasar dibalik tekanan kekuatan negara-negara imperialis terhadap asosiasi-asosiasi “pasar bebas” seperti NAFTA dan APEC. Penghapusan tarif impor terhadap seluruh anggota asosiasi-asosiasi ini menghapus satu-satunya bentuk proteksi yang tersisa oleh negara-negara semi-kolonial terhadap penetrasi pasar dalam negeri mereka oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Tetapi negara-negara imperialis dapat membatasi penetrasi terhadap pasar dalam negeri mereka terhadap ekspor dari negara-negara semi-kolonial melalui menerapkan serangkaian hambatan-hambatan non-tarif yang kokoh.

“INTEGRASI” BLOK NEGARA-NEGARA EX-SOVIET
Kebijakan yang sama telah diterapkan kepada negara-negara yang dulunya negara sosiali di Eropa Timur dan Eks-USSR. Mereka mengira “integrasi” ke dalam pasar kapitalis dunia ,sebagaimana sering dipuji oleh para kaum globalis yang mendukung klaim tersebut, akan membawa mereka masuk ke era sejarah baru dimana kapitalisme sekarang telah menjadi sebuah sistem global yang sejati. Bagaimanapun, terdapat satu cacat kecil dalam argumen ini, negara-negara ini masih belum memiliki sistem ekonomi yang benar-benar kapitalis. Privatisasi legal yang meluas di semua negara-negara ini menyembunyikan fakta bahwa ekonomi mereka masih diregulasi oleh negara dan institusi yang yang dimiliki negara daripada kepemilikan kapital secara pribadi. Saat terjadi privatisasi “kecil-kecilan” yang ekstensif, dengan penciptaan toko-toko kecil, perusahaan-perusahaan kecil, dan bengkel-bengkel kecil secara cepat, perusahaan-perusahaan industri utama di negara-negara ini masih menghadapi satu kesulitan yang utama dalam pembentukan borjuasi, dimana mereka(borjuasi pemula itu) berakar pada birokrasi dan kelas menengah, dan kecenderunganya mereka sebenarnya memiliki modal yang sang sedikit dan kecil. Dalam sistem Stalinis lama yang melakukan perencanaan yang tersentral dan sang birokratis, uang adalah satu income, antara lain, uang bisa membeli barang-barang konsumsi, tapi tidak pernah menjadi kapital atau modal, antara lain seperti, untuk digunakan dalam mengontrol produksi, tidak juga dapat diakumulasi seperti modal (money-capital). Mekanisme pasar secara parsial yang ada tidak mengesankan adanya disiplin anggaran dalam perusahan-perusahaan. Di USSR, dimana hal itu sangat sering terjadi, para manajer tidak memahami neraca keseimbangan perusahaan mereka yang akan menunjukkan keuntungan dan kerugian mereka.
Sebagai tujuan untuk mengatasi problem modal riil, untuk “mengkapitalisasi tanpa sang kapitalis”, dan unutk melegitimasi perpindahan kepemilikan publik ke pemilikan pribadi, Republik Czech mengawalinya dengan disrtibusi massal kupon privatisasi ke masyarakat, mengijinkannya untuk di gunakan sebagai saham perusahaan yang diperjualbelikan melalui bank-bank yang mengelola dana privatisasi. Dengan adanya “Kupon Privatisasi” Perdana Menteri Czech Vaclav Klaus mendeklarasikan bahwa privatisasi perekonomian negaranya telah komplit, bahkan lebih dari separo GDP negaranya dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki dana itu. Bagaimanpun, adalah negara sebagai pemilik bank, yang mendominasi pengelolaan dana tersebut.
Di Polandia, dimana adalah bekas negara sosialis pertama yang memulai proses privatisasi secara besar-besaran, banyak pengamat ekonomi yang menyimpulkan bahwa jalan untuk menuju kapitalisme baginya masih sangat panjang. Basis dari argumen mereka adalah perekonomian Polandia belum ditegaskan, dikontrol dan diregulasi oleh modal pribadi (private capital). Regulator utama masih tetap dipegang oleh negara, yang diteruskan dengan redistribusi samapi dengan 80 % GDP. Seperti negara-negara ex-blok Soviet, di Polandia sektor swasta sangat tergantung dengan sektor-sektor yang dikuasai oleh negara. Menurut pengamatan Jan Sylwestrowicz yang di majalah Labour Focus di musim gugur tahun 1995 : Program privatisasi secara fundamental dibiayai oleh negara. Adalah negara, dan sektor-sektor ekonomi yang dikuasai negara, yang men-support program privatisasi., yang berfungsi sebagai sebuah mekanisme pendukung yang besar untuk menyelamatkan sektor swasta. Meskipun akumulasi primitif telah berjalan, sektor swasta masih belum mampu unutk selamat jika tidak ada peringanan pajak, dipenuhinya kebutuhan sektor swasta oleh sektor-sektor industri yang dimiliki negara, harga sewa yang murah untuk pabrik-pabrik dan mesin-mesin yang dimiliki negara, kredit-kredit istimewa dari bank-bank negara, subsidi langsung maupun yang tidak langsung bagi sektor perbankan/finansial swasta, kemudahan pengurusan ijin ekspor/impor, jaminan negara untuk operasi perdagangan dll. Lebih lanjut, kebijakan-kebijakan yang di keluarkan negara (terutama tingkat suku bunga dan tingkat nilai tukar) telah memicu terbunuhnya sektor swasta oleh operasi spekulan yang simpel…Dan efeknya, pemerintahan Polandia bekerja bagaikan sebuah mesin pemompa panas yang besar, memompa keluar sumber daya yang dikuasai sektor publik untuk dimasukkan ke sektor swasta. Melalui berbagai macam mekanisme kebijakan dan peranannya sebagai juru penengah langsung (direct intermediation), negara kenyataannya telah menjadi administratur dari bagian kerja perekonomian swasta yang baru.”
Dan faktanya, sebagaimana disampaikan oleh Sylwestrowicz, satu-satunya sektor swasta yang mampu hidup secara mandiri tanpa bantuan pemerintah adalah mafia Polandia, yang telah menjadi pemain utama dalam “perdagangan luar negeri” Polandia, yang pekerjaannya mencuri mobil di negara-negara eropa timur dan kemudian dijual dengan murah di eropa barat dan timur. Jumlah mobil yang telah melewati tangan-tangan mafia pada tahun 1993 diperkirakan mencapai 300.000 unit- hampir sama dengan output pabrik-pabrik mobil di Polandia sendiri. Ketika privatisasi menyebabkan bertambahnya kekayaan para birokrat-birokrat tua dalam negara-negara ex-blok Soviet, yang kesemuanya didapatkan dari pencurian dan peramporkan aset-aset ekonomi negara. Namun kekayaan itu tidak ditransformasikan menjadi kapital riil. Bahkan, kekayaan itu mereka pergunakan untuk memberi barang-barang mewah yang berasal dari eropa barat, atau diikutkan dalam aktivitas-aktivitas spekulatif yang ada di pasar finansial eropa barat.
