Selasa, 25 Februari 2014

Jika Lelaki & Gadis Bugis saling Terlilit Lewat Pantun Cinta

Kasmaran, membuat hati berbunga-bunga. Jatuh cinta bagai sejuta rasa, laksana terbang di awan. Hingga syaraf pujangga pun aktif on fire. Orang yang jatuh cinta, sangat wajar merangkai kata indah. Sebab dihatinya dipenuhi bunga tak terkira. Namun terkadang, orang yang cinta diam seribu bahasa. Tak mampu merangkai kata. Menyusun kata dan kalimat hingga membentuk pantun cinta, adalah kewajaran bagi orang yang kasmaran. Tak terkecuali orang bugis dalam menyampaikan perasaannya pada lawan jenis.

Lelaki akan mengatakan :
Gellang ri Wata' Majjekko yang artinya Sesuatu yang bengkok dan ditarik keatas = Mata Pancing
Anrena Menre'E  yang artinya Makanan orang Mandar = Pisang
Bali ulu Bale yang artinya Lawan dari kepala = Ekor
Jika disusun sebagai berikut ;
Mata Pancing = Meng (dalam bahasa bugis)
Pisang = Loka (dalam bahasa bugis)
Ekor = Ikko (dalam bahasa bugis)
Jika dibaca terdengar Meloka (ri) iko yang berarti Saya mau kepada anda.
Demikian ungkapan perasaan lelaki bugis pada pujaan hatinya

Perempuan mengatakan : 
Iyya teppaja Kusappa artinya adalah Yang tak henti kucari Rapanna ri yalaE  artinya adalah Bagai yang dijadikan Pallangga Mariyang  artinya adalah Penyangga meriam. Penyangga Meriam adalah Pedati dalam bahasa Bugis disebut Padati. Jika diucap, kata PADATI berkonotasi dengan maksud kata Pada Ati yang artinya Sama Hati atau Sama perasaan. Demikian pantun yang diucap perempuan saat menerima lelaki pujaannya.

Ata (Manusia yang terdefinisikan Budak di Tanah Bugis Makassar)

Pada dasarnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Namun, sesama manusialah yang menciptakan sistem yang memperbudak manusia lain. Budak, orang yang dikontrol oleh orang lain untuk kepentingan kerja dan seks. Budak tidak memiliki hak atas dirinya dan sepenuhnya dikontrol oleh orang lain. Di Sulawesi Selatan, kata "Budak" dapat disepadankan dengan kata "ATA" meski maknanya tidak 100% sama dan memiliki perbedaan arti makna serta proses pembentukannya jika dipadankan dengan makna budak pada umumnya. ATA di zaman dulu terjadi karena beberapa hal, yakni :
Peperangan. 
Saat kerajaan-kerajaan utama berkembang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, relasi antara kerajaan utama (induk) dan kerajaan kecil (anak) bervariasi. Ada yang diibaratkan ibu-anak dan tuan-majikan. Adapun hubungan kesetaraan diibaratkan "kakak-adik". Pihak yang kalah perang akan diambil tanah dan orang-orangnya (joa'). Ia akan dipekerjakan pada lahan tersebut. Status orang-orang tersebut adalah ATA. Terkadang, mereka berkembang biak, sehingga menjadi ATA MANA atau budak yang diwariskan. Sejak zaman kemerdekaan, banyak diantara mereka dimerdekakan. Bahkan tak jarang mengambil/merebut/membeli lahan bekas tuannya tempat leluhurnya mengabdi sebagai budak. Kata Slave berasal dari kata Slavia, yaitu bangsa yang kalah perang dan dijadikan budak. Nampaknya, peperangan sebagai asal perbudakan adalah hal yang bersifat umum dimasa lalu.

