Jumat, 31 Mei 2013

Sedikit Tentang Demokrasi



Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme system pemerintahan suatu Negara sebagai upaya mewujdkan kadaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara itu sendiri.

Istilah demokrasi berasal dari Yunani kuno, Negara tersebut biasanya dianggap sebagi contoh awal dari sebuah system yang berhubungan dengan hokum demokrasi modern.
Kata demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indicator perkembangan politik suatu Negara.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politika yang membagi ketiga kekuasaan politik Negara (eksekutif, yudikatif, dan legislative) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga Negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga Negara ini diperlukan agar ketiga lembaga Negara ini bias saling mengawasi dan saling mengontrol berdasaran prinsip checks and balances.

Ketiga jenis lembaga Negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutuf,lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislative. Di bawah system ini, keputusan legislative dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya(konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislative, selain sesuai hukum dan peraturan.

Selain pemilu legislative, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemiluhan presiden suatu Negara, diperoleh melalui pemilu. Pemilu tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warga Negara, namun oleh seagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilu. Sebagai tambahan, tidak semua warga Negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih)

Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan dalam arti hanya kedaulatn memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin Negara tersebut sebagi Negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.

Sistem Demokrasi
1. Demokrasi liberal. Sistem demokrasi yang berpangkal dan bertujuan untuk kebebasan-kebebasan manusi demi kepentingan mempertahankan serta mengembangkan kemanusian.
2. Demokrasi totaliter. Sistem pemerintahan yang lebih mengutamakan tujuan untuk memajukan kepentingan kemanusiaan dengan mengesampingkan cara.
3. Demokrasi titular. Mirip dengan demokrasi terpimpin pada masa orde lama. Sistem ini menerima bentuk dan bagan demokrai, namun fungsi politik dan pemerintahan diselenggarakan menurut gaya politik fragmentaris (campuran unsur modern dengan tradisional). Infrastruktur (lembaga kemasyarakatan) politik tidak dapat berkembang.
4. Demokrasi proletar. Demokrasi ala komunis, system pemerintahan yang mengutamakan Negara, segala-galanya Negara, rakyat dikuasai oleh Negara, rakyat sebagai pekerja Negara, suara dan aspirasi rayat tidak didengar dan diperhatikan oleh pemerintah.
5. Demokrasi terpimpin. Kekuasaan berada di satu tangan, yaitu pemimpin, sehingga mengaburkan makna demokrasi itu sendiri, hal ini pernah berjalan di Indonesia.
6. Demokrasi pancasila (Indonesia)

Teori Dan Konsep Negara Di Negara Berkembang


Pada pembahasan teori dan konsep negara di negara berkembang sebenarnya terletak pada bagaimana negara menjelmakan dirinya dalam sebuah keadaan atau kondisi yang spesifik, yakni keadaan dunia ketiga, yang karena kondisinya yang spesifik menghasilkan juga sifat-sifat spesifik. Jadi yang dibahas bukanlah sebuah teori baru tentang negara di Dunia Ketiga karena pada dasarnya tidak ada teori tersendiri tentang Dunia Ketiga (Arief Budiman, Teori Negara, 1996, hal 107).
Dunia ketiga seringkali dirumuskan sebagai dunia yang umumnya lebih miskin, ketimbang negara-negara industri maju. Tentu saja rumusan ini bersifat kasar dan penuh kekurangannya. Seperti yang telah di katakan di atas mengenai tidak adanya teori negara yang tersendiri dari dunia ketiga maka peneliti mencoba memberikan beberapa teori yang menjelaskan gejala negara di Dunia Ketiga, yang bertujuan menunjukan aspek-aspek yang menjadi perhatian dalam membicarakan negara di Dunia Ketiga, seperti di bawah ini :4.8. Teori Budaya yang dibahas oleh Benedict Anderson,

" ... bahwa budaya yang ada di negara-negara Dunia Ketiga masih bersifat feodal. Kekuasaan politik masih dianggap sebagai perpanjangan dari kekuasaan ke Ilahian, sehingga tidak bisa ditentang ". (Benedict Anderson, Teori Negara, 1996 hal 107)
4.9. Teori Negara Pasca Kolonial yang dibahas oleh
Hamza Alavi, seorang Sarjana dari Pakistan,

" Bahwa negara-negara merdeka yang muncul di Dunia Ketiga yang sebelumnya dijajah, terlanjur mempunyai kekuasaan yang begitu besar. Pemerintah berdiri di atas klas-klas sosial yang ada. Kekuasaan yang lebih besar dari pada kekuatan yang ada di tangan rakyatnya. Ketika masyarakat jajahan ini berhasil memperoleh kemerdekaan, pemerintah atau birokrasi kolonial yang ada masih tetap utuh. Penguasa nasional yang baru seringkali merasa bahwa perangkat kekuasaan ini memudahkan mereka untuk memerintah. Karena itu di banyak negara Dunia Ketiga yang memperoleh kemerdekaan, bentuk pemerintahannya harus dipertahankan, atau sangat sedikit diubah oleh penguasa yang baru, dan inilah yang disebut sebagai negara pasca kolonial ". (Hamza Alavi, Teori Negara, 1996, hal 109).
4.10. Teori Negara Otoriter Birokratis dicetuskan oleh
Guillermo O Donnel.

Pemerintah secara terus menerus menolak tuntutan-tuntutan politik para pemimpin masyarakat terutama yang berasal dari klas bawah ... para pemimpin rakyat juga disingkirkan dari kedudukan-kedudukan politik yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan yang di lakukan oleh negara. Oleh karena itu, sebagai akibatnya pemerintah menjadi sangat mandiri dalam menghadapi masyarakatnya. ( Guillermo O, Donnel, Teori Negara, hal 109, 1996).

4.11. Teori Aliansi Tripel oleh Peter Evans,

Kalau pada ketergantungan klasik peran negara lemah, pada fase pembangunan-dalam-ketergantungan terjadi proses di mana negara semakin kuat. Konsolidasi kekuatan negara ini bahkan dianggap sebagai prasyarat terjadinya proses pembangunan dalam ketergantungan. Dalam model ini terjadi persekutuan tiga unsur, yakni: (1) Modal Asing, (2) Pemerintah di Dunia Ketiga, (3) Borjuasi lokal. (Peter Evans, Teori Negara, hal 113, 1996).

Oleh Karena itu ....

Nasionalisme memberikan basis ideologi bagi terselenggaranya akumulasi modal di negara tersebut, dan karena itu sangat berguna untuk berargumentasi melawan perusahaan-perusahaan multinasional. Nasionalisme memberikan legitimasi bagi birokrat pemerintah untuk menjalankan perannya di mata borjuasi lokal. Nasionalisme juga merupakan satu-satunya basis di mana pemerintah dapat menyatakan kepada rakyat banayak bahwa mereka sedang menjalankan pembangunan nasional, yang hasilnya nanti dinikamti oleh segala lapisan masyarakat. (Alejandro, Teori Negara, hal 115, 1996).

Pembahasan mengenai konsep dan teori mengenai negara baik di negara maju maupun di Dunia Ketiga, merupakan suatu uraian teori yang peneliti anggap penting dalam membahas penelitian ini.
4.12. Teori Dan Konsep Civil Society.pm9
Pada akhir dasawarsa delapanpuluhan, Dunia menyaksikan serentetan peristiwa politik yang oleh para pengamat dianggap sebagai awal dari sebuah proses besar demokratisasi yang akan terjadi dalam skala global. Runtuhnya tembok berlin, keberhasilan gerakan solidaritas di Polandia yang kemudian disusul dengan maraknya gerakan pro demokrasi di Hongaria, Cekoslowakia, dan tumbangnya rejim sosialis komunis di Yugoslavia, telah menawarkan janji-janji akan meluasnya proses demokratisasi di belahan dunia yang lain.
Fenomena mengalir dengan derasnya arus demokrasi, secara tegas terlihat bahwa strategi demokratisasi lewat penguatan civil society akhirnya mendapat tempat cukup penting dalam wacana politik setelah ia dianggap berhasil diterapkan seperti contoh-contah di atas.
Gerakan demokrasi yang telah menempatkan kekuatan masyarakat sebagai kelompok yang mempunyai otonomi untuk menuntut jaminan bagi hak-hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, serta keadilan yang merata, termasuk dalam masalah pembagian sumber daya ekonomi yang merata. Dalam pengertian ini ada baiknya kita melihat satu definisi mengenai civil society yang diberikan oleh Heningsen :
" Civil Society secara umum dapat diartikan sebagai pengelompokan dari warga negara yang dengan bebas dan egaliter mampu melakukan wacana dan praksis tentang segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan secara keseluruhan. Di dalamnya terdapat jaringan-jaringan, kelompok-kelompok sosial yang terdiri dari keluarga organisasi- organisasi sukarela, sampai pada organisasi yang mungkin pada awalnya di bentuk oleh negara tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara negara di satu pihak dan individu serta masyarakat di pihak lain. Oleh karenanya civil society harus dibedakan dengan clan, suku atau jaringan-jaringan klientelisme, karena variabel utama di dalamnya adalah sifat public dan civic yang menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan di depan umum ". (Heningsen, Democracy. hal 14, 1988).

Penempatan civil society seperti yang di gambarkan oleh Heningsen sudah jelas akan dapat terlaksana jika di dasari oleh sistim politik yang mempunyai legitimasi dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mereka yang memerlukan serta sistim politik yang di landasi oleh moral. Pemahaman politik seperti ini digambarkan Havel sebagai berikut :
Politik adalah tanggungjawab, yang diekpresikan lewat tindakan, ... ia adalah tanggungjawab ... karena ia memiliki dasar metafisik: ia tumbuh dari kesadaran atau kepastian sub dasar bahwa kematian kita tidak menghentikan apapun, karena segala hal yang kita perbuat tetap terekam dan dinilai ditempat lain, di tempat yang berada "di atas" kita, dalam apa yang saya namakan ingatan tentang yang ada (the memory of being), yaitu suatu aspek integral dari keteraturan rahasia mengenai kosmos, alam dan kehidupan yang bagi mereka yang beriman disebut Tuhan, terhadap siapa semua penilaian tergantung. (Havel, Di kutip dari Makalah As Hikam yang berjudul Demokrasi Melalui Civil Society, 1993).

Dengan pemahaman politik yang memiliki dasar metafisika yang demikian itulah, maka sistim politik yang berdasar pada rasionalitas instrumental, seperti sistim sosialisme maupun liberalisme akan ditolak. Perbedaan paham inilah yang membuat havel memberikan teorinya tentang landas tumpu civil society :
" Letak dasar pemahaman civil society mempunyai landas tumpu etika tanggung jawab sosial bukannya 'the realm of needs and necessity' seperti pada kaum Marxis ".

Pemahaman-pemahaman tentang civil society di atas juga tak jauh berbeda dengan pemahaman yang diberikan oleh Adam Verguson ketika civil society pertama kali dicetuskannya, yaitu :
Civil society untuk menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup mampu mengimbangi kekuasaan negara. (Adam Verguson, An Essay on The History of Civil Society, 1967)

Sementara itu ada Ernest Gellner memberikan pemahamannya tentang civil society sebagai berikut :
Di banyak bagian dunia, apa yang dimaksud oleh istilah itu tidak terdapat secara nyata. Ketiadaan ini perlahan-lahan sangat terasa dan sangat tidak disukai: pada akhirnya menjadi kehampaan yang menyakitkan. Ketiadaan seperti ini terasa sekali dalam masyarakat-masyarakat yang sangat tersentralisasi dalam segenap aspek kehidupan, dimana terdapat hierarki politik-ekonomi-ideologi tunggal yang tidak mentolerir adanya saingan, dan visi tunggal yang bukan saja mendefinisikan kebenaran tetapi juga menentukan ukuran kebenaran perilaku individu. Hal ini menyebabkan seluruh masyarakat mendekati kondisi teratomisasi, dan kemudian perbedaan pendapat menjadi tanda pemberontakan.

Walaupun demikian secara sederhana masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara. Meskipun tidak menghalangi negara yang berperan sebagai penjaga perdamaian dan wasit diantara berbagai kepentingan besar, tetap dapat menghalangi negara dari mendominasi dan mengatomisasi masyarakat. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakt Sipil, 1994, hal 6)

Pemahaman yang berbeda mengenai keberadaan civil society bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bertolak belakang dibahas dalam teori Karl Marx, sebagai berikut :
Masyarakat sipil merupakan suatu penipuan, gagasan pluralitas institusi baik yang menentang maupun yang mengimbangi negara, dan pada gilirannya di kendalikan dan dilindungi oleh negara tak lain hanyalah pemberian topeng atas dominasi yang tersembunyi dan merugikan. Gagasan itu memperkuat dominasi tersebut melalui institusi-institusi paksaan yang berpura-pura ramah, lunak, netra dan dikuduskan. Dalam hal ini teori Marxis telah berhasil membuka topeng, bahwa negara yang melindungi masyarakat sipil dan masyarakat sipil yang yang mengimbangi negara adalah mubazir dan penuh penipuan.

Maka dari itu formulasi masyarakat sipil tidak diperlukan: begitu eksploitasi berakhir, munculah tatanan sosial yang tak memerlukan penguatan yang bersifat memaksa. Hanya keterpecahan internal patologis masyarakat yang menciptakan kebutuhan akan negara; hilangnya kondisi itu secara otomatis akan menghilangkan kebutuhan akan sebuah negara. Negara tidak akan diperlukan, dan demikian tentu saja juga tak diperlukan institusi-institusi lain untuk mengimbangi agensi pengatur dari pusat itu. (Karl Marx, Membangun Masyarakat sipil, 1994).