Tidak ada perubahan fundamental dalam hubungan lama antara buruh perusahaan yang dibawa oleh privatisasi. Hal yang sama juga terjadi di Rusia “Kapitalisme” di Rusia Di tahun 1994 lebih dari 39.000 perusahaan-perusahaan Rusia yang sudah diswastakan terjerat oleh hutang yang sangat kronis dan tingkat hutang yang ada di perusahaan-perusahaan itu mencapai 100 trilyun rubel. Meskipun begitu, meluasnya penutupan pabrik-pabri, kebangkrutan-kebangkrutan dan pemecatan besar-besaran tidak atau belum terjadi. Sebuah penelitian yang baru-baru ini diadakan oleh ILO, yang berbasiskan pada pengambilan sampel di 400 perusahaan di Rusia, memperkirakan bahwa perusahaan ini yang memperkerjakan 35 % dari keseluruhan buruh di Rusia tidak dapat di tutup tanpa berperangaruh ditingkatan produksi. Tapi sebagaimana diamati oleh Bob Arnot melalui sebuah survei pada musim panas tahun 1995 yang dimuat dalam Labour Focus on Eastern Europe : “ Proses reformasi dan privatisasi tidak merusakkan ketergantungan dalam hubungan buruh dan perusahaan. Hubungan yang berubah itu, dalam beberapa hal, malah meningkatkan ketergantungan. Para pekerja terikat dengan pabriknya karena adanya penghasilan yang tidak berbentuk uang yang disediakan oleh perusahaan, dan semuanya itu sangat dibutuhkan oleh buruh untuk kegiatan konsumsi. Perusahaan masih menyediakan, meskipun berbeda-beda derajatnya, subsidi untuk kantin, transportasi, sembako, barang-barang konsumsi, perumahan, pendidikan, dan fasilitas untuk anak-anak. Kegiatan kerja mungkin telah berkembang, diferensiasi penghasilan mungkin meningkat, dan mungkin ada kegiatan spekulasi finansial dalam jumlah besar, namun kekuatan buruh masih belum menjadi sebuah komoditi. Kerja masih belum menjadi kegiatan “bebas” seperti yang ada dalam “dual sense”-nya Marx. Proses reformasi mungkin telah merubah bentuk dan sifat-sifat ketergantungan dalam hubungan buruh-perusahaan, namun proses tersebut masih belum mampu untuk melenyapkannya. Kemunduran yang berkelanjutan dan yang mengakibatkan kolaps dalam proses produksi menggambarkan bahwa proses kapitalisasi ini masih belum berhasil. Privatisasi, dan dalam bentuk-bentuk lainnya, belum diikuti dengan restrukturisasi, dan penutupan dalam skala besar masih belum menghasilkan apa-apa, karenanya strutur tua industri/produksi masih tetap berdiri kokoh. Proses reformasi belum mengarah pada akumulasi modal domestik dan percepatan dalam eksploitasi kerja buruh, malahn proses tersebut mengobrak-abrik akumulasi modal di masa lalu (past accumulated wealth), disertai dengan adanya capital flight, yang disponsori oleh mantan kelompok-kelompok penguasa, wiraswastawan baru dan elemen-elemen kriminal…”
Arnot menyimpulkan apa yang terjadi di Rusia sama dengan apa yang terjadi di bekas negara-negara blok Rusia, sebagaimana dia menulisnya : “Kekuatan negatif dari populasi kelas pekerja telah menghalangi proses reformasi dari awal. Faktanya adalah tidak ada kepemilikan kelas ataupun sebuah struktur sosial yang dapat dengan jernih dan tidak ambigu untuk mendukung proses marketisasi, bahkan yang ada mereka yang memperburuk keadaan. Para institusionalis akan berargumen bahwa dengan sebuah kerangka kerja institusional yang benar sebuah ekonomi pasar dapat diciptakan. Tapi institusi merefleksikan dasar ekonomi-politik dan kepentingan kelas dan jika hal tersebut adalah satu-satunya cara utnuk mewujudkan perekonomian pasar, maka institusi yang diciptakan akan menjadi sebuah kulit belaka. “ Perjalanan kita masih teramat jauh dari keadaan dimana sebuah perekonomian pasar, mode produksi kapitalis, menjadi fenomena yang mengglobal.

 MOBILITAS GLOBAL MODAL

Barangkali argumen utama dalam mendukung thesis globalisasi adalah banyaknya berbagai modal uang yang terjadi dalam transaksi saham internasional, obligasi dan mata uang. Tehnologi komunikasi elektonik berarti bahwa jumlah uang/modal yangbegitu besar ini dapat ditransfer ke seluruh dunia dengan sekejap. Pergeseran terkombinasi pada sebagian besar pasara modal dalam satu hari adalah equivalen (atau setara—pentj) dengan pergeseran dalam perdagangan internasional dalam satu tahun. Kesamaannya adalah kebenaran transaksi dalam pasar uang utama. Tetapi fakta yang berlainan ini mengindikasikan bahwa lebih dari 90% dari transaksi-transaksi ini berbasis pada gerakan “mengambang” uang kertas, yakni, secara esensial bersifat spekualtif. Persamaan tersebut benar untuk jumlah modal uang yang besar yang diinvestasikan di pasar saham dunia. Semenjak “crash” pasar modal pada Oktober 1987, jumlah uang kertas yang diinvestasikan di saham-saham perusahaan telah meningkat lebih dari 25% di Itali dan Kanada, lebih dari 50% di AS, Jerman, dan Inggris serta lebih dari 100% di Perancis. Ini telah menghasilkan peningkatan yang tak terprediksikan dalam harga saham. Tentu, semakin tinggi harga suatu saham perusahaan, semakin rendah nilai relatif dividennya --pembagian keuantungan dari produksi yang didistribusikan kepada setiap pemegang saham. Dalam realitasnya, hanya sedikit investor akhir-akhir ini yang membeli saham dengan tujuan mendapat bagian keuntungan sebuah perusahaan yang dihasilkan melalui produksi dan penjualan komiditinya. Poin dari jual beli di pasar modal adalah spekulasi, menjual dan membeli saham di perusahaan-perusahaan --sembarangan perusahaan-- dengan harapan menghasilkan keuntungan yang cepat dengan memprediksikan bilamana orang-orang lainnya akan membeli dan menjual nya besok, atau dalam lima menit mendatang.