Wanprestasi. Sejak bangsa Eropa datang, penggunaan uang sebagai alat transaksi semakin massif. Akibatnya adalah pola hidup juga berubah. Utang yang tak dapat dibayar, menjadi alasan perbudakan. Sehingga orang yang punya utang harus membayar utangnya dalam bentuk bekerja dalam jangka waktu tertentu.
Komoditas Ekonomi. Aktifitas ekonomi kerajaan di tahun 1700-1800an yang terganggu dengan kehadiran VOC di Makassar (Fort Rotterdam), menyebabkan penguasa lokal menjadikan pelabuhan Cenrana (Bone) dan Pare-pare sebagai pelabuhan alternatif untuk perdagangan antar pulau. Di era itu, manusia (budak) adalah komuditas ekonomi yang menguntungkan. Maka ramailah penangkapan manusia untuk diperdagangkan. Mereka bisa saja budak orang lain, orang merdeka bahkan kerabat istana yang ketiban sial. Dari cerita tutur yang pernah kami dengar, seorang putri bangsawan sedang memetik kapas, tiba-tiba serombongan menangkapi dan menjualnya. Hingga akhirnya dibeli oleh bangsawan lokal lainnya. Beberapa waktu berselang, orang tuanya dengan pakaian kebesarannya yang bertabur emas datang untuk membeli kembali putrinya.

Dalam ketatabahasaan Bugis klasik, ATA dapat pula diartikan "keluarga". Kata ATA digunakan saat menyebut person yang lebih rendah dari lawan bicara (orang kedua tunggal). Sebagai contoh pada konteks ;
Bangsawan rendah memperkenalkan diri pada bangsawan tinggi;
Iyya' ATAnna Petta/DatuE, napoanakka sangATAkku (nama orang tua person) yang artinya Saya hambanya/keluarganya Petta/Datue. diperanakkan oleh sesamaku hamba/keluarga

Bangsawan tinggi yang mengerti etika/tata krama/tata bahasa, akan mengerti bahwa yang bersangkutan adalah keluarga dekatnya. Meski yang bersangkutan mengaku "budak" tapi dalam terminologi bangsawan tinggi justru mengerti bahwa yang bersangkutan adalah "orang dekat". Maka setelah memperjelas siapa nama orang tua yang bersangkutan (Sangatakku) maka bangsawan tinggi tersebut (Petta/Datu) akan menghubungkan silsilah yang bersangkutan dengannya lalu memberinya tempat duduk yang pantas, meski yang bersangkutan ingin duduk dibawah/lantai.
Apabila memperkenalkan diri dengan kalimat sebagai berikut :Massijingki tu Pung Datu = Kita berkeluarga Pung DatuDianggap kurang etis/kasar sebab bahkan bangsawan tinggi yang setara tidak menggunakan kalimat seperti diatas. Dan secara otomatis bangsawan tinggi tersebut akan menilai bahwa yang bersangkutan kurang mengerti etika/tata krama yang menjelaskan bahwa bukan berasal dari kalangan istana.

Sesama bangsawan memperkenalkan anak/kemenakan/cucu pada bangsawan lain ;


YinaE ATAtta ri asengnge xxxx  yang artinya Inilah hamba=/keluarga anda/anak saya kita dinamai xxxx 
YinaE ATAmmu puang ri asengnge xxxxYinaE ATAnna Petta/DatuE ri asengnge

Simpulan

ATA secara denotatif memang ada dalam sejarah Sulawesi Selatan. Menunjukkan adanya dinamika ekonomi-politik yang mempengaruhi status sosial seseorang/kelompok. Namun, ATA juga dapat dipahami sebagai "kata ganti orang pertama atau orang ketiga" dalam etika berbahasa.

Mallibu Ittello (Konsepsi Persatuan Manusia Bugis)

Tiap individu terlahir dan berkembang dengan keunikannya. Sehingga tidak ada satupun individu yang identik dengan individu lain. Individu selalu khas dibanding individu lain. Ketika individu ini berkumpul membentuk komunitas, maka keragaman dan keunikan itu membentuk sinergitas tersendiri. Komunitas akhirnya menciptakan keunikannya sendiri, berdasar keunikan individu pada ruang dan waktu yang bersangkutan yang memiliki pengetahuan lokal tersendiri, pun juga dengan makna-makna referensial sendiri. salah satunya adalah kebudayaan di jazirah selatan sulawesi.