Pernyataan dan pemahaman teori Marxis tentang civil society ini, memberikan visi ideal tandingan dari berbagai pakar maupun sudut pandang keilmuan lainnya, dalam hal ini Kaum Pluralitas dan Agama Islam memberikan pandangannya tentang pemahaman dan pendefinisian civil society, sebagai berikut :
Masyarakat sipil dalam gagasan pluralisme adalah mencegah tegaknya monopoli kekuasaan dan kebenaran dan yang mengembangi institusi-institusi sentral yang, meski diperlukan, justru dapat memperoleh monopoli semacam itu. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, 28, 1994).

Sedangkan dalam konsep Islam adalah sebagai berikut :

Islam secara resmi tidak memisahkan masjid dan masyarakat, sebagaimana yang juga berlaku terhadap masjid dan negara. Jauh sebelum dirumuskannya ideal-ideal modern seperti pemisahan kekuasaan dan konstitusi, Islam sebetulnya telah memiliki suatu versi keagamaan tentang keduanya. Dewan legislatif berbeda dengan eksekutif, karena perundang-undangan telah ditetapkan lebih dahulu oleh Tuhan, sedangakan agama itu sendiri terutama sekali merupakan hukum konstitusional masyarakat.

Jadi dunia muslim memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk menegakkan umat, yaitu komunitas menyeluruh yang berdasarkan pada iman yang sama dan penerapan hukumnya. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, 1994, hal 30)

Untuk lebih dapat memahami tentang konsep dan teori tentang civil society ada baiknya juga kita membahas perkembangan teori ini lewat teori perkembangan masyarakat yang ada sejak jaman yunani kuno sampai sekarang, yang pertama teori dan pemahaman mengenai masyarakat oleh Aristoteles, sebagai berikut :

Konsep Aristoteles tentang masyarakat dan negara saling berkait sehingga lebih baiklah memakai istilahnya sendiri, 'polis' untuk mengartikan komunitas sipil yang ia yakini sebagai latar sosial kodrati manusia. Pada awalnya perbedaan-perbedaan dalam kemampuan alamiah dipakai sebagai basis untuk pembagian kerja sederhana dan sebagai sebuah organisasi kekeluargaan yang kuasi-politis.
Rumah tangga adalah jenis komunitas yang paling dasariah tetapi terbatas dalam skop yang di berikannya untuk perkembangan kodrat manusia. Karena kebutuhan untuk membuat yang lebih baik untuk syarat-syarat material dan pertahanan-diri, perkembangan sosial alamiah adalah menuju desa. Desa adalah perkumpulan keluarga-keluarga yang sebagian besar didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kegunaan. Ikatan persahabatan yang diberikan oleh keluarga-keluarga itu terbatas pada apa yang hidup dari pengakuan akan kebutuhan satu sama lain, persahabatan yang berguna. Alasan-alasan yang sama menyebabkan pertumbuhan desa menghasilkan munculnya polis sebagai sebuah kumpulan desa-desa disekitar sebuah kota pusat. Polis tidak hanya meningkatkan keamanan terhadap serangan dari luar dan memudahkan perdagangan yang diperlukan untuk per kembangan ekonomi, polis juga memberi tataran untuk persahabatan sejati antara orang-orang yang sejajar. Sebuah polis terdiri dari komunitas yang secara material, militer dan etis cukup-diri, yang memiliki cukup orang dalam keanekaragaman yang memadai untuk mendukung basis material untuk hidup yang baik tetapi tidak begitu banyak sehingga mereka tidak bisa saling mengenal dan membentuk hubungan-hubungan pribadi yang didasarkan pada kontak temu muka.
Secara historis polis muncul setelah rumah tangga dan desa, artinya bahwa polis merupakan telos atau tujuan yang memberi arah dan tempat untuk bentuk-bentuk komunitas yang lebih kecil. Polis menyempurnakan kehidupan manusia dan dengan demikian jauh dari pada sekedar sebuah kumpulan yang didasarkan pada keinginan-keinginan individu yang telah ada sebelumnya.
Walaupun keuntungan-keuntungan polis mencakup kemajuan ekonomis yang dimungkinkan oleh perkembangan pembagian kerja dan keamanan militer yang diberikan oleh unit yang lebih luas, tujuan-tujuan ekonomis dan militer polis terbatas, dan perlu disyahkan dan dikontrol menurut manfaat semua itu dalam memungkinkan sebuah bentuk kehidupan yang tidak militeristis (seperti Sparta) atau juga tidak materialistis (seperti yang diinginkan para pedagang Athena). keinginan-keinginan untuk kekuasaan dan kesejahteraan tidak dengan sendirinya bersifat alamiah dan dapat dikekang sekali keinginan-keinginan ini mengarah melampaui pemuasaan kebutuhan-kebutuhan itu yang harus ditemukan sebelum manusia bisa masuk sepenuhnya ke dalam hubungan-hubungan persaudaraan dan mengejar kenikmatan-kenikmatan intelektual dari kebijaksanaan teoritis.
Dengan demikian sebuah polis pada hakikatnya merupakan sebuah kesatuan petani-petani kecil yang relatif independent, bersama dengan berbagai macam pedagang dan tukang yang memberi pelayanan yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan pertanian dan pada taraf tertentu oleh kehidupan kota. (Aris Toteles, Tujuh Teori Sosial, 1980, hal 70-75)

4.13. Teori perkembangan masyarakat oleh Thomas Hobbes


Pada saat manusia dalam keadaan asali, sebelum mereka membuat persetujuan-persetujuan lainnya, pertama-tama harus mengadakan kontrak satu sama lain untuk menyusun suatu kekuasaan yang akan memaksa mereka memelihara persetujuan-persetujuan mereka. Kontrak sosial untuk membentuk masyarakat sipil ini adalah sebuah piranti bagi manusia untuk bertindak menurut keinginan instrumentalnya akan hubungan-hubungan yang damai karena mereka lantas memiliki jaminan bahwa mereka akan menerima keuntungan-keuntungan yang mereka inginkan selama mereka sendiri diminta tidak melukai orang lain. Kontrak sosial terdiri dari pasal-pasal perdamaian yang dideduksikan dari hukum-hukum alam. Dalam skemanya sebuah hukum alam bukanlah sebuah imperatif moral, melainkan adalah sebuah perintah atau aturan umum yang ditemukan oleh rasio, yang dengannya manusia dilarang berbuat sesuatu yang merusak kehidupannya.
Perjanjian alam yang pertama adalah mengusahakan kedamaian, sejauh manusia mempunyai harapan untuk memperolehnya. Perjanjian alam yang kedua adalah seorang manusia yang menghendaki, bila orang lain bertindak demikian juga, sejauh mungkin, untuk ke damaian dan pertahanan dirinya sendiri, dia akan berpikir perlulah meletakan hak ini pada segala hal: dan puas dengan begitu banyak kebebasan melawan orang lain melawan dirinya sendiri, disinilah bahwa hak-hak kodrati manusia dalam keadaan asali dan diserahkan dalam kontrak sosial itu semata-mata merupakan kebebasan-kebebasan atau tidak adanya kewajiban-kewajiban.
Kontrak sosial timbal baliklah yang merupakan dasar dari kehidupan sosial. Kalau semua orang menyerahkan hak kodrati mereka untuk mempertahankan diri dan mempercayakan tugas ini kepada satu orang atau sekumpulan orang, lalu setiap orang dilindungi dari 'free-rider' yang mengambil keuntungan-keuntungan dari kerjasama sosial tanpa memenuhi kewajiban yang memungkinkan keuntungan-keuntungan ini. Satu orang atau kelompok (kekuasaan tertinggi) ini mengerahkan kekuatan kolektif seluruh anggota masyarakat untuk melawan free-rider atau pelanggar kontrak, lalu menjamin kesesuaian dengan hukum alam ketiga bahwa manusia melaksanakan perjanjian-perjanjian yang mereka buat. (Thomas Hobbes, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 92-94)

4.14. Teori perkembangan masyarakat oleh Adam Smith,


Hidup dalam masyarakat berarti hidup bersama dalam kedamaian yang mencukupi untuk menghindari kematian, mengembangbiakan species-species, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang hakiki untuk mempertahankan hidup. Karena itu prasyarat pertamanya adalah keadilan, yaitu sistim tertentu untuk mengendalikan kecenderungan alamiah manusia untuk melukai orang lain.
Dan masyarakat dapat dilihat sebagai keseluruhan sebagai sebuah mekanisme yang terintegrasi dengan sebuah tujuan menyeluruh. (Adam Smith, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 122-123)



4.15. Teori perkembangan masyarakat oleh Karl Marx,

Dalam produksi sosial yang dilaksanakan manusia mereka masuk ke dalam hubungan-hubungan tertentu yang tak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini berkaitan dengan sebuah tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi mereka yang bersifat material. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat. Pembedaan masyarakat atas dasar cara-cara produksi masyarakat-masyarakat tersebut. Sejarah adalah kemajuan masyarakat primitif ke masyarakat perbudakan dan kemudian menjadi feodalisme dan pada akhirnya menuju komunisme. Oleh karena itu fungsi negara tak lebih dari pada penjagaan kepentingan-kepentingan kelas ekonomis yang berkuasa dengan jalan kekerasan. Pemerintah adalah sebuah manifestasi dan pertahanan dari kekuasaan ekonomis. (Karl Marx, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 146)

4.16. Teori tentang masyarakat oleh Emile Dhurkeim,
Masyarakat adalah sebuah tatanan moral, yaitu seperangkat tuntutan normatif lebih dengan kenyataan ideal dari pada kenyataan material, yang ada dalam kesadaran individu meski demikian dengan cara tertentu berada di luar individu. Dua konsepnya yang berhubungan dengan kenyataan sosial atau masyarakat yaitu; pertama, gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota-anggota kelompok. Kedua kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para anggota individual masyarakat dan yang menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif.
Dan masyarakat dapat dibagi menjadi dua, pertama masyarakat sederhana yang mempunyai ciri-ciri populasinya kecil dan tersebar dalam wilayahnya yang terbatas. Anggota-anggota masyarakat memiliki ciri-ciri dan kegiatan-kegiatan yang sama dan termasuk di dalam kelompok-kelompok kecil yang sebagian besar terisolasi yang memiliki sedikit interaksi. Masyarakat sederhana terintegrasi secara ketat, dalam arti tak ada perbedaan yang tajam antara aturan-aturan dan tuntutan-tuntutan kehidupan keluarga, keagamaan, politis, moral dan legal. Semuanya sangat tradisional dan dikontrol secara ketat sehingga individu lahir kedalam situasi-situasi sosial yang dirumuskan dengan jelas dimana kewajiban- kewajibannya persis, jelas dan tak dapat dielakan. Kedua adalah masyarakat kompleks, mempunyai ciri-ciri kebalikan dari masyarakat tradisional, mempunyai wilayah yang luas dengan penduduk yang rapat, dengan berbagai kelompok yang tersusun secara beraneka ragam. Rancangan-rancangan institusional dispesialisasikan sehingga jenis institusi-keluarga, religius, pendidikan, politis dan ekonomis menjadi lebih tampak jelas dan demikian juga setiap jenis institusi menjadi kurang pokok untuk kehidupan para anggota masyarakat itu. Individu-individu tidak lagi berada di bawah kontrol ketat institusi-institusi yang terjalin erat yang mendominasi masyarakat-masyarakat sederhana. Di dalam dirinya setiap institusi juga menghasilkan spesialisasi peran-peran dan karenanya menyebabkan munculnya perbedaan-perbedaan yang penting di antara para individu yang menduduki peran-peran tersebut. Spesialisasi kegiatan- kegiatan yang saling tergantung ini adalah ciri bukan hanya dari proses ekonomi melainkan dari segala segi masyarakat. Misalnya sebuah masyarakat organis membutuhkan sebuah organ politis yang terspesialisasi, negara untuk merundingkan dan memutuskan demi kepentingan seluruh masyarakat, dan didalam organ masyarakat yang tertentu ini ada keanekaragaman peran politis yang saling tergantung, antara lain yang paling jelas peran menyusun undang-undang, mengadili para pelanggar undang-undang, mengadili para pelanggar undang-undang dan melaksanakan undang-undang. (Emile Dhurkeim, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 178-184)

4.17. Teori Masyarakat oleh Max Weber,

Teori ini memusatkan diri pada perbedaan masyarakat tradisional dan rasional, Otoritas tradisional yang berdasarkan pada penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan itu telah lama ada dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah dengan aturan-aturan ini. Di dalam tatanan tradisional individu merupakan loyalitas dari masa lalu dan mereka mewakili masa lalu itu, sebuah loyalitas yang seringkali berakar dalam sebuah kepercayaan akan kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Sedangkan ciri dari masyarakat rasional adalah sebuah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial yang bersifat asosiatif dan orientasi tindakan sosial berdasarkan pada sebuah penyesuaian kepentingan-kepentingan yang di motovasi secara rasional atau persetujuan yang di motivasi secara sama.

4.18. Peranan Militer Di Negara Berkembang
Dalam kebanyakan konsep tentang militer di masyarakat Barat, peran militer pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika peranannya telah menyimpang jauh dari apa yang dimaksud di atas maka, ia dianggap telah melakukan intervensi politik. Dalam hal ini Samuel P. Huntington memberikan pernyataannya secara tegas, sebagai berikut :
Bahwa sekarang mayoritas profesional militer di Barat menerima kekuasaan sipil sungguh-sungguh sebagai hal yang semestinya ada. (Samuel P. Huntington, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 2)

Sedangkan pada umumnya di negara berkembang atau di Dunia Ketiga, lebih banyak kecenderungan dimana militer lebih besar untuk melibatkan diri dalam politik nasional. Namun keterlibatannya militer di Dunia Ketiga dimungkinkan jika ada beberapa faktor, seperti yang dikatakan oleh Bilver Singh :
Pertama, apabila ada kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat yang mengancam eksistensi angkatan bersenjata. Kedua, militer akan melakukan intervensi politik untuk mendapatkan kekuasaan yan lebih besar yang oleh korps perwira dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada dalam masyarakat. Ketiga, adanya kesempatan. (Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 5).

