Minggu, 02 Juni 2013

TINJAUAN TERHADAP MASALAH PADA PT. FREEPORT (Nasib Buruh dan Kekayaan Alam Indonesia)

Pendahuluan
Ada perbedaan sangat besar terkait pengelolaan kekayaan alam Indonesia di zaman Soekarno dengan zaman Harto dan para pewarisnya. Soekarno bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.” Sedangkan Harto dan para pewarisnya hingga sekarang bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita dijarah oleh orang-orang asing, silakan Mister…”.
Merupakan fakta sejarah jika di awal kekuasaan Harto, kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah digadaikan kepada blok imperialisme Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Sebelumnya Harto dan Washington agaknya telah memiliki “MOU” bahwa jika Soekarno berhasil dikudeta maka Harto yang menggantikannya akan “membalas budi” kepada Washington berupa penyerahan negara dan bangsa ini tanpa syarat agar bisa dieksploitasi sepuasnya oleh para tuan bule di Washington.
Tragedi pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller dan kawan-kawannya di Jenewa-Swiss di bulan November 1967 menjadi bukti tak terbantahkan tentang permufakatan iblis tersebut. Di saat itulah, rezim Jenderal Harto mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan Indonesia kembali sebagai negeri terjajah. Ironisnya, penjajahan asing atas Indonesia diteruskan oleh semua pewarisnya termasuk rezim yang tengah berkuasa hari ini yang ternyata “jauh lebih edan” ketimbang Jenderal Harto dulu.
Sampai sekarang, hampir semua cabang produksi yang amat vital bagi negara dan bangsa ini telah dikuasai asing. Banyak buku yang telah memaparkan dengan jujur kenyataan menyedihkan ini. Beberapa di anaranya adalah buku berjudul “Di Bawah Cengkeraman Asing: Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri” (Wawan Tunggul Alam: 2009), dan “Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!” (Amien Rais, 2008). Dengan bahasa jurnalisme yang sangat mengalir namun amat kaya data, Wawan memaparkan dengan lugas hampir seluruh fakta yang patut diketahui generasi muda bangsa ini, agar kita bisa sadar sesadar-sadarnya jika Indonesia itu, negeri kita ini, sekarang masih merupakan negeri terjajah!
Dan untuk buku yang kedua yang ditulis oleh Amien Rais, isinya benar-benar bagus dan sangat anti dengan neo-liberal. Namun dalam faktanya sangat ironis, karena entah dengan alasan apa, Amien Rais sekarang malah jelas-jelas menjadi bagian dari kelompok NeoLib dengan berterus-terang menyatakan dukungannya pada rezim yang berkuasa sekarang. Disadari atau tidak, dia sekarang telah menjadi part of problem bagi bangsa ini dan menjadi salah satu penghalang bagi gerakan pemerdekaan negeri ini dari cengkeraman imperialisme asing.
Jika Imperialisme dan Kolonialisme Kuno (Spanyol, Portugis, VOC, Fasis Jepang, dan NICA) menggunakan senjata api untuk menjajah suatu negeri, maka sekarang, Imperialisme dan Kolonialisme Modern (Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme, Nekolim) lebih pintar dengan tidak lagi memakai senjata api namun mempergunakan kekuatan uang (baca: kekuatan utang).
JFK, CIA, dan Freeport. Di atas telah disebutkan, hanya beberapa bulan setelah secara de-facto berkuasa, Jenderal Harto menggadaikan nyaris seluruh kekayaan alam negeri ini kepada blok imperialisme asing. Salah satu cerita yang paling menyedihkan adalah tentang gunung emas di Papua Barat. Gunung emas yang sekarang secara salah kaprah disebut sebagai Tembagapura, merupakan sebuah gunung dimana cadangan tembaga dan emas berada di atas tanahnya, tersebar dan siap dipungut dalam radius yang amat luas.
Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis jika dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Piminan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut. Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!.
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY di mana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA. Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial. Pease mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya. Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasionil mereka. Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport. Inilah kali pertama kontrak perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki depost terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar. Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan langsung mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai sekarang hingga rakyat menjadi sadar dan menumbangkan penguasa korup.

A. Tentang Freeport Indonesia
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.
Mining In¬terna¬tio¬nal, sebuah majalah per¬da¬¬ga¬ngan, menyebut tambang emas Free¬¬port sebagai yang ter¬be¬¬sar di du¬¬¬nia. Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan terhadap para penduduk setempat. Selain itu, pada tahun 2003 Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS.
• Bahan Tambang yang dihasilkan
 Tembaga
 Emas
 Silver
 Molybdenum
 Rhenium
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak lah jelas karena hasil tambang tersebut di kapal kan ke luar indonesia untuk di murnikan sedangkan molybdenum dan rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.