Bagian yang terpenting dari uang kertas yang “mengambang” ini berisi apa yang disebut Marx sebagai modal “fiktif” atau “imajiner” yang berlawanan dengan realitas, produktif, komoditi, dan modal. Obligasi pemerintah, contohnya, mewakili titel legal atas sebuah bagian dari pendapatan pemerintah di kemudian hari, misalnya, dari sektor perpajakan. Modal-uang yang digunakan untuk belanja negara salah satunya diperoleh dari penjualan obligasi dan obligasi itu diperjualbelikan oleh negara, misalnya, ia telah menjadi pinjaman bagi pemegang obligasi tersebut. Tetapi karena pemegang obligasi menerima bunga dari pinjaman ini, dan dapat menjualnya sebagai komoditi, kemudian obligasi tersebut berlaku sebagai modal. Sebagaimana yang digarisbawahi Marx dalam Bab 30 pada Volume 3 Das Kapital, “ Surat Pengakuan utang ini yang ditujukan untuk sebuah peminjaman (pemberian utang) tapi ketika diperjualbelikan, surat ini membiakkan modal yang tak tampak (annihiliated capital), yang berfungsi untuk dimiliki sebagai modal sejauh surat tersbut bisa diperjualbelikan selayaknya sebuah komoditas dan bisa dirubah menjadi modal” (K. Marx, Capital, Penguin, London, 1991 edn, Vol.3,p.608).
Saham dalam perusahaan-perusahaan bermodal gabungan adalah titel kepemilikan modal yang riil. Tetapi sebagaimana yang digarisbawahi oleh Marx, “Mereka tidak bisa mengontrol modal yang ada” karena “modal tersebut tidak bisa ditarik kembali” sejak modal atau saham itu terikat dalam bangunan, mesin, bahan mentah, dan sebagainya. “Tetapi [demikian Marx menambahkan] titel ini nampak menjadi kertas duplikat modal riil, seolah-olah sebuah bill of lading (sebuah perintah pengambilan kargo --DL) yang secara simultan mencerminkan sebuah nilai dari kargo tersebut. Mereka menjadi nominal yang mewakili modal tak-eksis. Bagi modal yang secara aktual eksis sama halnya, dan tidak ada perpindahan tangan jika duplikat ini dijual-belikan. Ini menjadi bentuk modal tanpa-bunga karena tidak hanya membuahkan suatu pendapatan tertentu tetapi nilai modal yang diinvestasikan didalamnya dapat dibayar ulang dengan penjualannya. Sejauh akumulasi dari sekuritas ini mencerminkan sebuah ekspansi rel-rel kereta api, pertambangan, kapal uap, dll., Ia mencerminkan sebuah ekspansi sebuah proses reproduksi yang aktual...Tetapi sebagai sebuah duplikat yang mana oleh mereka sendiri dapat dipertukarkan selayaknya komoditi, dan , sementara itu sirkulasi sebagai nilai modal, mereka impikan, dan nilai mereka dapat naik dan turun secara cukup independen terhadap gerakan nilai modal aktual terhadap apa yang mereka titelkan...” aba dan rugi yang merupakan hasil fluktuasi dalam harga dari kepemilikan titel ini ..adalah alamiah dalam kasus tersebut semakin banyak hasil dari gambling.
Begitu bermacamnya gunung-gunung modal ilusi tersebut yang telah terjadi adalah terhalang oleh sebuah grafik. Menurut Financial Times terbitan London pada tanggal 21 Maret 1994, nilai nasional kontrak masa depan (yakni, perlindungan kontrakan terhadap dan mengantisipasi gerakan masa depan harga-harga komoditi pertanian, indikasi pasar modal, jumlah tingkat bungan dan tingkat pertukaran mata uang) yang diperdagangkan di seluruh perdagangan dunia telah mencapai jumlah US$14 Trilyun setiap tahun. Tentu, spekulator yang sama akan menggunakan dengan baik tingkat yang sama dalam beberapa operasi yang sama suksesnya, sehingga laporan yang aktual mengenai perdangan di masa yang akan datang mungkin seperlima atau sepersepuluh jumlah ini. Tetapi sekalipun itu adalah sebuah grafik yang mengagetkan jika dibandingkan dengan jumlah total modal riil, tidak termasuk real estate, ini secara adalah kepemilikan-pribadi di seluruh dunia yang dihitung oleh Bank Chase Manhattan sebanyak US$10 Trilyun pada tahun 1993.
Pertumbuhan yang mengerikan jumlah uang kertas “mengambang” telah dipicu oleh berbagai macam ekspansi hutang oleh negara, perusahaan dan rumah tangga yang diperoleh melalui kredit bank yang terjadi sejak permulaan gelombang depresi panjang pada awal 1970an. Sebab mendasar sistem spekulatif yang membengkak ini adalah berbagai macam ekses kapasitas produktif (yakni, overproduksi aktual dan potensial dari komoditi-komoditi) yang membelenggu sebagian besar industri di seluruh dunia. Modal baru tetap saja terbentuk oleh profit yang dihasilkan setiap tahun yang tidak lama kemudian menemukan kesempatan investasi yang cukup aman setidak-tidaknya pada keuntungan rata-rata, yang mana itu sendiri tetap terdepresi dibandingkan level ia sendiri selama permulaan “gelombang panjang ekspansi” dari akhir 1940-an sampai akhir 1960-an. Fakta bahwa modal ini tidak terinvestasi secara produktif lagi menghasilkan gelombang depresi panjang (khususnya berkurangnya lahan kerja), yang mana berubah menjadi over-akumulasi modal, transformasi yang terus tumbuh dari modal ini menjadi kertas tanpa bunga dan, oleh karenanya, spekulasi dalam kertas ini.
Aktivitas yang spekulatif tidak hanya dilakukan oleh para “spekulator” profesional. Ia semakin didominasi oleh sebagian besar bank-bank swasta besar dan perusahaan-perusahaan transnasional. Tapi berbagai macam massa kepentingan yang diterima para spekulator adalah dikurangi dari total nilai lebih yang diproduksi waktu itu. Oleh karenanya, fraksi dari nilai lebih tersebut, modal riil, yang disediakan untuk investasi produksi saat itu semakin menurun. Dus, dunia telah dicuci oleh modal illusi karena pemotongan modal riil secara relatif, dan meningkat terus. Sementara begitu besar jumlah uang kertas “mengambang” secera konstan menjelajahi bumi, berpindah dari satu pasar uang ke yang lainnya selama 24 jam penuh, para pemiliknya dimana pasar uang ini berada mempunyai berbagai macam kebijakan. Karena begitu banyak aktivitas spekulatif ini yang ditaruh dalam kredit-uang (money-credit), pemainnya sangat sensitif sekali terhadap peningkatan tingkat suku bunga. Itulah makanya menjadi sensitif terhadap segala perkembangan dalam ekonomi “riil” yang mana para spekulator tersebut mungkin khawatir akankah ini membuat bank sentral di negara-negara imperialis utama, terutama sekali Federal Reserve Board AS, akan menaikkan tingkat bunga obligasi pemerintah.