Keterlibatan militer di Dunia Ketiga juga mengundang para ahlinya untuk mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dan dapat disebut sebagai rezim militer, dalam hal ini Amos Perlmutter mengamatinya sebagai berikut :

Apa yang disebut sebagai rezim militer tidak lagi dapat dianggap hanya sebagai rezim-rezim yang didominasi oleh militer. Bahwa rezim-rezim militer modern dalam komposisinya bukan semata-mata diisi oleh militer. Malahan mereka adalah fusionis antara rezim militer-sipil. Dengan demikian rezim militer dapat diklasifikasikan sebagai berikut; hakikat hubungan antara elite dan struktur militer dan sipil; jangkauan otonomi organisasional dan institusional militer dan sipil dalam rezim militer; hakikat sarana politis dan administratif yang dimanfaatkan dalam rezim militer untuk mencapai modernisasi dan legitimasi-struktur birokratis, komisi, partai politik, kelompok- kelompok kepentingan dan militer itu sendiri dan kelas maupun kelompok yang disusupi oleh rezim militer dan kelas yang hendak dikooptasi atau diajak kerjasama oleh militer.

Kaidah yang biasanya berlaku dalam militer melakukan intervensi, akibat krisis politik, ekonomi, sosial yang muncul dari perubahan masyarakat. Oleh sebab itu Amos Perlmutter juga mengatakan :
Rezim-rezim militer terdapat dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, kekurangan tata keteraturan dan dukungan politik yang sah. Rezim-rezim itu cenderung tumbuh subur dalam dalam pemerintahan yang tidak stabil, belum berkembang secara politik, belum padu secara struktural, dan dalam kebanyakan kasus, belum berfungsi atau berfungsi dengan buruk. Rezim-rezim militer di dirikan untuk menggantikan rezim-rezim yang lemah, eksekutif-eksekutif dan pemerintahan yang lemah, dan khususnya ... untuk mempertahankan negara dari pengambil-alihan secara revolusioner oleh kaum komunis atau ekstrimis.

Dengan latar belakang ini, menurut Amos Perlmutter ada banayak alasan bagi campur tangan militer, alasan-alasan itu meliputi :
Anti kolonialisme, nasionalisme, oposisi terhadap rezim nasionalis, anti-oligarkisme, dorongan untuk melindungi institusi militer dari pelanggaran dan ketakutan akan hilangnya otonomi dan kekuasaan militer, keinginan untuk mem promosikan modernisasi dan perkembangan ekonomi, serta tanggapan terhadap ancaman dari sayap kiri.

(Amos Perlmutter, Political Roseland Millitary Rules, 1980, hal 238).
4.19. Paradigma Hubungan Sipil-Militer
Keterlibatan militer di negara berkembang secara tegas sekali dapat diakibatkan oleh faktor-faktor yang bersifat internal dan eksternal. Mengenai kedua faktor ini dapat kita temui dalam pembahasan-pembahasan yang di kemukakan oleh beberapa ahlinya, sebagai berikut :
Kemungkinan untuk campur tangan politik tidak hanya terdapat pada pihak militer itu sendiri tetapi juga ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial politik eksternal. Kebangkrutan politik dan demoralisasi dalam sebuah sistem yang demokratis, ... dibarengi dengan krisis ekonomi, dapat mendorong militer untuk bertindak. (Taufik Abdullah, Dwifungsi ABRI, 1995, hal 5).

Keterlibatan militer dalam politik dapat dilihat pada karakteristik internal pihak militer itu sendiri maupun pada situasi eksternal dimana militer beroperasi. Seperti, faktor internal orientasi dan kepentingan militer dan faktor eksternal meliputi kondisi sosio ekonomis, kondisi politik, dan faktor-faktor internasional. (Harold Crouch, The Millitary and Politics in Southeast Asia, 1985, hal 288).

Sebaliknya, Ulf Sundhaussen memberikan sarana analisis yang berbeda untuk memeriksa kelangsungan keterlibatan militer dalam bidang politik, khususnya di Dunia Ketiga. Rezim-rezim militer tidak dianggap sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang alamiah, walaupun kebudayaan-kebudayaan politik yang berbeda akan menentukan hal ini secara berbeda pula. Seperti yang dikatakan olehnya :

Jika rezim militer memulihkan konsensus atau sekurang-kurangnya, menjalankan hukum dan membangun institusi-institusi politis yang dapat berfungsi untuk memecahkan konflik ... hal itu, demi maksud-maksud praktis, hidup lebih lama dari manfaatnya. Jika dilain pihak rezim itu gagal untuk mencapai tujuan-tujuan ini, rezim itu kehilangan raison d'etre atau dasar keberadaannya dan dengan demikian juga legitimasinya serta pada akhirnya kemampuannya untuk berkuasa. Jadi terlepas dari apakah rezim militer itu gagal atau berhasil, dalam jangka panjang rezim itu dapat disingkirkan dan bahkan dapat menjadi amat merugikan (counter productive). Dan rezim itu seharusnya sudah menarik diri sebelum masyarakat umum menerimanya lagi. (Ulf Sundhaussen, The Durability of Military Regime in Southeast Asia, 1985, hal 270).

Walaupun pihak militer melibatkan diri dalam politik Dunia Ketiga dan dapat memberikan sumbangan pada pembangunan masyarakat, itu tidak berarti keterlibatan politiknya bersifat tetap. Dalam hal ini S.E. Finer menyatakan bahwa ada tiga pola yang bisa terjadi:
Pertama menyerahkan kekuasaannya, kedua menjadi sipil kemabali, ketiga pola tengahan dengan menjadi setengah sipil. (S.E. Finer, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17).

Akan tetapi samuel P. Huntington mengemukakan empat skenario yang mungkin: Militer mengembalikan kekuasaan tetapi menghalangi partisipasi seperti di Birma; mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi seperti di Thailand tahun 1973; mempertahankan kekuasaan dan menghalangi partisipasi seperti di Birma (1958-1960) dan lagi setelah tahun 1960 dan tetap mendominasi kekuasaan tetapi memperluas partisipasi seperti di Thailand periode tahun 1968 - 1971. (Samuel P. Huntington, dalam Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17).

Dari pembahasan teori-teori di atas merupakan suatu upaya menjelaskan bagaimana keterlibatan militer di bidang politik khususnya di Dunia Ketiga. Dalam pandangan militer terhadap perannya di Dunia Ketiga merupakan suatu kerangka pikir yang baru yang berbeda dengan Barat. Konsep dikotomis hubungan anatara sipil dan militer di Dunia Ketiga dengan supremasi sipil didalamnya sama sekali tidak memadai dalam rangka menjelaskan hubungan sipil-militer di Dunia Ketiga.
Dengan begitu hubungan sipil militer yang suram tidak hanya disebabkan oleh kurangnya modernitas masyarakat, tetapi juga oleh keadaan ketertiban negara, tradisi-tradisi nasional, dan doktrin militer suatu negara. Kapanpun hubungan sipil militer akan ditentukan oleh faktor-faktor seperti, keadaan-keadaan suatu pemerintah berkuasa, hubungan dengan negara-negara lain, tingkat spesialisasi fungsional antara unsur-unsur eselon atas kaum elite yang memerintah, tingkat perselisihan fraksi dalam tubuh elite yang sedang berkuasa, tingkat birokrasi politik, sikap-sikap historis terhadap peran militer dalam kehidupan politik, struktur institusional masyarakat dan kepentingan korps militer.

Pengorganisiran dan Mobilisasi Massa



Sebelum kita sampai kepada persoalan taktik-taktik pengorganisiran mobilisasi massa, ada beberapa hal yang menjadikan mobilisasi massa sangat penting saat ini :
• Sejak krisis ekonomi di Indonesia yang mencapai puncaknya di tahun 1998, penderitaan rakyat semakin bertambah. Menariknya bahwa krisis ekonomi ini terjadi seiring dengan terjadinya krisis politik. Inilah yang menyebabkan bahwa krisis ekonomi justru mendorong massa rakyat bangkit melawan. Puncaknya adalah turunya Suharto dari kursi presiden. Kini demonstrasi-demonstrasi tidak lagi ekslusif milik mahasiswa ataupun kaum buruh pabrik yang telah lebih dahulu bangkit melawan. Saat ini hampir seluruh sektor melakukan peralawanan dengan cara aksi massa sebagai alat untuk mendapatkan kepentingan mereka.
• Kebijakan ekonomi Gus Dur yang merugikan rakyat seperti pencabutan subsidi rakyat dll juga telah menimbulkan gejolak yang masif di rakyat. Perlawanan terhadap pemerintah juga terlihat semakin lama semakin masif, terakhir seperti yang ditunjukan oleh kaum guru.
• Partai-partai politik dan parlemen sama sekali tidak bersikap atas penderitaan ini. Bahkan mereka turut serta menghasilkan kebijakan ini (misal kebijakan pencabutan subsidi). Rakyat mulai disadarkan bahwa partai-partai politik (termasuk partai-partai politik popular seperti PDI-P, PAN) tidaklah berpihak kepada mereka. Rakyat sadar bahwa tokoh-tokoh politik (Mega, Amien Rais) adalah tokoh-tokoh “Reformis” gadungan.
• Sejak kejatuhan Suharto hingga pemerintahan Gus Dur saat ini ruang kebebasan semakin terbuka. Seiring dengan adanya sedikit kebebasan ini, metode mobilisasi/penherhan massa bukan saja menjadi milik kaum revolusioner atau radikal, demokrat melainkan kalangan oportunis, reaksioner, borjuispun menggunakan metode mobilisasi massa. Bahkan bukan saja mobilisasi massa melainkan juga pendirian wadah-wadah massa permanen juga dilakukan oleh kalangan non kita. Dari mulai LSM, kelompok-kelompok demokrat non partisan hingga partai-partai politik dan kekuatan orde baru telah mulai membangun wadah-wadah massa.
• Walaupun demikian sebenarnya perkembangan subjektif gerakan jauh-jauh tertinggal di belakang perlawanan spontan massa rakyat. Gerakan spontan massa yang tidak oleh kita menyebabkan : Pertama, aksi-aksi/mobilisasi/demonstrasi tidak menghasilkan wadah perjuangan massa secara permanen. Kedua, mereka akan dikuasai oleh kelompok lain non kita, bahkan digerakan ke arah reaksioner. Ketiga, tanpa dipimpin oleh kita aksi ini tidak menghasilkan kesadaran yang lebih maju lagi, bahkan propaganda borjuasi menjadi kesadaran mereka secara umum. Misalnya saja aksi guru kemarin yang juga menyisipkan tuntutan penolakan pencabutan Tap MPRS No 25 tentang pelarangan ML yang diusulkan Gus Dur.
• Terakhir situasi perkembangan gerakan rakyat ada satu potensi diman kita dapat menggerakan rakyat secara besar. Kebijakan pemerintahan Gus Dur (akibat tekanan Imperialis via IMF) seperti menaikan tunjangan pejabat hingga 2000% telah membawa kemarahan PNS (khususnya kaum guru). Potensi bergeraknya rakyat pekerja akibat kebijakan kenaikan upah yang sangat kecil juga ada dihadapan mata. Begitu pula dengan mahasiswa dengan adanya pengurangan subsidi pendidikan. Sementara kaum tani potensi seperti subsidi pupuk, pajak impor beras yang rendah yang menghancurkan harga gabah. Dan yang paling menyangkut secara luas adalah rencana kenaikan BBM (walaupun akhirnya ditunda). Artinya potensi untuk dapat menggerakan massa secara besar dengan isu diatas sangat mungkin menjadi kenyataan. Jadi pengorganisiran mobilisasi massa bukan saja ditujukan untuk menggerakan massa satu kampung, pabrik, kampus, desa, melainkan juga pengorganisiran massa seluruh kampung, pabrik, desa, dan kampus juga menjadi tugas mendesak kita. Tentu saja tujuan kita bukan hanya untuk menggerakan semata melainkan membangun kekuatan mereka yang dipimin oleh kita.

Berdasarkan kondisi diatas, maka tugas mendesak kita saat ini adalah :
• Mengorganisir, memobilisasi, menggerakan dan memimpin perlawanan mereka (baik dalam satu isu khusus/lokal :kampung, pabrik, desa, kampus hingga isu umum sektoral bahkan isu umum yang lintas sektor).
• Membentuk wadah-wadah perlawanan massa permanent.Wadah-wadah permanen ini bila berhasil dijaga dan terus diperbesar akan menjadi kekuatan pelopor kita untuk menggerakan massa secara lebih besar lagi.
• Mempercepat pengkaderan (rekruitment).
Ketiga proses diatas dilakukan secara bersamaan. Sambil kita mengagitasi dan membuat struktur perlawanan.

Prinsip pengorganisiran :
I. Agitasi/Propaganda/Kampanye.

Keberhasilan sebuah aksi yang besar dan direncanakan akan sangat tergantung (apalagi bagi organisasi yang masih kecil) dari keberhasilan kerja-kerja agitasi/propaganda/kampanye yang didasarkan pada tuntutan umum massa yang tidak mau dipenuhi oleh pemerintah (lain halnya dengan aksi massa besar yang spontan akibat ledakan, yang tidak mungkin diperkirakan). Keberhasilan dari kerja-kerja ini terlihat dari:
• Terbangunya atmosfir isu-isu atau tuntutan-tuntutan yang dipropagandakan.
• Kesiapan (dukungan) massa secara luas untuk terlibat dalam rencana aksi (termasuk menarik aliansi/sekutu/kelompok).
• Kesiapan subjektif organisasi memimpin aksi ini.
• Reaksi pemerintah.
• (Bila aksinya terbuka) maka tanggal aksi (serta tempat aksi) juga menjadi popular di massa.