B. Kontroversi
Pelanggaran HAM
Setelah tujuh tahun beroperasi, timbul konflik sosial dan ekonomi antara Freeport dan masyarakat adat di sekitar wilayah pertambangan. Tahun 1974, suku Amungme yang berdiam di sekitar tambang menuntut Freeport membayar ganti rugi kepada mereka terkait pembabatan hutan perburuan suku itu. Freeport menyanggupi tuntutan itu, yang dituangkan dalam January Agreement 1974. Freeport juga dikecam karena mengimpor seluruh bahan pangannya dari Australia melalui jalur udara. Baru pada 1978, Freeport bersedia membeli sebagian sayur-mayur dari petani Irian. Muncul pula ganggauan keamanan, misalnya, pemotongan kabel telepon, gangguan terhadap pipa minyak dan jalur kabel, blokade di jalan logistik serta peledakan instalasi tambang di Tembagapura.
Pada bulan Februari 1978 terjadi penembakan terhadap seorang polisi Indonesia. Insiden ini disebabkan tak dipenuhinya seluruh janji Freeport yang tertuang dalam January Agreement. Hingga 1978 itu, Freeport tak memenuhi seluruh janji yang ada dalam perjanjian tersebut. Pada 31 Agustus 2002, terjadi penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan Freeport di Timika, Tembagapura, di jalur Mil 62-63. Insden ini menewaskan dua warga Amerika yaitu Tid Bargon dan Ricky Saipar dan seorang warga Indonesia bernama S.S Bambang Riwanto. Tercatat sebanyak 13 orang pelaku penembakan, tiga di antara pelaku tersebut merupakan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yaitu Kapten Markus, Letnan Satu Wawan Suwandi, dan Prajurit Satu Jufri Uswanas.
Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM terkait tambang Freeport tidak jelas penyelesaiannya. Para pelaku kejahatan HAM ini umumnya tidak ditemukan atau mendapat perlindungan sehingga lolos dari jerat hukum. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM kasus-kasus Freeport tampaknya memang suatu hal yang absurd.

Proyek Infrastruktur Freeport
Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat, yakni :
1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana konsentrat emas dan tembaga diekspor atau nantinya diantarpulaukan.
2. Pembangunan sebuah kota baru.
3. Pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik bagi tambang emas dan tembaga yang baru, Grasberg, alias Gunung Bijih Timur.
4. Pembangunan bandara Timika. Seluruh proyek itu dikoordinasi oleh PT A Latief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok A. Latief dan 33 persen sisanya oleh Freeport
Proyek pertama senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995, perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa diperpanjang.
Proyek kedua senilai US$ 250 juta, langsung ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995 dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis, birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw. Tak lama kemudian, Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk 1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000 jiwa.
Sementara, proyek ketiga ditangani PT Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%). Proyek keempat yang mulai dilaksanakan pada Juni 1995 ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.
Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter. Seluruh proyek-proyek di atas diduga berbau KKN yang dapat berlangsung mulus tanpa kontrol dari lembaga-lembaga negara terkait pada saat itu. Sebagai produk yang diduga berbau KKN, tentu saja Freeport mendapat keuntungan yang sangat besar. Namun harap dicatat bahwa pada saat yang bersamaan, negara mengalami kerugian yang sangat besar, dan hal ini berpangkal dari kebijakan oknum-oknum Indonesia yang ber-KKN hanya untuk keuntungan pribadi & kelompok yang sedikit. Sekali lagi, KK dengan Freeport harus diperbaiki.