Di zaman dahulu, orang Bugis memiliki sejarah yang dinamis. Pernah mengalami kondisi stabil, dinamika politik, peperangan hingga model resolusi pasca konflik. Sehingga, tidak jarang kita temukan dalam naskah attoriolong (kitab sejarah bugis), terselip pesan-pesan filosofis-politis. Atau pesan bijaksana dalam tata kelola negara dan masyarakat. Begitupula pada tradisi tutur masyarakat, terkadang kita temukan idiom yang berkaitan dengan hubungan sosial.


Kembali pada relasi sosial orang Bugis dimasa lalu, pemahaman akan dialektika gagasan dan pentingnya persatuan direpresentasikan pada idiom Mallibu Ittello yang secara harfiah bermakna, bulat bagai telur. Ketika orang Bugis dimasa lalu melakukan musyawarah, tentu ada silang pendapat. 
Musyawarah itu disebut Tudang Sipulung atau arti harfiahnya duduk bersama. Ada juga yang menyebutnya dengan Assipetangngareng atau saling berbagi pendapat. Setelah didapatkan kesimpulan, itulah hasil mufakat yang disepakati. Tentu, ada pihak yang tidak 100% setuju. Namun, kesepakatan yang diambil, harus dijalani bersama. Seperti kita ketahui bersama, bahwa bentuk bulat pada telur tidaklah simetris, namun agak oval atau lonjong. Inilah maksud dari Mallibu Ittello. Bahwa komunitas tersebut, bersatu pada satu kesepakatan meski semua individu tidak sama persis pemikirannya. Hal ini menyiratkan pentingnya mendahulukan persatuan untuk kepentingan bersama daripada egoisme individu. Meski disaat bersamaan juga mengakui kekhasan dan keunikan individu.

Jika kedua tangan kita dirapatkan, masing-masing jari bersilangan, dan telur ditengah, maka sekuat apapun dorongan tapak tangan kanan dan kiri tidaklah dapat memecahkan telur. Hal ini menyimbolkan kekuatan telur tersebut. Telur, disimbolkan sebagai awal kehidupan sehingga merepresentasikan makna hasil permufakatan sebagai awal dari implementasi kedepan yang akan dijalankan.


Mallibu Ittello sebagai sebuah konsep, dimana merupakan titik pertemuan antara jiwa demokrasi yang mengakui hak berpendapat disatu sisi, dan kolektivitas disisi lain. Kekuatan yang lahir dari persatuan disatu sisi, dan keragaman disisi lain. Antara kebersamaan dalam mengeluarkan pendapat di satu sisi, dan implementasi kesepakatan di sisi lain. Mallibu Ittello merupakan sebuah capaian prestasi sosial orang Bugis dimasa lalu, yang kini terkadang semakin terlupakan. 

Senin, 24 Februari 2014

Sedikit tentang Demokrasi Lokal Versi Sulses

Luka taro arung, Telluka taro ade’

Luka ade’, telluka taro anang

Luka taro anang, telluka taro tomaega

(Batal pendapat raja, tidak batal pendapat adat/konstitusi

Batal pendapat adat/konstitusi, tidak batal pendapat wakil masyarakat

Batal pendapat wakil masyarakat, tidak batal pendapat orang banyak)

Demokrasi pada dasarnya kekuasaan rakyat, dimana kekuasaan seutuhnya berada pada kedaulatan rakyat. Sebuah negara demokrasi memiliki konsep tentang bagaimana menjadikan kepemimpinan bukan sebagai tirani terhadap rakyat. Namun lebih jauh, demokrasi sangat tergantung pada paradigma yang dianut masyarakat. Sehingga kita bisa melihat berbagai konsep demokrasi saat ini. Mulai dari sosialisme hingga liberalisme sama sama mengklaim diri sebagai paling demokratis.

Tapi terlepas dari faktor ideologi tersebut, kepemimpinan adalah hal yang mutlak bagi setiap komunitas, tak terkecuali bagi masyarakat Bugis-makassar dimasa lalu. Pada tulisan sederhana ini dipaparkan tentang bagaimana kekuasaan raja ditujukan untuk kebaikan rakyatnya. Sehingga kekuasaan tidak menjadi tirani yang menindas rakyatnya.