Semua alat-alat propaganda harus selalu dihubungkan dengan perluasaan propaganda isu yang kita pergunakan untuk aksi. Jadi setelah disepakati isunya, maka semua terbitan, poster, statement, diskusi, seminar, selebaran, grafity action (corat-coret) harus dihubungkan dengan hal diatas.

II. Pengorganisiran

Kerja-kerja propaganda dan agitasi harus juga sejalan dengan pengorganisiran massa guna persiapan aksi tersebut. Artinya seluruh pengorganisiran massa harus dipergunakan “nantinya” untuk kekuatan aksi yang kita selenggarakan.
Secara umum “organiser”aksi ini harus terwujud secara massal. Dari mulai mengkonsolidasikan basis kita yang sudah terorganiser hingga perluasaanya. Ini harus menjadi tugas pekerjaan/pengorganisiran bukan saja bagi kader melainkan setiap massa yang terlibat aktif dalam rencana aksi. Sejak awal pengorganisiran harus terbangun jaringan agen/koordinator pengorganisiran (yang akan diperbaiki dalam setiap perkembangan pengorganisiran). Secara ekstrem dapat dikatakan “setiap hari” harus ada tambahan jumlah massa yang bisa diajak aktif untuk acara ini (menjadi organiser). “Setiap hari” harus ada tambahan kontak baru yang mau mengkonsolidasikan tempatnya (tempat tinggal/kerja) untuk diajak ikut rencana aksi ini. “Setiap hari” harus ada kontak perluasaan daerah basis yang bisa diajak dan aktif membangun kekuatan dibasis daerahnya.
• Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak), semua laporan perkota dan basis diatas)dilaporkan kembali.
• Laporan kekuatan massa pelopor untuk memimpin/mendorong massa dalam kota/basis terlibat dalam aksi.
• Laporan distribusi selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.
• Kesimpulan dari respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum kaum buruh maupun non buruh.
• Respon penguasa, penduduk setempat, aparat dan pemerintah.
• Evaluasi pengorganisiran
• Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
• Rencana kedepan (hingga pertemuan wilayah).

Rapat Umum (semua koordinator dari seluruh tingkatan)
Menjelang hari H akan ada pertemuan besar (seluruh koordinator hingga koordinator terkecil untuk mencek kesiapan massa).

Taktik Strategi Atas :
Pada saat ini sangat mungkin untuk mempergunakan strategi atas untuk mendukung dan memaksimalkan kerja-kerja dibawah. Yang dimaksud strategi atas disini bukan saja persoalan kampanye (seperti dalam bentuk seminar terbuka) melainkan melakukan seruan aksi nasional terbuka jauh-jauh hari. Kita tidak akan melakukan ini jika tidak terlihat kesiapan hasil kerja kawan-kawan di pengorganisiran. Setelah dilihat kesiapan untuk melakukan mobilisasi umum nasional/wilayah, maka pimpinan pusat/wilayah akan mengeluarkan seruan terbuka tentang aksi itu. Ini dilakukan juga paling cepat satu bulan sebelum aksi dilakukan. Setelah ini harus dilakukan dukungan dari daerah-daerah baik berupa konferensi pers maupun aksi agar terlihat kebesaran dari rencana aksi nasional. Dukungan juga harus datang dari organisasi lain : Mahasiswa, LBH, LSM hingga partai-partai dan tokoh-tokoh. Adanya tanggapan dari pemerintah biasanya akan justru mendorong kampanye kita (memperluas atmosfir agitasi propaganda kita). Kerja-kerja pengorganisiran di bawah dapat lebih terdorong lagi. Walaupun kemungkinan represif dan kontra aksi akan dilakukan aparat keamanan, pengusaha dan pemerintah.
Lain-Lain : Seminar, talk show dll.

Aliansi/Front
Kesiapan kita untuk melakukan mobilisasi massa umum harus dilakukan sesuai dengan target kita. Cara-cara yang dipergunakan dalam aliansi/front harus diusahakan semua tuntutan, program dan taktik kita dapat diterima. Melihat watak kelompok-kelompok massa yang ada. Aliansi/front akan sangat mungkin terbentuk/terdorong jika kita berhasil melakukan pra kondisi. Dengan cara mempelopori pra kondisi kita juga dapat memimpin.

Aksi Pra Kondisi :
Aksi pra kondisi yang dilakukan dimaksudkan untuk melihat tingkat konsolidasi dan persiapan massa sebelum aksi. Aksi yang terpenting adalah aksi rally, demo, rapat akbar di satu kawasan/kota. Jadi aksinya di basis massa. Ini dimaksudkan untuk memaksimalkan kerja propaganda dan mencek tingkat dukungan massa dan latihan bagi mobilisasi pada hari H nantinya. Sebelum aksi ini dilakukan terlebih dahulu dilakukan kampanye baik dalam strategi bawah (pengorganisiran, selebaran) maupun strategi atas : Konferensi pers atau kalau perlu ada aksi awal dengan mengadakan aksi mendatangi DPR, Depnaker dll.
Catatan tentang front : Bila front berhasil terbentuk maka kegiatan yang dilakukan dapat dilakukan atas nama front termasuk siapa yang menyerukan aksi (nasional) dan dukungan daerah. Tetapi yang harus diingat kita tetap harus menjalankan program kita dan independen terhadap taktik kita bila front tidak menyetujui ini mejadi keputusan mengikat.
Seluruh kerja diatas harus dapat dikontrol secara penuh oleh partai. Kontrol disini bukan saja dimaksudkan untuk menerima laporan kerja kawan-kawan melainkan juga memberikan arahan secara regular dan konsisten dan membantu pekerjaan ini secara sistematis. Semua kerja-kerja di pengorganisiran (pabrik, kota, wilayah) harus dilaporkan secara rutin hingga kepusat. Hingga jauh-jauh hari sebelum hari H sudah bisa dilihat kesiapan dan kemungkinan keberhasilan aksi tersebut.
Semua tindakan kerja-kerja pengorganisiran (dalam setiap pertemuan dan diskusi massa) dilakukan dalam satu gerak yang sama yaitu:
• Agitasi dan propaganda : agitasi isu, propaganda untuk bersatu, tuntut ke pemerintah.
• Kondisi basis (tempat kerja/tinggal) dan massa (untuk menetapkan taktik pengorganisiran) : jumlah massa, geopolitik basis, isu/tuntutan/persoalan basis.
• Peremuan berikut di basis-basis yang lebih kecil.
• Pemilihan koordinator sementara.
• Ada absensi.
• Seruan untuk mengajak kontak dalam pertemuan massa berikut.
• Kerjaan ini terus dilakukan berulang-ulang di setiap basis baru hingga menjelang hari H.

Catatan : Bila satu basis telah terkonsolidasi maka pertemuan-pertemuan massa di basis dapat dihentikan dan digantikan hanya dengan tugas penyebaran bacaan dan mencari kontak di tempat lain. Tetapi pertemuan seluruh koordinator dalam satu basis tetap dilakukan.

A. Pertemuan koordinator dibasis yang paling kecil: pabrik/kampung/desa/kampus :
Laporan (ditulis) :
• Jumlah kumpulan (sesuai dengan struktur mobilisasi), berapa massa yang hadir dalam kumpulan (dari absensi). Dari kumpulan yang ada berapa % kemampuan untuk memobilisasi massa di basis tersebut.
• Jumlah selebaran/poster yang didistribusikan dan corat-coret yang dilakukan.
• Respon/tanggapan/usulan massa dan respon penguasa
• Kontak massa lain yang ikut kumpulan.
• Rencana pengorganisiran berikut/perluasan.
• Evaluasi pengorganisran
• Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya
• Rencana ke depan (hingga pertemuan kota/wilayah terdekat).
• Lain-lain

B. Pertemuan kota/wilayah (pertemuan koordinator-koordinator basis terkecil) :
Laporan Per kota (ditulis) :
• Geo-politik : jumlah massa, pengalaman revolusioner massa kota , peta geo-politik kota, lokasi kekuatan massa yang telah terorganisir, lokasi-lokasi basis strategi (sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, aparat, rute-rute jalan, transportasi dll.
• Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak): semua laporan basis terkecil dilaporkan kembali.
• Laporan kekuatan massa kepeloporan untuk memimpin/mendorong seluruh massa dalam satu “kota/lokasi” terlibat.
• Laporan distribusi selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.
• Kesimpulan dari respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum.
• Respon massa setempat dan aparat.
• Evaluasi pengorganisiran.
• Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
• Rencana ke depan (hingga pertemuan wilayah)

C. Pertemuan wilayah (pertemuan koordinator kota yang bisa diperluas melibatkan koordintor basis).
Laporan wilayah (ditulis) :
• Geo politik wilayah : jumlah massa, pengalaman revolusioner massa wilyah, peta geo-politik wilayah, lokasi kekuatan kota-kota yang di organisir, lokasi-lokasi kota strategis (sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, penguasa, aparat, rute-rute jalan, transportasi, dll.
• Jumlah kota yang menjadi basis.

I. Bentuk Agitasi
1. Agitasi-Propaganda tertulis
A. Agitasi dan propaganda terbuka/umum/massal.
Untuk aksi wilayah maka agitasi lewat poster biasanya sangat efektif untuk mensosialisasikan tuntutan-tuntutan kita, untuk membangkitkan atmosfir perlawanan disana. Apalagi ketika basis kita di wilayah tersebut masih lemah. Penempelan poster harus ditempelkan di tempat-tempat strategis yaitu tempat berkumpul massa.
B. Agitasi lewat selebaran.
Tanpa selebaran tidak mungkin ribuan, puluhan ribu massa dapat kita organisir. Karena tidak mungkin kita mengumpulkan ribuan massa dan membicarakan hal ini, disamping tidak aman juga tidak ada tempat. Selebaran ini sifatnya bukan saja sebagai alat untuk agitasi dan propaganda melainkan lewat selebaran ini stryktur agen-agen mobilisasi dibentuk/dibangun. Lewat selebaran ini massa dapat digerakan secara TERORGANISIR, patuh dan disiplin terhadap seluruh keputusan taktik-taktik yang kita buat. Massa akhirnya bisa dipimpin lewat selebaran. Biasanya setelah selebaran kedua maka massa akan mengerti bahwa ia akan dipimpin oleh selebaran. Jadi pada dasarnya agen selebaran adalah juga agen mobilisasi sama dengan struktur mobilisasi kita. Selebaran juga berfungsi untuk keamanan rencana aksi. Lewat selebaran maka pertemuan-pertemuan massa dapat diperkecil. Hanya agen-agen misalnya.
Catatan : Selebaran tidak hanya dipergunakan pada pra aksi melainkan juga pada pasca aksi hari pertama atau untuk menggerakan aksi kembali, memperluas aksi dll.
Di tempat-tempat didistribusikannya selebaran atau poster penting untuk dikirimkan kawan ke lokasi ini. Tujuannya untuk menagitasi dan selanjutnya mendapatkan kontak untuk diorganisir.

2. Agitasi-Propaganda Oral
A. Agitasi dan Propaganda lewat pertemuan/kumpulan
Ini suatu tindakan yang penting adalah untuk meyakinkan massa dan mengaktifkan mereka dalam rencana kita. Karena biasanya ada persoalan-persoalan ataupun pertanyaan dari massa akan suatu hal yang tidak ia dimengerti. Artinya agitasi dan propaganda kita lewat selebaran harus juga dibarengi dengan agitasi-propaganda lewat pertemuan. Lewat pertemuan kita bisa menjelaskan tuntutan kita lebih panjang dan bisa diterima massa.
B. Agitasi dari rumah ke rumah
Agitasi –propaganda ini berfungsi untuk mengajak kontak untuk diyakinkan dan dapat ikut serta dalam pertemuan yang kita lakukan. Biasanya ini dipergunakan pada tahap awal pengorganisiran atau ketika ada perluasan ke basis lain dan sifatnya masih kontak.
II. Pembangunan Struktur Agen Mobilisasi
Struktur agen yang kita bentuk disesuaikan dengan struktur basis massa yang menjadi sasaran aksi . Karena ini aksi yang sifatnya mobilisasi umum maka struktur yang dibentuk juga bukan hanya struktur agen di basis lokal melainkan struktur agen berapa basisi/kota/wilayah. Misalnya dalam satu wilayah maka harus ada struktur antar kota satu dengan struktur kota lainnya. Sementara di kota tersebut juga ada struktur antar basis.
Pembangunan agen mobilisasi aksi wilayah sama dengan pembangunan agen dalam pengorganisiran aksi di satu basis (pabrik/kampung/desa). Bedanya adalah dalam setiap pertemuam basis, jika kita punya kontak massa basis lain, maka akan sangat baik kontak kita ini dapat diikut-sertakan, karena tuntutan kita adalah tuntutan umum seluruh massa. Ini dilakukan untuk mempercepat perluasamn basis-basis massa yang akan menjadi pelopor untuk menggerakan satu wilayah. Bahkan pada prinsipnya seluruh massa di satu basis HARUS selalu diingatkan bila punya kontak di basis lain dapat diajak ikut. Setelah itu kontak ini ditugaskan untuk mengajak kawan-kawannya dan membuat kumpulan di basisnya sendiri dan mulai membangun struktur di basis tersebut. Untuk pemilihan terhadap siapa-siapa yang menjadi koordinator maka pemilihan harus diusahakan dipilih oleh massa sendiri. Karena masalah yang mengerti siapa yang terbaik dan paling berani, paling militan dan untuk melakukan ini. Dengan pemilihan ini maka koordinator ini akan menjadi pimpinan yang akan diakui/dipatuhi oleh mereka. Sambil membangun struktur di satu basis, juga harus dilakukan pembangunan/pertemuan antar basis dan antar titik-titik/konsentrasi basis kota yang menjadi sasaran. Walaupun struktur ini bisa saja bersifat sementara karena mungkin ada pergantian.
Catatan : Setiap koordinator harus mengetahui bagaimana menghubungi jajaran di bawahnya (koordinator dibawahnya). Artinya ia harus mengetahui tempat tinggalnya.