Kerusakan Lingkungan akibat Pertambangan Freeport
Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar.
Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, terungkap bahwa bahwa tailing yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing Freeport. Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun. Freeport mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun juka dihitung dari perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan sekitar Rp 31 trilyun.
Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah. Hal ini telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam karena erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing. Dengan beragam kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan Freeport, mestinya pemerintah melakukan langkah pengamanan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku, khususnya pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya upaya pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya pemerintah menghentikan aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya perbaikan lingkungan. Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena kerusakan lingkungan yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan sementara sampai kerusakan lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan menjadi tanggung jawab Freeport.
Aktivitas pertambangan Freeport dinilai telah melanggar UU Kehutanan, yang mengamanatkan, aktivitas penambangan tidak dibolehkan di kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan harus dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud adalah yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, aktivitas penambangan tetap dilakukan disebabkan:
• Munculnya Perpu nomor 1 Tahun 2004 yang disahkan UU No.19 Tahun 2004 yang mengizinkan penambangan di hutan lindung
• Keperluan akan sumber energi dari bumi yang cukup besar dan keinginan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
Regulasi yang kemudian mengizinkan aktivitas pertambangan di kawasan lindung cukup mengkhawatirkan kelestarian hutan lindung. Hutan tropis merupakan komunitas yang paling banyak menyerap energi matahari yang sangat berpengaruh terhadap iklim bumi melalui evapotranspirasinya. Penambangan Freeport juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, karena penambangan memanfaatkan kawasan lindung, aktivitas penambangan hanya dibolehkan di kawasan budidaya. Pelanggaran terhadap tatanan ruang dapat berdampak pada penurunan kualitas tata ruang yang selanjutnya berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan dan manusia. Freeport telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah. Hal ini karena mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33.

Hubungan TNI/Polri dan Freeport
Perusahaan tambang raksasa Freeport-McMoRan disinyalir telah memberi uang kepada Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI agar pertambangan mereka di Papua tidak banyak diganggu, baik oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan. Koran The New York Times telah melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengetahui masalah itu. Koran tersebut berhasil mendapatkan laporan perusahaan Freeport yang menunjukkan, pada 1998-2004 perusahaan tambang emas dan tembaga menghabiskan dana US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar untuk personel TNI dan Kepolisian RI.
Para penerimanya mulai jenderal hingga kapten. Berdasarkan laporan itu, para komandan mendapat uang puluhan ribu dolar. Bahkan ada yang disebut mendapat US$ 150 ribu (Rp 1,5 miliar). Sejumlah pejabat kepolisian dan militer termasuk mantan Danjen Kopassus, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, disebut-sebut sebagai pihak yang menerima keuntungan dari kerja sama militer, kepolisian dengan Freeport. Hal ini juga diakui oleh Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang mengatakan bahwa TNI pada dasarnya menerima semua bantuan militer. Bantuan militer itu akan diterima, dengan syarat dapat meningkatkan profesionalisme prajurit dan tidak bersifat mengikat.