GLOBALISASI DAN NEO-LIBERALISME

Jika, sebagaimana telah dijelaskan, argumen dalam mendukung tesis “globalisasi” tidak berdiri di atas sekuritas, mengapa konsep ini telah menjadi begitu terkenal? Hirts dan Thompson menawarkan penjelasan berikut : Retorika politik baru ini adalah didasarkan pada liberalisme yang anti-politik. Membuat bebas dari politik, ekonomi global baru ini membiarkan perusahaan-perusahaan dan pasar-pasar mengalokasikan faktor-faktor produksinya sampai ke tingkat tertingginya, dan tanpa distorsi oleh intervensi negara. Perdagangan bebas, perusahaan-perusahaan transnasional dan pasar modal dunia telah membebaskan bisnis dari kekuasaan politik, dan mampu menyediakan konsumen di dunia ini dengan barang-barang termurah dan produsen-produsen yang paling efisien. Globalisasi menyadari yang cita-cita kaum liberal mengenai perdagangan bebas pada pertengahan abad ke-19 seperti Cobden dan Bright: ialah, dunia yang telah di-demiliterisasi dimana aktivitas bisnis adalah yang primer dan kekuasaan politik tidak punya peran lain selain perlindungan sistem perdagangan bebas dunia.
Bagi kaum kanan di negara-negara industri maju rethorika mengenai globalisasi adalah merupakan sebuah takdir. Ia memberikan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan setelah kegagalan yang bersifat menghancurkan dalam hal eksperimen kebijakan moneter dan individualisme yang radikal pada tahun 1980-an. Hak-hak buruh dan kesejahteraan sosial dan praktek-praktek semacamnya di era manajemen ekonomi nasional akan menyebabkan masyarakat Barat menjadi tidak kompetitif dalam hal hubungannya dengan negara-negara yang baru saja mengalami proses industrialisasi di Asia dan karenanya harus dikurangi secara dramatis. Ia, retorika mengenai “globalisasi” diperlukan untuk memberikan legitimasi ideologis bagi usaha meneruskan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal setelah mereka gagal memenuhi janji-janji alami mereka mengenai pertumbuhan ekonomi yang dipertahankan dan peningkatan standar hidup. Ini tentu saja tidak kebetulan bahwa retorika “globalisasi” menjadi trend diantara para komentator ekonomi, sosial dan politik borjuis yang dimulai semenjak resesi kapitalis interna sional pada tahun 1990-1993. Setelah resesi tahun 1980-1982, ada peningkatan dalam semua negara-negera ekonomi kapitalis maju. Resep neo-liberal nampak sudah jalan. Penerimaan oleh publik terhadap resep ini adalah yang paling luas karena crash pasar modal pada tahun 1987 tidak segera menghasilkan resesi harapan-harapan setiap orang. Perekonomian negara-negara kapitalis maju terus tumbuh dan pengangguran sedikit menurun.
Tetapi lalu pada resesi 1990-1993 yang menyebabkab dampak yang lebih luas dari pada resesi yang terjadi pada 1974-1975 atau 1980-1982. Pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata resmi 8% di seluruh negara-negara imperialis. Perbaikan mulai lagi dengan dinamisme besar-besaran pada tahuh 1994, tetapi dalam 18 bulan ia kembali menguap. Pada periode tersebut semenjak akhir dari resesi, pengangguran di seluruh negara-negara imperialis hanya menurun menjadi 7.8% menurut laporan resmi. Argumen lama kebijakan ekonomi neo-liberal telah kehilangan kredibilitasnya. Gantinya, argumen baru yang sedang dicari-cari untuk meligitimasi kebijakan ini: jika kita, kamu buruh di negara-negara industri maju, tidak menerima potongan lebih besar lagi dari gaji kita, kondisi kerja, hak-hak kesejahteraan sosial,dan pembayaran lebih banyak lagi bagi tunjangan kesehatan individu, tunjangan pendidikan dan tunjangan pensiun, maka negara “kita” akan menjadi tidak kompetitif di mata “kekuatan-kekuatan yang secara bergerak global” yang dimiliki bisnis-bisnis besar sekarang ini, dimana lalu akan memindahkan investasi ke negara-negara yang upah buruhnya lebih murah diantara “negara-negara industrial baru” (NICs).
Pada tahun 1980-an, kemandegan ekonomi neo-liberal dijustifikasi dengan klaim bahwa pengorbanan kecil saat ini akan menghasilkan lapangan kerja baru dan kesejahteraan di masa depan. Pada tahun 1990an, di saat sangat jelas sekali bahwa tingkat pengangguran yang tinggi tersebut merupakan sebuah masa depan kehidupan yang permanen di dalam ekonomi “pasar bebas”, kita didongengi bahwa jika kita tetap tidak terima dengan pemotongan dan penghematan anggaran, maka perekonomian kita akan jauh lebih buruk di masa depan. Di dalam pasar global yang semakin kompetitif, siapa yang tidak bekerja lebih “keras” dan menerima pendapatan mereka berkurang akan mendapati diri mereka tidak punya pekerjaan sama sekali.

NEO-LIBERALISME DAN KEMANDEGAN EKONOMI KAPITALIS

Tentu saja, kaum kapitalis si penguasa negara-negara imperialis tidak punya komitmen untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal karena mereka telah terangsang oleh mitos “globalisasi”. Kebijakan ini klop dengan prioritas perjuangan klas dari kelas penguasa. Selama masa-masa gelombang ekspansi panjang dari akhir 1940-an, dibawah kondisi akumulasi modal yang cepat, dan ada kemunduran mendasar dalam hubungan internasional kekuatan-kekuatan pada biaya-biaya penguasa imperialis (yakni, peningkatan kekuasaan kapitalis di Eropa Timur dan Cina, munculnya perjuangan anti-kolonial, tumbuhnya sentimen pro-komunis di antara pekerja di Eropa Barat dan Jepang), prioritas dari kelas kapitalis di negara-negara imperialis adalah membeli perdamaian sosial di negaranya dan mendukung kebijakan luar negeri imperialis melalui reformasi sosial, diantaranya adalah penyediaan lapangan kerja yang relatif penuh dan kebijaan-kebijakan pengamanan sosial memainkan peran kunci.
Ekspansi ekonomi sendiri menciptakan kondisi material dimana, sedikit-banyak, sistem mampu menyediakan barang-barang. Dalam framework pertumbuhan ekonomi jangka panjang di atas rata-rata (bagi kapitalisme monopoli), kebijakan Keynesian mengenai jaminan full-employment selama siklus menurun melalui merangsang ekonomi melalui peningkatan daya beli massa, walaupun ia menyebabkan sedikit inflasi, tapi tidak akan mengancam laba kapitalis. Kelas kapitalis yang paling ideologis berkesadaran kelas cukup terbuka untuk hal ini. Dus, Pennant Rhea, mantan editor mingguan bisnis Ingris The Economist, menyatakan bahwa sistem kesejahteraan paska-perang merupakan “impor dari Marxisme” yang dipaksakan terhadap orang-orang kaya melalui perang dingin. Menjelang akhir 1970an, ternyata, menjadi jelas bagi penguasa imperialis bahwa gelombang panjang ekspansi telah memberi jalan bagi gelombang panjang depresi, dan itu tidak lagi memungkinkan untuk menjamin full employment, untuk menjaga keamanan sosial dan menjamin adanya keuntungan jika peningkatan yang lambat dalam income riil bagi pembayar upah tanpa mengancam keuntungan kapitalis. Pada poin tersebut dorongan untuk merestorasi tingkat keuntungan melalui peningkatan tingkat penghisapan terhadap kelas pekerja menjadi prioritas utama penguasa imperialis.