III. Peta Lokasi Aksi
Sebelum beregrak harus ada pemetaan (peta) wilayah. Dimana titik-titik sasaran yang menjadi sasaran aksi kita. Dimana basis-basis kita, dimana massa basis-basis lain yang tidak kita organisir akan dapat diseret dalam aksi kita. Dimana letak tujuan aksi kiat, DPRD, DPR. Depnaker, Istana, dll. Dimana letak markas tentara/polisi yang akan di mobilisir untuk menghentikan aksi kita. Dimana titik yang akan menjadi tempat pertemuan utama dari titik-titik pertemuan seluruh massa. Dimana kemungkinan kita akan dihadang, kemana kita harus mundur, kemana bila kita harus tetap sampai ke lokasi aksi.
IV. Waktu Aksi
Waktu aksi yang tepat adalah pada saat massa berkumpul dijalan. Misalnya jam 6.30-7.00 WIB pada saat masuk kerja. Jam berapa pelopor harus sudah berkumpul dll. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsolidasikan massa di titik-titik kumpul, kapan harus titik-titik tersebut ketemu dan kapan harus segera bergerak keluar.

Hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Semua pekerjaan harus bersifat massal, artinya pekerjaan pengorganisiran, agitasi-propaganda, penempelan poster, pembagian selebaran harus bersifat massal, termasuk dana. Semua orang harus menjadi organisator, agitator-propagandis. Bila proses ini tidak menjadi massal bisa dipastikan sebelum aksi, bahwa kita telah gagal.
2. Harus ada dua tempat : tertutup dan terbuka.





Media dan Hegemoni Budaya


DUNIA saat ini seolah sudah tidak berbatas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas antarnegara menjadi samar. Dengan ditemukannya internet dan televisi, jarak antara kita dan orang yang ada di negara lain menjadi seolah tidak berjarak. Ini mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia di masa lampau.

Inilah yang disebut era globalisasi yang ditandai dengan adanya pasar bebas, yang membuat modal begitu mudah keluar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat satu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia sedunia: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Jadi, ia adalah anak kandung kapitalisme.

Kapitalisme yang awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Di wilayah kebudayaan, kita menyaksikan bagaimana kebudayaan Amerika dan Eropa sebagai representasi kekuatan kapitalisme dunia mencitrakan dirinya sebagai kebudayaan adiluhung. Masyarakat dunia ketiga dipaksa mengintegrasikan dirinya ke dalam bagian dari kebudayaan tersebut. Kita dapat melihat bagaimana film dan penyiaran kita hampir seluruhnya berkiblat pada kebudayaan mereka. Bahkan, di televisi kita ada istilah generasi MTV, generasi yang berpola pikir, berperilaku, dan berbusana meniru sistem budaya yang dipraktikkan di belahan dunia sana. Menolak perilaku demikian akan dianggap tidak modern dan kampungan, satu pemaknaan yang salah kaprah!



Kritik ideologi

Gramsci, seorang teoritikus politik dari Italia, memberikan sumbangan berharga dalam studi sosial dan kebudayaan. Ia memberikan penjelasan atas fenomena bertahannya kapitalisme hingga hari ini. Gramsci menemukan jawabannya ketika ia menyaksikan di masa hidupnya bahwa masyarakat yang berada di bawah tekanan rezim fasis Mussolini, tidak melakukan perlawanan terhadap rezim fasis yang berkuasa. Mestinya perlawanan itu terjadi di Italia.

Tetapi, kenyataan berbicara lain, yang terjadi justru sebaliknya, rakyat menerima dan rela hidup dengan penderitaan dan mendukung rezim yang berkuasa, yaitu rezim Mussolini. Jawaban atas fenomena ini, menurut Gramsci, karena penguasa pada masa itu melakukan hegemoni. Hegemoni terjadi ketika masyarakat kalangan bawah yang dikuasai oleh kelas yang dominan bersepakat dengan ideologi, gaya hidup, dan cara berpikir dari kelas yang dominan. Sehingga, kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas yang berkuasa (Mansur Fakih: 2002). Pemikiran Gramsci ini memberikan sumbangan berharga dalam studi kebudayaan.

Hegemoni kapitalisme saat ini telah begitu mencengkeram. Masyarakat di dunia ketiga umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh negara industri maju. Proses internalisasi nilai yang dilakukan negara maju ke negara dunia ketiga melalui aparat kebudayaan seperti film, TV, Internet, Musik, dan lain sebagainya, telah bekerja dengan sempurna.

Dalam membebaskan masyarakat dari dominasi tersebut, Gramsci mengalamatkan peran pembebasan ini kepada kaum intelektual yang harus menyadarkan masyarakat bawah bahwa mereka ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Kaum intelektual juga harus membangun blok solidaritas (civil society) guna melakukan perlawanan budaya dan melakukan delegitimasi terhadap sistem kebudayaan dari kelas dominan.

Gramsci menyebut jenis intelektual ini adalah intelektual organik. Sedangkan kaum intelektual yang tidak melakukan tugas penyadaran ini dan menjadi agen dari kepentingan kelas berkuasa, disebutnya sebagai kaum intelektual tradisional. Karena, dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kaum intelektual jenis ini melegitimasi kekuasaan yang menindas (Mudji Sutrisno: 2005). Intelektual tradisional dalam masyarakat menempati berbagai posisi ilmiah, filosofis, dan religius.

Mereka terdapat dalam universitas, sekolah, lembaga agama, media, lembaga-lembaga medis, penerbit, dan firma-firma hukum. Umumnya dalam kehidupan sehari-hari kaum inteletual tradisional ini memandang dirinya kelompok yang independen, karena bukan bagian dari kekuatan politik nyata di masyarakat, tapi menurut Gramsci, sesungguhnya mereka tidaklah independen, karena mereka justru memproduksi, mempertahankan, dan menyebarkan ideologi-ideologi yang membentuk hegemoni yang kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam akal sehat. Yang pada akhirnya akan menguntungkan kelas dominan (Crish Barker: 2000)

Budaya tandingan

Mengikuti kritik Gramsci terhadap ideologi dan kebudayaan, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya kebudayaan bukan ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan kepentingan ideologi dan kelas yang ada dalam masyarakat, baik nasional maupun internasional. Dalam konteks pertarungan, kaum intelektual dituntut untuk berpihak: menjadi agen kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat dari hegemoni dan dominasi. Bila pilihannya adalah menjadi pembebas, langkah yang harus dilakukan oleh kaum intelektual organik sebagaimana yang disarankan Gramsci adalah melakukan penguatan civil society.

Kaum intelektual organik harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk belajar bersama-sama, dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistemik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap kebudayaan dominan.

Bila gerakan ini massif dilakukan, pada gilirannya kebudayaan kelas dominan (elit) akan terdelegitimasi oleh kebudayaan massa ini. Jadi, gerakan ini intinya ingin menempatkan kebudayaan sebagai alat perjuangan massa dan alat pembebasan massa dari kekuasaan yang menindas dirinya. Kebudayaan pada akhirnya akan menjadi senjata dalam memanusiakan manusia. Contoh perlawanan terhadap kebudayaan dominan dilakukan oleh Grup Band asal Mexico, Rage Against The Machine (RATM). Group musik ini tidak hanya kritis melalui lagu, tetapi melakukan aksi turun ke Jalan. Anggota grup ini aktif turun ke jalan menentang IMF di Seattle dan New York. Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang netral, termasuk media penyiaran seperti televisi dan radio. Di dalamnya ada kepentingan ideologis yang bermain dari sekelompok kepentingan. Bila dikaitkan dengan kajian ekonomi politik, keberadaan media pada akhirnya akan didominasi oleh kelompok pemodal yang ingin menguasai dunia melalui uangnya. Fenomena mengglobalnya televisi beserta siarannya, harus dilihat sebagai upaya kaum kapitalis dunia dalam menancapkan pengaruhnya ke seantero dunia. Posisi televisi pada gilirannya akan diposisikan menjadi agen kebudayaan dari kelas dominan yang ada dalam kehidupan, kekuasaan modal.

Realitas yang televisi sajikan bukanlah realitas yang sesungguhnya, tetapi realitas kamera yang telah melalui proses "seleksi". Seleksi dilakukan oleh sekelompok orang - jurnalis, pekerja rumah produksi, produser, sutradara, hingga pemilik - yang memiliki sistem nilai, dan ideologi tertentu. Hal inilah yang menyebabkan televisi menjadi tidak bebas nilai.

Di zaman globalisasi di mana yang berkuasa adalah negara industri maju, maka televisi akan menjadi agen sistem nilai, ideologi, dan aparat hegemoni dari dunia maju atas dunia ketiga. Akuisisi Star TV di Hong Kong oleh News Corporation seharga 525 juta dolar AS, membuat Murdoch memiliki satelit televisi di Asia dan Timur Tengah serta memiliki jangkauan global terhadap 2/3 dari separuh planet bumi (Chris Barker: 2000). Bahkan, demi memperluas jaringan medianya, Murdoch telah membeli sebagian saham PT Cakrawala Andalas Televisi (antv).

Menyaksikan apa yang Murdoch lakukan, sesungguhnya ancaman terhadap dunia ketiga saat ini yang paling nyata bukanlah ancaman politik, tetapi penguasaan melalui modal yang beroperasi melalui aparat ideologi, termasuk melalui media sebagai agen kebudayaan yang tujuan akhirnya adalah hegemoni kesadaran. Bukti ini dapat dilihat dalam siaran yang ditayangkan televisi di Indonesia.

Hampir seluruh acara yang disiarkan televisi kita merepresentasikan kepentingan budaya yang ada di dunia maju. Bahkan, film-film yang ditayangkan televisi-televisi Indonesia adalah film yang diproduksi para sineas Amerika dan Eropa: Bioskop Trans TV, Layar Emas Box Office RCTI, dan Blockbuster antv. Tentunya, sistem nilai dan ideologi yang digambarkan dalam film itu sangat bias Amerika dan Eropa.

Televisi, karena dikuasai oleh para pemodal, siaran yang ditayangkannya pasti akan memperteguh dan mengukuhkan dominasi kaum pemodal. Kebudayaan yang disajikan ke khalayak luas pun kebudayaan yang tidak akan mengganggu eksisitensi kekuasaan pemodal. Dengan semakin mengglobalnya televisi, maka tidak aneh bila kebudayaan yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di negara maju. Bila ini terjadi terus-menerus, maka umat manusia sedunia akan mengganggap Amerika dan Eropa sebagai impian berjuta manusia.

Dengan melihat kebudayaan dan aparatnya sebagai sesuatu yang tidak netral, maka kritik terhadap produknya menjadi satu keniscayaan. Peran kaum intelektual dalam kritik ini menjadi penting. Membiarkan kebudayaan berdiri tanpa kritik, akan semakin menjauhkan manusia dari keadaan yang humanis. Sudah saatnya, kiranya peradaban dibangun dengan mendasarkan pada kepentingan untuk memajukan humanisme. Tanpa niat memanusiakan manusia, peradaban akan hadir di ruang hampa. Semoga ini bukan pengharapan yang utopis. Semoga! ***