Peristiwa
• 21 Februari 2006, terjadi pengusiran terhadap penduduk setempat yang melakukan pendulangan emas dari sisa-sisa limbah produksi Freeport di Kali Kabur Wanamon. Pengusiran dilakukan oleh aparat gabungan kepolisian dan satpam Freeport. Akibat pengusiran ini terjadi bentrokan dan penembakan. Penduduk sekitar yang mengetahui kejadian itu kemudian menduduki dan menutup jalan utama Freeport di Ridge Camp, di Mile 72-74, selama beberapa hari. Jalan itu merupakan satu-satunya akses ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg. [4] [5]
• 22 Februari 2006, sekelompok mahasiswa asal Papua beraksi terhadap penembakan di Timika sehari sebelumnya dengan merusak gedung Plasa 89 di Jakarta yang merupakan gedung tempat PT Freeport Indonesia berkantor.
• 23 Februari 2006, masyarakat Papua Barat yang tergabung dalam Solidaritas Tragedi Freeport menggelar unjuk rasa di depan Istana, menuntuk presiden untuk menutup Freeport Indonesia. Aksi yang sama juga dilakukan oleh sekitar 50 mahasiswa asal Papua di Manado.
• 25 Februari 2006, karyawan PT Freeport Indonesia kembali bekerja setelah palang di Mile 74 dibuka.
• 27 Februari 2006, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat menduduki kantor PT Freeport Indonesia di Plasa 89, Jakarta. Aksi menentang Freeport juga terjadi di Jayapura dan Manado.
• 28 Februari 2006, Demonstran di Plasa 89, Jakarta, bentrok dengan polisi. Aksi ini mengakibatkan 8 orang polisi terluka.
• 1 Maret 2006, demonstrasi selama 3 hari di Plasa 89 berakhir. 8 aktivis LSM yang mendampingi mahasiswa Papua ditangkap dengan tuduhan menyusup ke dalam aksi mahasiswa Papua [6] [7] . Puluhan mahasiswa asal Papua di Makassar berdemonstrasi dan merusak Monumen Pembebasan Irian Barat.
• 3 Maret 2006, masyarakat Papua di Solo berdemonstrasi menentang Freeport.
• 7 Maret 2006, demonstrasi di Mile 28, Timika di dekat bandar udara Moses Kilangin mengakibatkan jadwal penerbangan pesawat terganggu.
• 14 Maret 2006, massa yang membawa anak panah dan tombak menutup checkpoint 28 di Timika. Massa juga mengamuk di depan Hotel Sheraton.
• 15 Maret 2006, Polisi membubarkan massa di Mile 28 dan menangkap delapan orang yang dituduh merusak Hotel Sheraton. Dua orang polisi terkena anak panah.
• 16 Maret 2006, aksi pemblokiran jalan di depan Kampus Universitas Cendrawasih, Abepura, Jayapura, oleh masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB Kota Jayapura, berakhir dengan bentrokan berdarah, menyebabkan 3 orang anggota Brimob dan 1 intelijen TNI tewas dan puluhan luka-luka baik dari pihak mahasiswa dan pihak aparat. [8] [9]
• 17 Maret 2006, Tiga warga Abepura, Papua, terluka akibat terkena peluru pantulan setelah beberapa anggota Brimob menembakkan senjatanya ke udara di depan Kodim Abepura [10] . Beberapa wartawan televisi yang meliput dianiaya dan dirusak alat kerjanya oleh Brimob.
• 22 Maret 2006, satu lagi anggota Brimob meninggal dunia setelah berada dalam kondisi kritis selama enam hari
• 23 Maret 2006, lereng gunung di kawasan pertambangan terbuka PT Freeport Indonesia di Grasberg, longsor dan menimbun sejumlah pekerja. 3 orang meninggal dan puluhan lainnya cedera [11] .
• 23 Maret 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mempublikasi temuan pemantauan dan penataan kualitas lingkungan di wilayah penambangan PT Freeport Indonesia. Hasilnya, Freeport dinilai tak memenuhi batas air limbah dan telah mencemari air laut dan biota laut.[12] [13]
• 18 April 2007, sekitar 9.000 karyawan Freeport mogok kerja untuk menuntut perbaikan kesejahteraan. Perundingan akhirnya diselesaikan pada 21 April setelah tercapai kesepakatan yang termasuk mengenai kenaikan gaji terendah [14]
• 21 Oktober 2011, sekitar tiga orang tewas akibat insiden penembakan di kawasan Freeport Timika Papua. Marcelianus, seorang personil polri berpangkat Brigadir Polisi Satu juga tewas tertembak.