Anti-Keneysian kontra-revolusi” neo-liberal dalam bidang ilmu ekonomi dan sosial borjuis bukan apa-apa kecuali hanyalah sebuah ekspresi ideologis atas prioritas yang berubah ini. Tanpa adanya restorasi jangka panjang dari pengangguran struktural yang kronis ( yakni pengangguran permanen bagi buruh dan tenaga kerja underemployed untuk memaksakan “disiplin” bagi buruh yang masih punya pekerjaan), tanpa restorasi terhadap “ rasa pertanggung jawaban individual dan terhadap keluarga” atas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (yakni tanpa beberapa potongan bagi keamanan sosial dan komponen-komponen lain porsi upah yang disosialkan), dan tanpa kemandegan ekonomi yang di-generalkan (yakni, penurunan pendapatan riil bagi kelas penerima upah), tak mungkin bisa ada restorasi atas tingkat laba didalam lahan investasi yang produktif.

KEMUNCULAN LAGI PERLAWANAN KELAS

Selama tahun 1980-an dan awal 1990-an, penguasa imperialis didapati telah membuat kesepakatan yang terang dalam hal melemahkan perlawanan kelas pekerja dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Tetapi kejadian-kejadian sejak tahun 1995 telah mengindikasikan kelas kapitalis telah benar-benar sukses dalam hal menghancurkan kemampuan kelas pekerja untuk memperoleh lagi kepercayaan diri, daya pukul dan organisasinya yang diperlukan untuk menyusun pertempuran yang defensif melawan dorongan kemandengan kelas penguasa. Dimulai dengan pemogokan buruh transportasi umum dan pos di Perancis pada Desember 1995, telah ada kemunculan lagi daya tempur kelas pekerja di serangkaian negara-negara industrial dan semi-industrial.
Gelombang pemogokan Desember di Perancis tahun 1995 dipimpin oleh buruh kereta api dan digerakkan sebagai respon terhadap usaha pemerintah memotong tunjangan sosial atas buruh kereta api. Tetapi, pukulan pemerintah secara meluas dipahami secara secara mendasar telah mengarahkan semua buruh Perancis dan bahkan kelas menengah strata bawah. Pemogokan tersebut didukung oleh relli dan demonstrasi secara mingguan yang membawa kemacetan aktivitas ekonomi secara nyata di seluruh kota-kota penting di Perancis. Meningkat sampai dua juta orang yang berpartisipasi pada aksi protes tersebut pada setiap akhir minggu di kota-kota kecil dan besar seluruh negara selama 24 hari golombang pemogokan. Lalu pada tanggal 16 Oktober, dilaporkan 1,6 juta buruh sektor publik Perancis melakukan pemogokan sehari, bersamaan dengan buruh transportasi dan layanan publik lain, dalam protes menentang proposal, yang sedang didebatkan didalam parlemen Perancis saat itu, untuk menghapuskan tunjangan bagi buruh sektor publik dan pemotongan sebanyak 5.500 lapangan kerja di sektor publik menjelang akhir tahun tersebut dalam rangkat mencapai target anggaran untuk menciptakan sebuah mata uang tunggal Eropa pada bulan Januari 1999. Empat hari kemudian, 300.000 orang reli di seluruh Brusel dalam rangka protes terhadap perlindungan secara diam-diam oleh politisi Belgia terhadap lingkaran pornografi anak-anak yang menculik dan membunuh anak-anak. Seminggu kemudian Federasi Umum Pekerja Berlgia yang dibawah pimpinan kaum sosial-demokrat mengorganisir pemogokan selama 24 jam untuk menuntut pengenalan minggu kerja yang lebih pendek tanpa potongan upah untuk memerangi peningkatan pengangguran.
Pada tanggal 24 Oktober, 400.000 buruh baja, buruh galangan kapal dan buruh-buruh industri manufaktur lain di Jerman mogok melawan pemotongan gaji saat sakit. Aksi ini hanyalah yang terbesar diantara protes-protes serupa di Jerman. Satu hari kemudian, para buruh memukul telak terbesar di Kanada, Toronto, dalam pemogokan umum seluruh kota untuk menolak pemotongan anggaran negara atas tunjangan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah daerah Ontario. Pemogokan tersebut diikuti dengan dengan relli dan pawai oleh 300.000 demonstran pada tanggal 26 Oktober. Pemogokan umum Toronto hanyalah yang terbaru diantara pemogokan lima kota di propinsi Ontario.
Pada tanggal 28 November, tiga juta buruh berpartisipasi dalam pemogokan umum di Yunani untuk memprotes pengumuman pemerintah partai sosdem PASOK yang baru saja terpilih yang menyatakan akan menyapu ukuran-ukuran kemandegan ekonomi. Pada hari yang sama ribuan petani Yunani memasang blokade-blokade jalan yang memotong negara tersebut menjadi dua bagian. Para petani tersebut menuntut peningkatan harga produk mereka untuk menjamin pendapatan mereka, bahan bakar yang lebih murah, penundaan pembayaran hutang sebesar US$1,3 juta terhadap bank-bank dan menuntut pajak yang lebih murah untuk mesin-mesin pertanian. Pada tanggal 13 Desember, tujuh juta buruh mengadakan pemogokan selama 24 jam di seluruh kota-kota utama di Italia dalam rangka memprotes ukuran-ukuran kemandegan oleh pemerintahan partai coalisi Pohon Jaitun pimpinan Romano Prodi yang baru saja terpilih, komponen utamanya adalah Partai Demokrat Kiri yang sosdem, sebelumnya disebut Partai Komunis.
Ini semua, dan seperti aksi-aksi oleh para buruh di Argentina, Rusia dan, sekarang, Korea Selatan adalah gejala permulaan sebuah respon kaum buruh terhadap peningkatan serangan modal terhadap standar hidup kelas kita, khususnya eskalasi serangan kaum kapitalis terhadap tunjangan-tunjangan keamanan sosial.Dari Pertempuran Defensif ke arah Pertempuran Ofensif Namun, barangkali yang paling penting diantara kasi-aksi buruh tersebut adalah pemogokan oleh 50.000 sopir truk Perancis yang dimulai pada tanggal 17 November dan berakhir pada 12 hari kemudian. Pemogokan ini adalah yang paling sighnifikan karena ia bukan merupakan sebuah pertempuran defensif yang sukses, seperti halnya pemogokan Desember 1995, tetapi merupakan sebuah pertempuran offensif yang sukses. Para sopir truk tersebut memenangkan tuntutan utama mereka --pemotongan jam kerja tanpa pemotongan gaji dan pemendekan umur pensiun dari 60 sampai 55 setelah 25 tahun bekerja. Keputusan akhir juga menyertakan janji pemerintah akan adanya tunjangan gaji rutin selama 5 hari sebagai ekstra.