SOSIALISME DAN MANUSIA DI KUBA

Artikel ini di tulis dalam bentuk sebuah surat yang ditujukan kepada Carlos Quijano, editor Marcha, majalah mingguan independen yang radikal di Montevideo, Uruguay. Guevara menulisnya saat dalam perjalanan ke luar negeri selama tiga bulan, saat mana ia berpidato di sidang umum perserikatan bangsa-bangsa dan mengunjungi sejumlah negara di Afrika. Artikel ini dipublikasikan, pada tanggal 12 Maret 1965 di majalah Marcha, dan tanggal 11 April 1965 di majalah Verde Olivo.
Kawan tercinta:
Meskipun terlambat, saya tetap berusaha menyelesaikan catatan ini dalam rangkaian perjalanan saya ke Afrika, dengan harapan bisa memenuhi janji saya. Saya akan menuliskan tema yang dinyatakan oleh judul di atas. Saya kira, itu menarik bagi para pembac a di Uruguay.
* * *
Pendapat umum yang dilontarkan dari mulut juru bicara kaum kapitalis, dalam rangka perang ideologi menentang sosialisme, yakni bahwasanya sosialisme, atau periode pembangunan sosialisme seperti yang sedang kami laksanakan di Kuba ini, ditunjukkan oleh, penghapusan individu atas nama negara. Saya tidak akan berusaha menolak pendapat tersebut semata-mata berdasarkan argumen teoritik, melainkan dengan menunjukkan fakta-fakta sebagaimana adanya di kuba dan selanjutnya memberi tambahan komentar umum. Ijinkanlah sekarang saya memaparkan sejarah perjuangan revolusioner kami sebelum dan sesudah berhasil merebut kekuasaan.
Sebagaimana telah diketahui, tanggal tepatnya dimulainya perjuangan revolusioner --yang mencapai puncaknya pada 1 Januari 1959--adalah tanggal 26 Juli 1953. Sebuah kelompok yang dipimpin oleh Fidel Castro menyerang barak Moncada di Propinsi Oriente pada pagi hari tanggal tersebut. Serangan itu gagal, kegagalan itu menjadi sebuah malapetaka; dan mereka yang hidup dijebloskan ke dalam penjara, dan memulai kembali perjuangan revolusioner setelah mereka dibebaskan melalui sebuah amnesti.
Dalam proses ini, dimana yang ada baru berupa benih sosialisme, manusia merupakan faktor fundamental. Kita meletakkan kepercayaan kita padanya--individual, khas, dengan nama pertama dan akhirnya--dan kemenangan atau kegagalan missi yang dipercayakan padanya bergantung pada kapasitasnya untuk aksi.
Selanjutnya tibalah tahap perjuangan gerilya. Perjuangan ini berkembang dalam dua lingkungan yang berbeda: rakyat, massa yang masih tertidur yang harus dimobilisasi; dan pelopornya, gerilyawan, kekuatan motor mobilisasi, pembangkit kesadaran revolusioner dan antusiasme militan. Pelopor ini merupakan agen katalisator yang membangkitkan kondisi subyektif yang diperlukan untuk memperoleh kemenangan.
Di sini sekali lagi, dalam kerangka proletarisasi pemikiran kami, dari revolusi yang berlangsung dalam kebiasaan-kebiasaan dan pikiran-pikiran kami, individu merupakan faktor pokok. Setiap seorang pejuang dari Sierra Maestra yang mencapai jenjang atas dalam barisan kekuatan revolusioner memiliki rekor tindakan yang luar biasa. Mereka memperoleh jenjang tersebut atas dasar tindakannya itu. Inilah periode kepahlawanan pertama, dan di situ mereka harus memikul tanggung jawabnya yang amat berat, untuk tugas-tugas yang amat berbahaya, dengan tiada kepuasan lain daripada berhasil memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya itu.
Dalam pekerjaan pendidikan revolusioner, kami seringkali kembali ke tema-tema yang mengandung pelajaran seperti ini. Sikap pejuang kami diarahkan sebagai manusia masa depan.
Pada bagian sejarah kami yang lain tindakan dedikasi total pada perjuangan revolusioner terus-menerus diulang. Selama krisis Oktober dan saat Hurricane Flora kami menyaksikan tindakan keberanian dan pengorbanan luar biasa yang ditunjukkan oleh seluruh rakyat. Penemuan metoda melestarikan sikap kepahlawanan ini dalam kehidupan sehari-hari, dari sudut pandang ideologis, merupakan salah satu tugas fundamental kami.
Pada bulan Januari 1959, pemerintahan revolusioner didirikan dengan keikutsertaan berbagai anggota dari kaum borjuis pengkhianat. Keberadaan Tentara Pemberontak (selanjutnya diubah menjadi kekuatan bersenjata Revolusioner setelah kemenangan revolusi 1959, pent) sebagai faktor mendasar dari kekuatan yang mengawal revolusi.
Kontradiksi serius mulai berkembang. Kontradiksi utama, pada bulan Februari 1959, diselesaikan ketika Fidel Castro memegang kepemimpinan pemerintahan, mengambil pos perdana menteri. Proses ini mencapai puncaknya pada bulan Juli tahun yang sama dengan mundurnya Presiden Urrutia karena tekanan massa.
Dalam sejarah revolusi Kuba nampak jelas karakternya, watak aslinya, yang secara sistematik berulang-ulang tampil: massa
Proses yang bersegi jamak ini bukan, sebagaimana dianggap, jumlah dari elemen-elemen dari tipe yang sama,layaknya sekumpulan domba,lebih-lebih lagi, disusutkan menjadi jenis tipe sistem yang dipaksakan dari atas. Benar adanya bahwa ia mengikuti para pemimpinannya, terutama Fidel Castro, tanpa keraguan. Namun tingkat dimana para pemimpin itu memperoleh kepercayaan sesungguhnya hasil dari ketepatan mereka menginterpretasikan keinginan dan aspirasi rakyat dalam arti utuh, dan dari perjuangan tulus untuk memenuhi janji yang dibuatnya.
Massa berpartisipasi dalam reformasi agraria dan dalam tugas sulit mengelola perusahaan-perusahaan negara; yang juga ditunjukkan melalui pengalaman Playa Giron yang heroik itu, peperangan melawan kelompok-kelompok bandit yang dipersenjatai oleh CIA; berpartisipasi melalui salah satu keputusan yang amat penting di jaman moderen selama krisis Oktober; dan saat ini berlanjut terus bekerja demi membangun sosialisme.
Dipandang dari luar, nampaknya mereka yang mengatakan tentang adanya subordinasi individu di bawah negara bisa benar. Massa melakukan tugas-tugas itu dengan antusiame yang tak ada bandingannya dan menjalankan tugas yang digariskan oleh pemerintah, apakah itu di bidang ekonomi, kebudayaan, pertahanan, olah raga, dsb.
Inisiatif muncul dari Fidel atau dari komandan tinggi revolusioner dan dijelaskan kepada rakyat, yang menjadikannya sebagai miliknya. Dalam beberapa kasus, partai dan pemerintah mengambil pengalaman lokal dan menggeneralisasikannya, dengan mengikuti prosedur sama.
Meski begitu, negara kadang-kadang membuat kesalahan. Pada saat terjadi kesalahan, yaitu nampak dari menurunnya antusiasme kolektif dikarenakan efek penurunan kuantitatif pada masing-masing elemen yang menyusun massa. Kerja menjadi lumpuh hingga mencapai penyusutan jumlah ke tingkat yang tak memadai. Saatnya harus segera membuat koreksi. Ini terjadi pada bulan Maret 1962, sebagai hasil dari kebijaksanaan sektarian yang dipaksakan pada partai oleh Anibal Escalante.
Nyata bahwa mekanisme ini tidak cukup menjamin bagi suksesi tindakan yang bijaksana. Hubungan yang lebih berstruktur dengan massa amat dibutuhkan, dan kami harus memperbaikinya di tahun-tahun selanjutnya. Selain inisiatif yang muncul dari jajaran atas pemerintahan yang telah lakukan, kami sekarang ini menggunakan metoda intuitif yang muncul dari reaksi umum atas problem-problem besar yang kami hadapi.
Dalam hal inilah Fidel seorang pemimpin. Cara khasnya dalam menyatukan dirinya dengan rakyat dapat ditangkap hanya dengan melihatnya dalam tindakan. Dalam rapat umum raksasa seseorang dapat mengamatinya bagai dialog antara dua garpu penala yang saling bergetar menghasilkan suara baru. Fidel dan massa mulai bergetar bersama dalam sebuah dialog yang intensitasnya makin tumbuh hingga mencapai klimaks dalam sebuah muara jeritan perjuangan dan kemenangan.
Sesuatu yang sulit dipahami bagi seseorang yang tidak hidup melalui pengalaman revolusi adalah keeratan dialektika antara individu dan massa,dimana massa, sebagai kumpulan individu, saling berinterkoneksi dengan para pemimpinnya.
Beberapa fenomena seperti ini memang kisa juga dilihat di bahwa kapitalisme, ketika para politisi nampak mampu memobilisasi opini umum, namun hal itu bukan sebagai gerakan sosial murni (jika benar-benar murni, maka tidak sepenuhnya benar mengatakan mereka sebagai kapitalis). Gerakan ini hanya mampu bertahan, jika orang yang itu mampu terus menjadi ispirasi bagi mereka, atau akan bertahan selama kekasaran masyarakat kapitalis terus-menerus menciptakan illusi terhadap rakyat.
Dalam masyarakat kapitalis, manusia dikontrol oleh hukum tanpa belas kasihan yang berada di luar jangkauannya. Makhluk manusia teralienasi dan diikat menjadi sebuah masyarakat oleh sebuah jaringan korda: hukum nilai. Hukum yang berlaku atas seluruh aspek kehidupannya, yang membentuk perjalanan dan nasibnya.
Hukum kapitalisme, yang mengelabui dan tak nampak bagi orang kebanyakan, berlaku atas individu tanpa ia menyadarinya. Ia hanya melihat keluasan horison tanpa batas di hadapannya. Inilah betapa hal itu dilukiskan oleh kaum propagandis kapitalis yang mengaku menarik pelajaran dari contoh semacam Rockeffeler --apakah benar atau tidak-- tentang kemungkinan meraih keberhasilan.
Tumpukan kemiskinan dan penderitaan yang dipersyaratkan bagi kemunculan seorang Rockeffeler, dan tumpukan kebejatan yang dikandung dalam kekayaan seperti itu, digelapkan oleh lukisan tersebut, dan tidak selalu mungkin bagi kekuatan rakyat untuk melihat secara jernih konsep-konsep hukum kapitalisme ini.
(Sebuah diskusi tentang bagaimana buruh di negara imperialis secara gradual kehilangan semangat internasionalisme kelas pekerjanya disebabkan hingga tingkat tertentu oleh eksploitasi terhadap negara dunia ketiga, dan pada saat yang sama bagaimana melemahnya semangat perjuangan massa di negara imperialis, bisa dikaji di sini, namun tema itu di luar sasaran pokok tulisan ini.)
Dalam kasus apapun jalan menuju kesuksesan di masyarakat kapitalis digambarkan sebagai perjuangan dengan resiko--resiko dimana, diperlihatkan, seorang individu dengan kualitas yang baik sajalah yang dapat menghadapinya. Hadiah nampak ada di kejauhan; dan jalan untuk mencapainya penuh kesepian. Maka selanjutnya, yang berlangsung adalah persaingan diantara serigala-serigala; pemenangnya akan muncul dengan ongkos kegagalan lainnya.
Sekarang saya akan mencoba mendefinisikan individu, aktor dalam drama yang sedang bergerak dan aneh dari pembangunan sosialisme ini, dalam keberadaan gandanya sebagai manusia unik dan sekaligus anggota dari masyarakat.
Saya pikir tempat memulainya adalah memahami kualitas ketidaklengkapannya, sebagai produk yang belum selesai. Sisa masa lampau dibawanya hingga saat kini dalam kesadaran individu, dan sebuah kerja yang terus menerus diperlukan untuk mengikis sisa-sisa itu. Proses ini berlangsung dalam dua sisi. Di satu sisi masyarakat bertindak melalui pendidikan langsung dan tak langsung; di sisi lain, individu menyarankan diri bagi proses pendidikan sadar diri.
Masyarakat baru yang terbentuk harus bersaing secara gigih dengan masa lalu. Masa lampau tertanam bukan hanya dalam kesadaran individu--dimana sisa sebuah pendidikan yang secara sistematik diorientasikan ke arah pemisahan individu masih sarat dikandung--namun juga melalui watak dasar dari transisi itu dimana hubungan komoditi masih bertahan. Komoditi merupakan sel ekonomi masyaraiat kapitalis. Selama ia masih ada, efeknya akan menyusup dalam organisasi produksi dan, konsekuensinya, ke dalam kesadaran.
Marx memaparkan periode transisi sebagai hasil dari ledakan transformasi dari sistem kapitalis yang dihancurkan oleh kontradiksinya sendiri. Namun, dalam kenyataan sejarah, kita menyaksikan bahwa beberapa negara yang ikatan dahannya dengan pohon imperialisme lemah akan lepas pertama kali --sebuah fenomena yang diramalkan oleh Lenin.
Di negara-negara itu kapitalisme telah berkembang secara cukup untuk menciptakan efek yang dirasakan oleh rakyat dengan satu atau lain cara; namun bukannya kontradiksi internal kapitalismelah yang menyeburkan semua kemungkinan, menyebabkan sistem pecah. Perjuangan untuk membebaskan diri dari penindas asing, kesengsaraan yang disebabkan oleh kejadian eksternal seperti peperangan,yang memberikan konsekuensi kelas-kelas diuntungkan menyokong kelas-kelas terhisap. gerakan pembebasan yang bertujuan menggulingkan rejim neokolonialis--inilah faktor jamak dalam melepaskan jenis eksploitasi seperti ini. Tindakan sadar bekerja sepenuhnya.
Sebuah pendidikan lengkap bagi kerja sosial masih belum berlangsung di negara-negara yang baru membebaskan diri dari neokolonialisme itu, dan kemakmuran masih jauh dari jangkauan massa melalui proses penyerapan yang sederhana. Di satu sisi, keterbelakangan, dan biasanya larinya modal ke luar negeri, di sisi lain, transisi yang cepat tanpa pengorbanan adalah mustahi. Jalan untuk membangun basis ekonomi, dan godaan untuk sekedar tunduk pada kepentingan material sebagai ukuran kemajuan pembangunan masih teramat besar.
Ada bahaya bahwa hutan tak akan nampak karena pohon-pohon. Impian, bahwa sosialisme dapat dicapai dengan bantuan dari peralatan tumpul yang ditinggalkan kepada kita oleh kapitalisme (komoditi sebagai sel ekonomi, laba, kepentingan materi individu sebagai ukuran, dsb.) dapat mengarahkan pada sebuah persekutuan buta.
Dan kau akan dipusingkan di sana setelah melalui perjalanan panjang dengan banyak persimpangan, dan sulit untuk keluar dari jalan yang salah. Sementara itu, fondasi ekonomi yang telah diletakkan telah bekerja merongrong perkembangan kesadaran. Untuk membangun komunisme adalah perlu, secara simultan dengan landasan material baru, membangun manusia baru.
Itulah sebabnya amat penting memilih instrumen yang tepat untuk memobilisasi massa. Pada dasarnya, instrumen itu harus berkarakter moral, tanpa mengabaikan, bagaimanapun juga, penggunaan secara tepat insentif materi--khususnya yang berkarakter sosial.
Sebagaimana telah saya katakan, di saat-saat ada resiko besar adalah mudah untuk menggalang tanggapan kuat bagi rangsangan moral; Untuk memperkuat efeknya, bagaimanapun juga, mempersyaratkan perkembangan sebuah kesadaran dimana ada skala nilai baru. Masyarakat secara keseluruhan harus dibalikkan menjadi sebuah sekolah raksasa.
Dalam pemaparan ringkas fenomena ini, adalah sama seperti proses dimana kesadaran kapitalis terbentuk dalam periode awalnya. Kapitalisme menggunakan kekuatan tapi justru itu mendidik orang akan sistem tersebut. Propaganda langsung dilakukan dengan menjelaskan keniscayaan masyarakat kelas, apakah melalui teori asal-usul takdir atau teori mekanika hukum alam.