Di sebutkan pada berbagai kronik, secara umum terjadi kondisi chaos yang disebut dengan istilah sianre baleni tauwe (orang saling memangsa laksana ikan). Terjadi pertentangan antara komunitas-komunitas adat selama puluhan atau mungkin ratusan tahun. Tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan semua komponen masyarakat kala itu ditambah dengan pertarungan untuk merebut sumber produksi menjadi penyebab. Kondisi itu terus berlangsung hingga kedatangan tokoh fenomenal yang disebut To Manurung.
To Manurung inilah yang kemudian diangkat menjadi pemimpin (tepatnya raja) dari beberapa komunitas adat sehingga terbentuk kerajaan. To Manurung tersebar dihampir seluruh Sulawesi Selatan. To Manurung inilah yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan atau konstitusi kerajaan yang secara umum dikenal sebagai Ade’, Rapang, Wari, Bicara. Ade’ berarti hukum dasar, Rapang berarti yurisprudensi, Wari berarti aturan keprotokuleran, dan Bicara berarti permufakatan. Hingga terintegrasinya syariat Islam pada abad ke-17, konstitusi itu ditambahkan dengan sara’ yaitu syariat.

Ketika To Manurung diangkat sebagai raja, terjadi kontrak sosial yang mengatur hubungan antara raja sebagai penguasa dan rakyat yang diwakili oleh para matowa. Inti dari kontrak sosialnya adalah kewenangan yang diberikan pada penguasa dan kewajiban penguasa melindungi rakyatnya. Seorang raja mesti berjanji agar menjaga rakyatnya dari ketakutan dan kemiskinan. Artinya, seseorang diangkat menjadi raja karena  upayanya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Pada periode berikutnya, ketika To Manurung telah berketurunan, ia dikabarkan menghilang. Kepemimpinan berikutnya diwariskan secara genetik. Meski demikian, seorang raja tetap dipilih secara terbatas oleh dewan adat yang masa lalu adalah matowa-matowa. Dalam pemilihan itu, tetap dipertimbangkan kualitas individual, seperti Lempu (kejujuran), Acca (kepandaian), Warani (keberanian) dan Getteng (konstensi).

Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang raja tetap diawasi oleh dewan adatnya. Seperti Bate Salapang di Gowa, Ade’ Seppulo Dua di Luwu, Ade' Pitue di Bone, Ade' Aruwa di Sidenreng, Arung Patappuloe di Wajo, Pappangeppa di Soppeng dll. Apabila seorang raja dianggap berhasil, maka ia akan dipertahankan dalam menjabat posisi tersebut. Apabila seorang raja dianggap melanggar hak-hak rakyat, maka melalui mekanisme persidangan dewan adat, raja itu akan ditegur secara halus. Jika tetap dilanggar, teguran itu diperkeras. Bahkan jika memang raja tersebut sangat lalim, tak jarang diupayakan proses eksekusinya. Ada beberapa raja dibeberapa kerajaan di sulawesi selatan yang rajanyat terbunuh oleh rakyatnya sendiri akibat tidak mengindahkan dan melanggar adatnya. Banyak pula raja yang dipecat dari jabatannya, atau mengundurkan diri karena tidak mampu mengemban amanah. Ini merupakan pengejawantahan prinsip Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge' mainge' pi nafaja.

Apabila seorang raja lalim sangat kuat posisinya dan tidak bisa ditegur atau dijatuhkan, telah menjadi tradisi bagi orang bugis makassar untuk mallekke dapureng yang secara harfiah berarti berpindah penghidupan ditempat lain. Dalam hal ini merantau. Sebab bagi orang bugis makassar, lebih baik menderita dinegeri orang, lebih baik keluar merantau daripada hidup menjadi budak dinegeri sendiri. Jiwa kemerdekaan begitu melekat dalam sanubari orang Bugis makassar.

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!