C. Rekomendasi dan Tuntutan
Tambang Freeport adalah bukti salah urus sektor pertambangan di Indonesia dan bukti tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industri pertambangan di Tanah Papua. Selama 42 tahun beroperasi, Freeport telah merusak tak hanya pegunungan Grasberg dan Ertsberg, tetapi sudah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa, mencemari perairan di muara sungai dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup dan mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Fakta kerusakan lingkungan akibat penambangan yang dilakukan Freeport ini disadari oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Republika, 23 Maret 2006). Sayangnya, pelanggaran tak ditindaklanjuti secara serius, meski Freeport terbukti melanggar UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997. Sementara itu, dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia, dan memberikan pendapatan yang tidak sebanding bagi negara.
Kesejahteraan penduduk Papua semakin jauh dijangkau. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dilimbah Freeport. Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, bahkan jumlah penderita tertinggi berada di Papua. Kehidupan suku asli Papua pun terganggu eksistensinya, sejak ditandatanganinya KK I, alur hidup suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) berlangsung surut. Kerusakan lingkungan sebagai bentuk destruktif aktivitas penambangan mengancam sumber alam bangsa.
Freeport masih menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah mengalami pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh Pemerintah bahkan terkesan diabaikan. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua. Untuk menghentikan penjajahan Freeport, menegakkan kedaulatan, memberikan pendapatan negara yang sebanding, menegakkan keadilan bagi penduduk Papua, maka kami menuntut agar pemerintah mengambil berbagai tindakan dan kebijakan strategis, yang antara lain adalah:
1. Pemerintah harus segera melakukan upaya nyata dan terukur untuk menyelesaikan berbagai kasus Freeport. Pertambangan Freeport di Papua harus ditinjau ulang secara menyeluruh. Pemerintah harus segera membentuk panel independen melalui peraturan presiden yang terdiri dari para ahli hukum, lingkungan, sosial, ilmuwan, tokoh-tokoh HAM dan wakil masyarakat Papua.
2. Melakukan perubahan Kontrak Karya Freeport, yang lebih menguntungkan bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat Papua pada khususnya.
3. Melakukan evaluasi terhadap seluruh aspek pertambangan Freeport mulai dari pengelolaan lingkungan hidup, pengolahan hasil tambang, pelanggaran HAM serta sosial ekonomi.
4. Memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli Papua terutama yang berada di wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnnya mengenai masa depan pertambangan tersebut.
5. Menindaklanjuti temuan-temuan pelanggaran hukum melalui instansi yang berwenang, termasuk diantaranya sejumlah pelanggaran hukum lingkungan, perpajakan, dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan saat ini.
6. Memetakan dan mengkaji sejumlah skenario bagi masa depan Freeport di Tanah Papua, termasuk kemungkinan penutupan, pengurangan kapasitas produksi, pengolahan limbah, dan pengembalian keuntungan kepada rakyat Papua secara bermartabat.
7. Meningkatkan pemilikan saham pemerintah di Freeport melalui konsorsium BUMN dan BUMD milik Pemda Papua & Papua Barat.
Bagi sebagian kalangan di pemerintahan, DPR, pakar, maupun perguruann tinggi, masalah Freeport sudah dianggap selesai. Mereka meyakini bahwa segala sesuatunya sudah tercantum dan disepakati dalam kontrak, dan seluruh ketentuan dalam kontrak tersebut harus dihormati dan dijalankan hingga akhir masa berlakunya pada tahun 2041. Mereka tidak terlalu peduli dengan berbagai kerugian yang diderita oleh negara dan rakyat berupa kehilangan/berkurangnya pendapatan negara, kehilangan kedaulatan, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh penduduk asli Papua.
Beragam hal yang merugikan itu harus diakhiri dan dikoreksi. Salah satu hal penting yang menjadi alasan kami adalah bahwa semua kebijakan dan kesepakatan merugikan yang tercantum dalam kontrak berpangkal pada kebijakan dan prilaku KKN pemegang kekuasaan masa lalu dan nafsu menjajah yang diusung oleh investor/negara asing. Menjadi sangat naïf dan layak dinilai tidak berdaulat serta tidak punya harga diri, jika kita sebagai bangsa tetap membiarkan kebijakan dan kontrak yang bermasalah ini berjalan sebagaimana berlaku selama ini, tanpa gugatan dan koreksi.
Ada 4 hal yang mendasari kenapa kenaikan upah buruh di Freeport harus dilakukan :
1. Kontribusi PT Freeport Indonesia terhadap FCX (Freeport Coorporation) berada diatas rata-rata perusahaan lain yang bergabung dalam FCX. Ini bisa dilihat dari perbandingan jumlah produksi PT Freeport yang ada di Indonesia dengan yang berada di di Amerika dan Afrika. Jelas bahwa sumber utama keuntungan FCX adalah hasil operasi di Indonesia. Dengan kata lain penerimaan dari PT Freeport Indonesia melebihi perusahaan lain di grup FCX.
2. Peningkatan harga-harga komoditi primer sejak tahun 2011 membuat keuntungan PT Freeport Indonesia sangat berlipat ganda.
3. Kemampuan kerja para pekerja PT Freeport Indonesia adalah setara dengan pekerja FCX pada umumnya. Ini sudah melalui Uji System Kompetensi, Tools, ATA, Kompetensi Nasional dan Internasional, Nosa , ISO-14001 dan sebagainya.
4. Kondisi kerja dan resiko kerja yang ekstrim. Bekerja pada ketinggian 4200 M di atas permukaan laut, dan cuaca yang berubah-ubah antara curah hujan yang tinggi dan hawa dingin yang ekstrim. Wilayah ini meliputi : Grasberg, Erstberg, underground, Mile 74, DOM, Big Grossan dll.
Pendapatan PT Freeport Indonesia pertahunnya 41,04 Triliun, sementara total gaji pekerjanya yang berjumlah 22.000 hanya 1,4 Triliun/tahun. Upah seluruh pekerja PT FI hanya 0,34% dari total penerimaan perusahaan pertahun (data PUK SPSI PT Freeport Indonesia) Selama ini para pekerja di PTFI khususnya dibagian produksi bekerja rata-rata 12-14 jam/hari, jelas gaji mereka lebih tinggi jika dibanding dengan pekerja yang bekerja 8 jam/hari.
Oleh sebab itu, dengan tulisan ini kami mengajak kita semua, para tokoh, politisi, pakar, akademisi, aktivis, pemuda dan terutama mahasiswa, untuk bersama-sama bangkit menggugat pengelolaan sumber daya alam di Papua ini, agar sesuai dengan amanat konstitusi dan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kontrak karya Freeport yang berlaku saat ini harus dibatalkan dan diganti dengan yang baru sesuai dengan amanat konstitusi, serta melibatkan peran BUMN dan BUMD Papua yang sangat signifikan dalam pengelolaannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!