Kunci kemenangan para sopir truk tersebut adalah solidaritas massa yang mereka terima dari buruh Perancis yang lain. Seperti yang dilaporkan oleh majalah Time edisi London: “Menurtn polling pendapat, 87% dari para sopir yang diwawancarai setuju dengan tuntutan para sopir mengenai peningkatan upah, pemotongan jam kerja dan masa pensiun 55 tahun sebagai hal yang dianggap fair”. Harian London juga melaporkan bahwa selain jalan-jalan yang diblokade, pom bensin kosong dan kerumunan massa yang tidak seperti biasanya, para pemonton yang simpati secara aktif memberikan dukungan kepada para pemogok. Ini, termasuk pula para pemilik restoran dan para pemilik usaha kecil yang men-support para pomogok yang memblokade jalan dengan makanan, kopi dan uang.
New York Times edisi 30 November merangkum alasan mengenai kemenangan atas dukungan masyarakat :“Walaupun pemerintah bukan pihak yang langsung dalam perselisihan tersebut, pemerintah telah dilemahkan olehnya. Simpati masyarakat yang meluas terhadap para sopir truk mencerminkan peningkatan melemahnya negara dalam hal ekonomi dan semakin mendalamnya ketidak puasan terhadap pemerintahan konservatif Presiden Jacques Chirak yang berumur 17 bulan itu.” “Persetujuan itu juga hembusan lain terhadap kebijakan pemerintah dalam hal memegang jalur keuntungan kaum buruh dan perubahan dalam hal aturan kerja...”
Dalam sinyal yang lebih jauh mengenai kelemahan tersebut, Perdana Menteri Alain Juppe berusaha tidak mengancam untuk menggunakan paksaan guna membersihkan berikade-berikad, dan nampaknya ketakutan akan memprovokasi pemogokan yang lebih luas lagi. Hal yang secara khusus mengganggu penguasa kapitalis adalah apa yang dimulai di Perancis pada penghujung tahun 1995 sebagai pertarungan yang bagus perjuangan defensif terhadap perusakan yang intensif oleh kapitalis global terhadap standar kehidupan massa --satu-satunya hal yang benar-benar mengglobal di bumi dewasa ini-- telah memimpin ke arah perjuangan yang sukses dengan kharakter yang secara terang offensif. Para sopir truk Perancis berjuang mendemonstrasikan bahwa serangan sosial dan ideologis kaum borjuasi kehilangan kredibilitasnya dan kaum buruh memperoleh kembali kepercayaan diri mereka untuk membangkitkan pertempuran defensif yang sukses, mereka akan segera memperbaiki kepercayaan diri untuk meningkatkan kontra-offensif yang pasti datang. Pelajaran utama dari pemogokan para sopir truk Perancis tersebut adalah bahwa aksi massa yang militan dan solidaritas perjuangan kelas, kelas kita tidak dapat sekedar memblokade serangan kapitalis atas standar kehidupan kita tetapi memaksa mereka agar mundur. Pada permulaan abad ke-21 ini, hal itu merupakan konsep globalisasi yang benar-benar mengagumkan.



Kajian Eksistensialisme Tentang Ontologi: Pemikiran Jean-Paul Sartre



Eksistensialisme menyeruak dunia filsafat semenjak Perang Dunia II (Sutrisno : 1987). Diantara para tokohnya adalah Heidegger, Gabriel Marcel, Nietsze, Kieerkegaard, Sartre, Jaspers, dan Levinas. Yang dianggap bapak Eksistensialisme adalah Soren Kiekeergaard. Dalam perkembangannya eksistensialisme, Sartre memetakannya ke dua kubu. Pertama adalah kubu Katolik seperti Jaspers dan Marcel yang bergerak menuju Tuhan. Kubu lainnya adalah eksistensialis ateis yaitu Sartre, Heidegger, dan eksistensialis Perancis lainnya (Bertens :1987) . Tetapi ada kesamaan dalam pemikiran kaum eksistensialis itu, yaitu :
  1. Motif pokoknya adalah eksistensi, cara khas manusia berada. Pusat perhatian adalah manusia.
  2. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan. Manusia, setiap saat, selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Tidak ada 'state of being'.
  3. Manusia dipandang terbuka, sebagai realitas yang belum selesai. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitar, terutama kepada sesama manusia
  4. Memberikan tekanan pada pengalama eksistensial kongkrit manusia misalnya kepada kematian, penderitaan, kesalahan, perjuangan. (Hadiwijono : 1980)
Paper ini berusaha memaparkan tentang kajian eksistensialisme tentang ontologi, dengan menitik beratkan pada masalah 'ada'-nya manusia.
Eksistensialisme dalam kajian Ontologi Dalam kaitannya dengan masalah ontologi dan metafisika, memakai metode yang agak berbeda dengan cara-cara yang pernah dikenal sebelumnya, misalnya materialisme dan idealisme. Yang dimaksud dengan eksistensi disini adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara yang khusus, berbeda dengan benda-benda, dan hanya berlaku bagi manusia. Eksistensi disini tidak sama dengan 'mengada'. Sebagai ilustrasi, manusia sibuk dengan dunia luar, dia mencurahkan dirinya untuk dunia luar, karena itu seolah-olah dia ada diluar dirinya sendiri. Tetapi, justru karena keluar dari dirinya itulah dia sampai ke dirinya sendiri . Itulah yang disebut eksistensi : berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari diri sendiri. Heidegger mengistilahkannya dengan Dasein. Dan 'ada'nya manusia ini, kata Sartre, bukanlah etre, tetapi a etre, yaitu, manusia tidak hanya ada (being) tetapi juga selamanya harus membangun ada-nya tersebut. Ada-nya terus menjadi (becoming), berproses tanpa henti, tidak pernah selesai. Heidegger mengistilahkannya dengan "zu sein", sedangkan gerakan memperbaharui diri ini disebutnya eksistensial.
Eksistensialisme adalah corak pemikiran jaman modern yang merupakan pemberontakan terhadap model pemikran sebelumnya, yaitu materialisme dan idealisme (Drijarkara :1981). Bagi materialisme, pada dasarnya segalanya sesuatu pada instansi yang terakhir hanyalah materi, termasuk manusia. Jadi, manusia hanyalah akibat dari proses-proses unsur kimia, fisik, fisiologis, sosial yang dari luar diri manusia semata, sehingga menjadikannya sebuah benda diantara benda-benda lainya. Sifat khusus tentang cara manusia berada disangkal dan dilalaikan. Manusia hanya diposisikan sebagai objek. Menurut Rene Le Senne, kesalahan materialisme adalah detotalisation, detotalisasi, memungkiri totalitas manusia dengan cara mereuksi manusia hanya dari unsur materi saja.