Pendidikan ini membodohi massa, karena mereka memandang dirinya sebagai makhluk yang ditindas oleh sebuah kekuatan jahat dimana mereka tidak mungkin menentangnya.Datanglah saatnya harapan baru untuk memperbaikinya--dan hal ini, kapitalisme berbeda dari sistem kasta yang paling awal, dimana tak ada jalan keluar yang ditawarkan.
bagi beberapa orang, prinsip sistem kasta akan tetap memberi efek: hadiah bagi yang taat akan diterima setelah kematian di dunia lain dimana, menurut keyakinan lama, orang baik akan diberi hadiah. Bagi orang lain ada inovasi ini: pembagian kelas ditentukan oleh takdir, namun individu dapat bangkit keluar dari kelasnya melalui kerja, inisiatif, dsb.
Kedua ideologi ini dan mitos tentang manusia individu membentuk dirinya sendiri, jelas-jelas merupakan kebohongan: ia sudah menunjukkan dirinya, bahwa sebuah kebohongan akan adanya klas permanen adalah kebenaran.
Dalam kasus kami, pendidikan langsung memperoleh perhatian amat besar. Penjelasannya meyakinkan karena ia benar adanya; tak ada dalih yang dibutuhkan untuknya. Ia dilakukan oleh aparat pendidikan negara sebagai fungsi umum, teknik, pendidikan ideologis melalui agen-agen seperti Menteri Pendidikan dan aparat informasi partai.
Pendidikan diselenggarakan diantara massa dan pembentukan sikap baru diarahkan untuk menjadi sebuah kebiasaan. Massa terus-menerus membuat hal itu menjadi miliknya dan mempengaruhi lainnya yang belum mendidik diri. Inilah bentuk pendidikan tak langsung oleh massa, sebuah kekuatan lain.
Tapi proses seperti ini harus dengan kesadaran; individu secara kontinyu merasakan impak dari kekuatan sosial baru dan memandang bahwa ia melakukannya bukan semata-mata dikehendaki oleh patokannya. Di bawah tekanan pendidikan tak langsung ia mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang ia rasa benar dan jika ia kurang berkembang ia akan terhambat dari pencapaian secara murni. Maka Ia mendidik dirinya.
Dalam periode pembangunan sosialisme ini kita dapat melihat lahirnya manusia baru. Citranya belum sepenuhya rampung--dan tidak akan pernah rampung, karena proses ini akan terus berlangsung dari generasi ke generasi sesuai perkembangan bentuk-bentuk ekonomi baru.
Di samping itu, mereka yang kurang terdidik akan memilih jalan sendirian dalam mencapai pemenuhan ambisi-ambisi pribadinya mereka ini ada--bahkan di dalam panorama baru dari kesatuan derap langkah ke depan--mereka yang memiliki kecenderungan berjalan memisahkan diri dari massa yang menyertainya. Namun, yang penting adalah bahwa setiap hari orang memperoleh lebih banyak kesadaran akan kebutuhan untuk senantiasa beriringan di dalam masyarakat dan, pada saat yang sama, pentingnya berperan sebagai motor masyarakat itu.
Mereka tidak lagi sepenuhnya sendirian dan kehilangan petunjuk mencapai aspirasi di kejauhan. Mereka mengikuti pelopornya, yang terdiri dari partai, buruh-buruh yang sudah maju, manusia-manusia maju yang berjalan dalam kesatuan dengan massa dan dalam kerukunan yang erat dengan mereka. Pelopor mengarahkan pandangannya ke masa depan, namun bukan pandangan dari individu. Buahnya adalah sebuah masyarakat baru dimana manusia tidak akan memiliki perbedaan derajat: masyarakat manusia komunis.
Jalan ke arah sana panjang dan penuh kesulitan. Ada kalanya kita kehilangan arah dan harus kembali; Di saat lain kita terlalu cepat dan terpisah dari massa. Kadang-kadang kita terlampau lamban dan merasa hanya berjalan ditempat saja. Dalam semangat kita sebagai revolusioner kita mencoba bergerak maju secepatnya, membersihkan jalan. Namun kita tahu kita harus memelihara diri kita agar dekat terus dengan massa dan hal itu dapat dicapai lebih cepat hanya bilamana kita mengilhaminya dari contoh-contoh yang kita berikan.
Meski betapa penting adanya stimuli moral, kenyataan masih adanya pembagian ke dalam dua kelompok utama (tentu saja, di luar kaum minoritas yang karena satu dan lain alasan tidak berpartisipasi dalam pembangunan sosialisme) menunjukkan jarak relatif dari perkembangan kesadaran sosial.
Kelompok pelopor secara ideologis lebih maju dari massa; massa memahami nilai-nilai baru, tapi tidak secara memadai. Sementara pelopor sudah ada perubahan kualitatif yang memungkinkannya membuat pengorbanan sesuai kapasitasnya sebagai pelopor yang maju, massa hanya melihat sebagai gambar dan masih harus diberi rangsangan dan didorong terus hingga mencapai intensitas tertentu. Di sinilah kediktatoran proletariat bekerja, bukan hanya mendidik kelas yang telah dikalahkan (burjuis) tetapi juga individu-individu dari kelas yang menang (proletariat dan kelas tertindas lainnya).
Semua itu berarti bahwa keberhasilan menyeluruh dari serangkaian mekanisme dari lembaga-lembaga revolusioner, dibutuhkan. Sejalan dengan citra derap langkah maju ke masa depan menghasilkan konsep institusionalisasi sebagai sebuah keselarasan seperangkat saluran, langkah, pengendalian, dan minyak pelumas mekanisme yang memudahkan langkah maju, yang memfasilitasi seleksi alam dari mereka yang melangkah menuju masa depan bersama pelopor, dan pemberian hadiah bagi mereka yang memenuhi kewajiban dan hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan menentang masyarakat yang sedang dibangun.
Institusionalisasi revolusi itu masih belum tercapai. Kita mencari sesuatu yang baru yang memperlancar identifikasi total diantara pemerintah dan komunitas secara keseluruhan, sesuatu yang layak untuk kondisi khusus dalam pembangunan sosialisme; sementara itu menghindarkan dengan sungguh-sungguh untuk mencangkokkan demokrasi burjuis--seperti dewan legislatif, misalnya--ke dalam masyarakat yang sedang dalam pembentukan.
Beberapa eksperimen yang ditujukan untuk pelembagaan secara gradual dari revolusi telah dilakukan, namun tanpa grusa-grusu. Pengereman masih harus sering dilakukan; jika tidak, maka akan nampak formalitas yang bisa memisahkan kita dari massa dan dari individu, yang akan membuat kita kehilangan pandangan pokok dan aspirasi revolusioner yang paling penting: menemukan manusia terbebaskan dari keterasingannya.
Meskipun kekurangan institusi, yang harus diatasi secara gradual, massa sekarang sedang membuat sejarah sebagai kumpulan individu berkesadaran yang berjuang demi tujuan yang sama. Manusia di bawah sosialisme, meskipun penampakannya distandarisasi, jauh lebih lengkap. Meskipun kekurangan mekanisme sempurna untuk itu, peluangnya untuk mengekspresikan dirinya dan membuat dirinya merasa dalam organisme sosial jauh lebih besar.
Ini masih perlu untuk memperdalam kesadaran partisipasinya, individu dan kolektif, di semua mekanisme manajemen dan produksi, dan untuk mengikatkan hal ini dengan ide kebutuhan terhadap teknik dan pendidikan ideologis, sehingga ia melihat bagaimana saling keterkaitan proses-proses itu dan bagaimana kemajuan mereka adalah paralel. Dalam cara ini ia akan mencapai kesadaran total makhluk sosialnya, yang ekivalen untuk realisasi penuhnya sebagai makhluk manusia, dan pada saat itu rantai keterasingan telah diputuskan.
Ini harus diterjemahkan secara kongkret melalui kerja bebas dan ekspresi dari kondisi kemanusiaannya sendiri melalui kebudayaan dan seni.
Untuk itu, kerja harus memperoleh sebuah kedudukan baru. Manusia sebagai sebuah komoditi harus diakhiri, dan sebuah sistem perlu dijalankan yang menetapkan sistem kuota sebagai bentuk pemenuhan kewajiban sosialnya. Alat produksi dimiliki masyarakat, dan mesin hanyalah saluran melalui mana kewajiban dipenuhi. Manusia mulai melepaskan pikiran yang mengganggu: kenyataan bahwa kerja dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhan hewaninya.
Ia mulai memandang dirinya tercermin dalam kerjanya dan memahami kedudukan penuhnya sebagai makhluk manusia melalui obyek yang diciptakan, melalui kerja yang diselesaikan. Kerja bukan lagi menuntut penyerahan sebagian dari kemanusiannya dalam bentuk tenaga kerja yang harus dijual, yang mana bukan lagi menjadi miliknya, melainkan merepresentasikan pengungkapan dirinya ke luar, sebuah sumbangan bagi kehidupan bersama dimana ia diwakili di situ, sebuah pemenuhan kewajiban sosialnya.
Kita melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk memberikan kerja sebuah status baru berupa kewajiban sosial dan mengkaitkannya di satu sisi dengan perkembangan teknologi. yang akan menciptakan kondisi bagi kebebasan yang lebih besar, dan di sisi lain dengan kerja sukarela berdasarkan pengertian Marxist bahwa manusia akan mencapai kondisi kemanusiaannya secara sejati bilamana ia berproduksi tanpa dipaksa oleh desakan kebutuhan fisiknya dimana ia harus menjual dirinya sebagai komoditi.
Tentu saja, masih ada faktor lain bahkan ketika kerja merupakan kerja sukarela. Manusia belum mentransformasikan faktor paksaan yang melingkupi dirinya ke dalam refleks-refleks terkondisi dari sebuah watak sosial, dan dalam beberapa kasus ia masih berproduksi di bawah tekanan lingkungan. (Fidel menyebutnya tekanan moral.)
Ia masih harus menderita untuk melengkapkan kelahiran kembali semangat terhadap kerjanya,ter bebaskan dari tekanan langsung lingkungan sosialnya, walaupun mengkaitkannya melalui kebiasaan-kebiasaan barunya. Dengan demikianlah akan terbentuk komunisme.
Perubahan kesadaran tidak berlangsung secara otomatis sebagaimana halnya ekonomi tidak berubah secara otomatis. Perubahannya perlahan dan tidak ritmis, ada periode kemajuan (akselerasi) kadang amat lamban, dan bahkan mengalami kemunduran.
Lebih lanjut kita musti ingat, sebagaimana saya nyatakan sebelumnya, bahwa kita tidak membahas periode transisi belaka, sebagaimana telah Marx nyatakan dalam "Critique of the Gotha Program" nya, namun lebih berkenaan dengan sebuah fase baru yang tidak diramalkannya: sebuah periode awal transisi menuju komunisme, atau periode pembangunan sosialisme. Periode yang kita bicarakan ini berlangsung di tengah-tengah perjuangan kelas dengan kekerasan, dan dengan elemen-elemen kapitalisme di dalamnya yang mengaburkan pemahaman esensinya.
Bilamana kita menambahkan di sini skolastikisme yang hendak melacak ke belaiang perkembangan filsafat Marxist dan mendesakkan perlakuan sistematik dari periode transisi, dimana ekonomi politik belum berkembanq, kita musti menerima bahwa kita masih dangkal dan perlu mencurahkan diri untuk menggali semua karakteristik prinsipiil dari periode tersebut sebelum mengelaborasi sebuah teori politik dan ekonomi dalam ruang lingkup yang lebih besar.
Menghasilkan teori akan, tak ragu lagi, menempatkan tekanan besar pada dua pilar konstruksi sosialisme: pendidikan manusia baru dan perkembangan teknologi. Banyak yang masih harus dikerjakan dalam dua hal ini, dan kelambatan dalam konsep teknologi sebagai landasan ekonomi harus segera dikejar meskipun jalan ke arah itu sudah dibuka sebelumnya oleh negara-negara yang lebih maju. Itulah sebabnya mengapa Fidel dengan lantang menyerukan pentingnya pendidikan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi rakyat kami dan khususnya para pelopornya.
Dalam bidang ide yang tidak mengarah pada aktivitas yang mencakup pelibatan produksi, lebih mudah melihat pembagian antara kebutuhan spiritual dan material. Sudah sekian lamanya manusia berusaha membebaskan dirinya dari keterasingan melalui kebudayaan dan seni. Sementara itu ia mati setiap hari selama delapan jam atau lebih karena ia berfungsi sebagai komoditi, ia berusaha menghidupkan dirinya kembali melalui kreasi spiritualnya.
Namun obat ini melahirkan kuman penyakit yang sama pula: ia merupakan individu tersendiri yang mencari keselarasan dengan lingkungannya. Ia mempertahankan individualitasnya yang ditindas dan bereaksi pada ide-ide estetika sebagai makluk unik yang aspirasinya tetap tak ternoda(untarnished.
Itu tidak lebih dari usaha melarikan diri. Hukum nilai bukan lagi sebuah refleksi hubungan produksi yang sederhana: Monopoli kapitalis--bahkan dengan menggunakan metoda empiris murni-- mengepung seni tersebut dengan jaring yang ruwet yang membuatnya menjadi sekedar alat belaka. Superstruktur menuntut sejenis seni dimana artis harus dididik di dalamnya. Pemberontak ditundukkan oleh mesin, dan hanya bakat-bakat pengecualian saja yang bisa menciptakan karyanya sendiri. Sebagian besar lainnya menjadi orang sewaan yang malu-malu atau akan dihancurkan.
Sekolah "kebebasan" artistik diciptakan, namun nilainya terbatas hingga kita berbenturan dengannya--dengan kata lain, hingga problem riil manusia dan keterasingannya muncul. Kegusaran yang tak karuan juntrungannya atau hiburan-hiburan vulgar menjadi katup pengaman bagi kegelisahan manusia. Ide tentang penggunaan seni sebagai senjata protes mulai diperjuangkan.
Mereka yang bermain sesuai dengan aturan yang ada ditaburi dengan penghargaan-penghargaan-- seperti halnya seekor kera yang bisa menari. Kondisi yang diciptakan (impose) adalah bahwa seseorang tidak bisa menghindar dari sangkar yang tidak nyata itu.
Ketika revolusi mengambil kekuasaan, banyak terjadi eksodus dari mereka yang selama ini tidak pernah patuh sepenuhnya pada aturan main yang ada; sebagian besar --apakah mereka kaum revolusioner atau bukan-- melihat ada jalan baru yang terbentang. Penggalian artistik mengalami impuls baru. Jalan, bagaimanapun juga, kurang lebih telah diletakkan, dan konsep eskapis menyembunyikan dirinya dibalik kata 'kebebasan'. Sikap ini seringkali ditemukan bahkan diantara kaum revolusioner sendiri, sebagai sebuah refleksi idealisme burjuis di dalam kesadaran mereka.
Di negara-negara yang melangkah melalui proses yang serupa, ada yang berusaha memerangi kecenderungan ini dengan dogmatisme yang berlebih-lebihan. Kebudayaan umum sebetulnya sebuah tabu, dan puncak aspirasi kebudayaan disebut gambaran alam secara formal. Reprentasi ini ditransformasikan menjadi sebuah representasi mekanis dari kenyataan sosial yang ingin mereka tunjukkan: masyarakat ideal, hampir tanpa konflik atau kontradiksi, dimana mereka berusaha ciptakan.
Sosialisme masih muda dan memiliki banyak kesalahan. Kami kaum revolusioner sering kekurangan pengetahuan dan keberanian intelektual yang dibutuhkan untuk memenuhi tugas membangun manusia baru dengan metoda baru yang berbeda dengan metoda konvensional dan metoda-metoda konvensional korban dari pengaruh masyarakat yang menciptakannya.