Padahal menururt kaum eksistensialis, manusia mempunyai kehendak bebas, mengerti etika, dan membangun kebudayaan. Manusia tidak hanya berada didalam dunia, tetapi juga menghadapi manusia. Manusia menjalani kehidupan yang selalu berarti membuat dan menjalankan makna-makna. Itu berarti manusia mempunyai kesadaran. Sadar akan dirinya sendiri, sadar akan objek-objek yang disadarinya. Manusia yang memiliki kesadaran ini menjadi Subjek, bukan lagi objek semata. Mengutip Maurice-Merleau Ponty : "manusia tidak hanya dimuat (englobe) oleh dunia, tetapi juga memuat (englobant) dunia.". Manusia yang disebutkan oleh materialisme, meminjam istilah Sartre, hanyalah etre-en-soi (ada-dalam-diri) saja, belum etre-pour-soi (ada-bagi-diri).
Eksistensialisme juga memberontak terhadap idealisme. Bagi idealisme, antara kesadaran dan alam di luar kesadaran tidak ada sangkut pautnya. Sedangkan kedudukan manusia adalah melulu sebagai Subjek. Padahal, manusia juga bisa menjadi objek. Bagi Eksistensialisme, manusia bisa menjadi Subjek sekaligus Objek. Bagi kaum eksistensialis, semangat "aku berpikir maka aku ada" dibalik menjadi "aku ada maka aku berpikir" (Sutrisno : 1987). Bagi mereka, Eksistensi mendahului esensi. Karena itulah, meskipun banyak dipengaruhi oleh Fenomenologi Hurssel, tetap saja Sartre menolak "Eidos" (esensi) karena mengasumsikan adanya tujuan akhir (Bertens : 1996). Sebelum melihat pemikiran Sartre, akan dipaparkan pemikiran eksistensialis lainnya secara sekilas.
Kiekergaard, Baginya, bentuk kehidupan manusia ada tiga macam. Pertama, estesis, yaitu yang pikirannya hanya diarahkan ke hal-hal di luar dirinya. Manusia berpikir untuk berpikir. Kiekergaard membenci alam pikiran seperti itu. Bentuk kedua adalah etis, manusia memusatkan pikirannya kedalam dirinya sendiri. Ini juga masih ada dialam kekaburan, belum lepas dari alam estesi. Ini masih belum cukup. Tahap ketiga adalah bentuk religio atau keagamaan. Sebagai orang Kristen, manusia harus mengikat dirinya total ke Tuhan. Hanya dengan demikian manusia berdiri di depan Tuhan, dan hanya dengan didepan Tuhanlah--dengan penuh dosa yang membebaninya--manusia mempunyai eksistensi yang wajar. 'ada'nya manusia adalah manusia dihadapan Tuhan dengan penuh kesadaran bahwa dirinya penuh dosa dan dalam ketakutan. Tetapi justru dalam suasana suram itulah Tuhan menolongnya.
Heidegger, Membicarakan Heidegger disini amat penting, sebab pengaruhnya terhadap Sartre cukup besar. Heidegger merumuskan kembali pertanyan tentang "ada". pertanyaannya adalah "apa makna mengada" (what is meant to be). Dan karena 'ada' tidak bisa diungkapkan dengan positif, maka dilakukan dengan pernyataan negasi terhadap 'ada'. (Siswanto :1998) Dasein (being-there) merupakan eksistensi manusia didunia empiris ini. Baginya manusia selalu ada dalam dunia, bersama seluruh benda-benda (being-in-the-world). Manusia terlemparkan kedalam realitas dengan tidak tahu karena apa , atau asal usulnya (gewoerfen-sein). Karena ituah manusia menjadi cemas (Angst). Karena cemas, manusia sibuk dengan Zuhadenes (lingkup dunia sarana-sarana) dan Vorhandenes (lingkup dunia benda-benda), sampai lupa mengurus 'ada'-nya sendiri. Kecemasannya semakin menjadi karena sadar bahwa perjalanannya ternyata harus bermuara adalah kematian. Proyek kehidupannya berakhir dengan kematian (Sein Zum Tode). Dengan demikian, realitas dunia menampakkan diri sebagai tiada. ada-dalam-dunia, itu tanpa arti dan tanda guna, 'ada' itu berawal dari 'tiada' dan menuju 'tiada'. Kesadaran manusia akan 'tiada' itu membuat manusia cemas dan putus adsa. Ia hanya tinggal menanti 'tiada' itu. tiada' itu pengingkaran total terhadap semua 'pengada (das Seienden), namun 'tiada' itu sendiri bukanlah 'pengada'. 'tiada' itu meniadakan 'pengada'.
Mengada ialah terjadinya aletheia, yaitu proses mengada itu menampakkan dan menyembunyikan diri (tertutup ) secara anonim, dalam historisitasnya, manusia tepasksa selalu memilih, sehigga ia tidak dalat menguasai segala kemunginan, kecuali dengan memilih menutrup kemungkinan tertentu, karena itulah manusia selalu bersalah. Selain Perasaan bersalah ini didalam ketertutupannya ini juga terkandung unsur kesemuan. Semua ini diakibatkan oleh kecemasan manusia menghadapi 'mengada'. Sehingga manusia melarikan diri ke dalam keadaan kemerosotan, yang dikongkretkan dalam kegagalan manusia untuk menghayati tiga aspek hakiki manusia dalam eksistensinya (kepekaan, pemahaman, berbicara). Inilah tragedi manusia yang tidak dapat dihindari. Tetapi ada harapan, bahwa melalui penderitaan kegagalan itu, manusia akan memahami 'mengada', dan pemahaman itu akan membuat manusia utuh (heil) dan menyembuhkan (heilen). Untuk mengatasi kecemasan, ada dua cara. Pertama, melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu menuju kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati sebagai Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada. Sedangkan cara kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan kesadaran dan ketegaran, dan inilah hidup yang sejati.
Jaspers, 'Ada' (das Sein) bukanlah hak yang objektif, yang dapat diketahui setiap orang. Orang harus bersusah payah mencarinya dengan beberapa tahap. Sebuah benda, katakanlah meja, bukanlah 'ada' yang sebenarnya, tetapi 'ada' yang terbatas dan tertentu. 'ada' yang sebenarnya adalah yang umum dan merangkum segala yang berada sevara terbatas dan tertentu itu. 'ada' seperti ini tidak dapat diraih, atau dim,asukkan dalam kategori, inilah das Ungreifende (yang merangkum). Jaspers juga mengatakan bahwa eksistensi tidak dapat dijadikan objek,. Tetapi eksistensi adalah apa yang ada didalam mite disebut jiwa, yaitu titik pangkal darimana kita berpikir dan berbuat. Eksistensi juga bukan subjektivitas, ia berada diluar pembedaan subyek-objek, dan tidak dapat diuraikan dengan pengertian-pengertian dalam suatu sistem tertutup, dan  hanya bisa diterangkan dengan kategori sendiri yaitu kebebasan, komunikasi, dan sejarah.
Tetapi itu semua mengalami kegagalan setelah bertemu dengan kematian. Berbeda dengan Heidegger, Jaspers memandang bahwa kematian dengan lebih positif. Justru dibelakang segala kegagalan itu masih ada transenden, yang tidak terbatas, dan tidak dapat binasa, yang dapat dianalogikan dengan Tuhan. Jaspers berusaha mengatasi segaa kegagalan dalam memenuhi Dasein serta pengalaman keruntuhannya dengan pemisahan subjek-objek melalui  kepercayaan fisolofis. Bagi Jaspers, manusia tidak boleh mencari dan mengusahakan jalan kegagalan, karena bukan itu jalan yang sebenarnya. Didalam kegagalan itulah orang mengalami 'ada', mengalami yang transenden.
Gabriel Marcel, Manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama yang lain. 'ada' (esse) bagi Marcel selalu berarti "ada-bersama", (co-esse). Kata kuncinya adalah : "kehadiran" (presence). Syaratnya, haruslah "Aku-Engkau", dimana masing-masing mengadakan kontak dengan sungguh-sungguh dan masing-masing mengarahkan dirinya dengan cara berlainan dengan objek lainnya, bukan "Aku-Itu". Walaupun berjauhan, hubungan "Aku-Engkau"akan dirasakan sebagai kehadiran. Realisasi yang istimewa dari kehadiran adalah dengan cinta. Aku dan Engkau disini mencapai taraf "Kita". DAlam cinta ini "aku"mengikat diri dan tetap setia. Mencintai adalah mengatakan :"engkau takkan mati". Pemikirannya yang terkenal adalah tentang harapan . Kematian sebagai akhir perjalanan manusia dapat diatasi dengan cinta kasih dan kesetiaan, bahwa : "ada Engkau yang tidak dapat mati". Harapan menerobos kematian, dan adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu. Harapan tidak bisa mati.
Pemikiran Ontologi Sartre, Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua, etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dengan etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya). Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan dalam etre-pour-soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran. Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan. Etre-pour-soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.
Analisa, Ada beberapa hal yang patut dicermati seputar ada-nya manusia didunia menurut Sartre.
1.     Sejauh yang saya tahu, Sartre tidak membincangkan tentang solusi solusi bagaimana manusia keluar dari 'lingkaran setan' yang bermuara pada kesia-siaan itu. Dia hanya menasehati kita agar jangan memandang ke dalam, tetapi memandang keluar, ke pekerjaan dan tugas kita, kepada masa depan yang sedang dibangun (Hadiwijono : 1980, Drijarkara : 1981). Tetapi tetap saja, sulit membangun masa depan jika kita tidak percaya dan selalu curiga kepada orang lain yang dianggapnya neraka. Dalam membangun hdibutuhkan kerjasama dan saling percaya. Heidegger, yang dianggapnya sealiran atheis dengannya, menyodorkan alternatif. Pertama, melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu menuju kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati sebagai Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada (pernyataan Sartre diatas mirip dengan pernyataan ini). Dan dengan itu pula manusia bisa membangun peradaban. Kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan kesadaran dan ketegaran, dan inilah hidup yang sejati. Marcel mengatasi kesia-siaan dan kematian dengan toeri cinta dan harapan. Jaspers, walaupun masih terasa kabur menurut saya, mengatakan bahwa manusia harus tidak mencari dan berusaha menuju jalan kesia-siaan, manusia harus memberontak dan melawan lingkaran-setan itu. Mungkin, yang kurang dipunyai oleh Sartre adalah tujuan hidup tertinggi, karena memang manusia 'ada' karena terlempar, 'ada' begitu saja sebagai en-soi, dan "sialnya" juga menjadi pour-soi. Agaknya, Sartre terlalu negatif dan pesimistis dalam memandang dunia. Mungkin karena zeitgeist nya masanya begitu suram sehingga lahirlah pemikiran demikian.
2.     Patut dipertanyakan lagi, misalnya : Apakah benar bahwa manusia yang berproses dan selalu menidak itu ingin kembali ke en-soi atau mensintesakannya dengan pour-soi. Kalau memang benar, mengapa manusia terkesan kelelahan dalam 'kutukan' kebebasan itu dan memutuskan bersintesa menjadi etre-en-soi-pour-soi ? Mengapa Sartre justru berpendapat ingin kembali ke sebuah keadaan dimana dia sendiri menilai keadaan itu memuakkan ? Mengapa tidak mencari jalan keluar yang lain ?
3.     Terakhir, saya ingin membandingkannya Sartre dengan Ali Shariaty, seorang filsuf Islam pengagum Sartre. Agak mirip dengan para eksistensialis relijius diatas. Baginya tujuan perjalanan manusia adalah bersatu dengan Tuhan, dan kebebasan (bersama dengan kreativitas dan kesadaran) dinilai bukan sebagai kutukan tetapi justru sebagai anugerah dari Tuhan untuk memimpin dunia dan membangun peradaban. Justru karena kebebasan kita, menurut Shariaty, kita menghancurkan lingkaran setan diatas (yang digambarkan dengan empat penjara determinisme, yaitu sosiologisme, historisisme, biologisme, dan Ego) dan berjalan menuju Tuhan, ketika hidup atau sesudah kematian. Dan tujuan 'ada'-nya manusia bukannya kesia-siaan, tetapi setiap manusia--karena kebebasannya itu--mengemban misi profetik membangun dunia sebagai khalifah dan nanti akan dimintai pertanggungjawabannya akan tugas-tugasnya itu.

Bibliografi
Bakker, Anton. Metafisika Uimum (filsafat pengada dan dasar-dasar kenyataan). Kanisius : Yogyakarta, 1992.
Bertens, Kees. Fenomenologi Eksistensial. Gramedia :jakarta, 1987.. Filsafat Barat Abar XX Jilid 2 (Perancis). Gramedia Pustaka Utama : jakarta, 1996.
Drijarkara. Percikan Filsafat. Pembangunan Jakarta : 1981. Cet 4.
Edwards, Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan Publishing Co : New York, 1972.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:  Yogyakarta,1980.
Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness (the Principle text of modern existentialism). Philosophical Library, Washington:1992.
Siswanto, Joko. Sistem-sistem metafisika barat, dari Aristoteles sampai Derrida. Pustaka Pelajar,Yogyakarta 1998
Sutrisno, Mudji. "Eksistensialisme, pergumulan untuk menjadi manusia" dalam Para Filsuf Penggerak Jaman. Kanisius : Yogyakarta, 1987.


 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!