(Sekali lagi tema hubungan antara bentuk dan isi kemanusiaan.)
Disorientasi meluas dan kami disibukkan oleh masalah-masalah konstruksi material. Tak ada seniman (artists) dengan otoritas besar yang pada saat bersamaan memiliki otoritas revolusioner besar. Anggota Partai harus mengambil tugas ini dan berusaha mencapai tujuan utama, mendidik rakyat.
Apa yang diusahakan selanjutnya adalah penyederhanaan. Sesuatu yang dapat dipahami oleh setiap orang, sesuatu yang dapat dipahami para fungsionaris. Penggalian artistik murni diakhiri, dan masalah kebudayaan umum disusutkan untuk mengambil beberapa hal dari kehadiran sosialis dan beberapa lainnya dari masa lampau yang telah mati (karena itu, tidak berbahaya). Jadi realisme sosialis muncul atas dasar seni abad lampau.
Namun seni realistik abad ke sembilan belas juga memiliki watak kelas, mungkin kapitalis yang lebih murni daripada seni dekaden abad-ke dua puluh ini yang menampilkan kegusaran manusia terasing. Dalam bidang kebudayaan, kapitalisme telah memberikan semua yang harus ia berikan, dan tak ada yang tersisa kecuali bau busuk bangkainya, dekadensi seni-nya dewasa ini.
Namun mengapa berusaha menemukan hanya resep-resep handal dalam bentuk-bentuk Realisme Sosialis yang telah beku? Kita tidak dapat memamerkan 'kebebasan' realisme sosialis, karena ia belum ada dan tidak akan ada hingga perkembangan penuh dari masyarakat baru. Namun kita tidak dapat, dari penghitungan seluruh beaya realisme, menghujat semua bentuk seni sejak paruh pertama abad ke sembilan belas, karena kita akan jatuh ke dalam kesalahan kembali ke masa lampau ala Proudhon, dengan menutup ekspresi artistik dari manusia yang sedang lahir dalam proses pembentukan diri.
Apa yang dibutuhkan adalah pengembangan sebuah mekanisme kebudayaan-ideologis yang mengijinkan baik penggalian bebas dan pembersihan rumput-rumput liar yang sedimikian mudahnya tumbuh di atas tanah yang telah dipupuk oleh tunjangan negara.
Di negeri kami kekeliruan realisme mekanis tidak nampak, tetapi lebih nampak lawannya. Dan hal tersebut demikian karena kebutuhan untuk menciptakan pembentukan manusia baru belum dipahami, manusia baru yang bukan menggambarkan ide abad ke sembilan belas maupun ide abad kita yang dekaden dan tak sehat ini.
Apa yang harus kita ciptakan adalah manusia abad ke dua puluh satu, walaupun ini masih aspirasi subyektif, belum disistematisasikan. Sesungguhnya inilah salah satu sasaran fundamental studi dan pekerjaan kita. Untuk tingkat keberhasilan konkret yang kita capai pada perencanaan teoritik--atau, sebaliknya, pada tingkat kesimpulan teoritik yang kita tarik dari karakter luas atas dasar riset kongkret kita --kita pasti akan membuat sumbangan bernilai bagi Marxisme-Leninisme, demi kemanusiaan.
Dengan bereaksi menentang manusia abad ke sembilan belas kita masuk ke dalam dekadensi abad ke dua puluh; itu bukanlah kesalahan telak, namun kita harus mengikisnya agar kita tidak terperosok ke dalam revisionisme.
Penumpukan terus berkembang; ide baru memperoleh momentum bagus di dalam masyarakat. Peluang-peluang material bagi perkembangan kesatuan seluruh anggota masyarakat membuat tugas membuahkan lebih banyak buahnya. Masa kini adalah masa perjuangan; masa depan merupakan milik kita.
Ringkasannya, kesalahan kebanyakan artis dan intelektual kita terletak dalam dosa asal mereka: mereka bukan revolusioner sejati. Kita bisa saja menggosok-gosok pohon elm hingga menghasilkan pohon pears, namun pada saat yang sama kita musti menanam pohon pear. Generasi baru akan lahir terbebas dari dosa asal. Kemungkinan-kemungkinan bahwa seniman-seniman besar akan muncul harus lebih besar lagi hingga ke tingkat dimana bidang kebudayaan dan kemungkinan-kemungkinan untuk ekspresi diperluas.
Tugas kita adalah menjaga generasi sekarang, diguncang oleh konflik-konfliknya, dari kemurtadan dan dari pembelotan generasi baru. kita tidak hendak menciptakan hamba-hamba pikiran resmi yang dungu, atau 'siswa-siswa bea-siswa' yanq hidup atas beaya negara --mempraktekkan " kebebasan" yang mengekor saja. Kaum revolusioner masa depan akan menyanyikan lagu manusia baru dengan suara murni dari rakyat. Ini merupakan proses yang membutuhkan waktu.
Dalam masyarakat kami, kaum-muda dan Partai memainkan peran besar.
Kaum muda penting karena ia merupakan tanah liat yang lentur dan mudah dibentuk-dari mana manusia baru dapat dibangun tanpa ada bekas-bekas lama. Kaum muda dapat dibentuk sesuai dengan aspirasi-aspirasi kami. Pendidikan mereka setiap hari semakin lengkap, dan kami tidak mengabaikan integrasi kami ke dalam kerja sejak awal. Mahasiswa-mahasiswa beasiswa kami melakukan kerja fisik selama musim libur mereka atau selama waktu belajar mereka. Dalam beberapa kasus kerja merupakan hadiah, cara pendidikan lain, namun ia tidak pernah merupakan hukuman. Sebuah generasi baru sedang dilahirkan.
Partai merupakan organisasi pelopor. la terdiri dari buruh buruh yang terbaik, yang pengajuan keanggotaannya dilakukan oleh kawan-kawan sekerjanya. Partai adalah golongan minoritas, namun memiliki otoritas yang besar karena kualitas kadernya. Aspirasi kami adalah bahwa partai menjadi sebuah partai massa, namun hanya ada saat massa telah mencapai tingkat pelopor. Yakni, ketika massa terdidik bagi komunisme.
Kerja kami secara konstan bertujuan pada pendidikan ini. Partai merupakan contoh hidup; kader-kadernya harus diajari kerja keras dan berani berkorban. Melalui tindakan mereka, mereka harus mengarahkan massa untuk melengkapi tugas-tugas revolusioner, dan ini mencakup tahun-tahun perjuangan keras melawan kesulitan-kesulitan pembangunan, musuh-musuh kelas, penyakit-penyakit masa lampau, imperialisme...
Sekarang, saya hendak menjelaskan peranan yang dimainkan oleh individu, oleh manusia sebagai individu di dalam massa yang membuat sejarah. Ini adalah pengalaman kami; ini bukanlah resep.
Fidel memberikan impuls-impuls revolusi di tahun-tahun pertama, dan juga kepemimpinannya. Ia selalu mengatur nadanya. Selain itu terdapat sekelompok kaum revolusioner yang tumbuh di atas jalan yang sama sebagai pimpinan pusat. Dan ada massa besar yang mengikuti pemimpinnya, karena yakin terhadap pemimpinnya. Massa memiliki kepercayaan kepada pemimpinnya karena pemimpin itu mengetahui bagaimana menginterpretasikan aspirasi massa.
Tak jadi soal, berapa kilogram makanan yang seseorang harus makan, ataupun berapa kali dalam satu tahun seseorang pergi ke pantai, atau berapa banyak barang-barang bagus dari luar negeri yang bisa kau beli dengan uang yang kau peroleh dari gajimu saat ini; Persoalannya adalah membuat individu merasa lebih komplet, dengan kesempurnaan internal dan tanggung jawab yang lebih besar.
Individu di negeri kami mengetahui bahwa saat-saat mulia yang terjadi dalam hidupnya adalah saat pengorbanan; kami akrab dengan pengorbanan. Mereka yang pertama kali akrab dengan pengorbanan adalah para pejuang di Sierra Maestra dan selanjutnya juga di tempat-tempat lainnya, barulah setelah itu seluruh Kuba mengetahuinya. Kuba merupakan pelopor Amerika Latin dan harus membuat pengorbanan karena ia menduduki posisi garda terdepan, karena ia mengajarkan pada massa Amerika Latin jalan menuju kebebasan penuh. Di dalam negeri, kepemimpinan menjalankan peran pelopornya. Dan harus dikatakan di sini dengan setulus-tulusnya bahwa dalam sebuah revolusi riil, dimana seseorang memberikan seluruh miliknya dan dari mana seseorang tidak mengharapkan hadiah materi darinya, tugas dari revolusioner pelopor adalah indah dan sekaligus penuh penderitaan.
Dengan resiko nampak sebagai hal yang ganjil, ijinkanlah saya mengatakan bahwa revolusioner sejati senantiasa dibimbing oleh perasaan kecintaan yang dalam. Adalah mustahil membayangkan seorang revolusioner sejati yang tidak memiliki kualitas ini. Agaknya inilah drama terbesar dari seorang pemimpin yang harus menggabungkan semangat yang menyala-nyala dengan intelegensi dingin dan membuat keputusan-keputusan yang berat dan menyakitkan tanpa menghindarinya. K kaum pelopor revolusioner kami harus membuat ideal kecintaan pada rakyat ini, pada sebab-sebab pengorbanan, membuatnya satu dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Mereka tidak bisa kurang dari persyaratan itu, yaitu dengan kadar kecintaan yang dangkal, setingkat mana manusia biasa menempatkan cintanya ke dalam prakteknya.
Pemimpin revolusi memiliki anak-anak yang baru mulai bisa bicara, yang tidak belajar memanggil ayahnya dengan nama; mereka memiliki istri atau suami yang merupakan bagian dari pengorbanan hidupnya dalam rangka memilih revolusi sebagai takdirnya; Lingkaran kawan-kawannya secara ketat dibatasi pada lingkaran kawan-kawan revolusi. Tidak ada kehidupan lain di luar itu.
Dalam keadaan seperti ini seseorang harus memiliki kadar kemanusiaan yang tinggi, kadar rasa keadilan dan kebenaran yang tinggi agar tidak jatuh ke dalam dogmatisme ekstrem, ke dalam cara pandang sekolahan yang dingin, keterasingan dari massa. Kita harus berusaha secara gigih sedemikian rupa setiap hari sehingga cinta kemanusiaan kita ditransformasikan ke dalam tingkah laku nyata, ke dalam tindakan yang menunjukkan contoh-contoh, sebagai kekuatan penggerak.
Revolusioner, kekuatan motor ideologis dari revolusi di dalam partai kita, dijejali oleh tugas-tugas yang tanpa henti-hentinya muncul dan hanya berakhir dengan kematian, terkecuali jika pembangunan sosialisme skala dunia telah rampung. Bila semangat revolusioner telah tumpul pada saat tugas-tugas yang amat mendesak harus dirampungkan di skala lokal dan ia mengabaikan tentang internasionalisme proletariat, maka revolusi sebagai kekuatan pendorong akan menjadi mandeg dan terperosok ke dalam keloyoan dimana imperialisme, musuh kita yang tak bisa ditawar-tawar lagi, akan memanfaatkannya guna memperoleh pijakannya. Internasionalisme proletariat merupakan sebuah kewajiban, namun ia juga merupakan kebutuhan revolusioner. Beginilah cara kami mendidik rakyat kami.
Tentu saja ada bahaya di dalam situasi sekarang ini, dimana bukan hanya berupa dogmatisme, bukan hanya mengendurnya ikatan dengan massa, di tengah-tengah tugas berat. Bahaya yang lain adalah kelemahan yang ada pada diri kami sendiri. Seandainya seseorang berpikir hendak mengabdikan keseluruhan hidupnya bagi revolusi maka ini berarti bahwa ia tidak akan terganggu oleh kekhawatiran seperti anak-anaknya akan kekurangan atau kehilangan sesuatu, bahwa sepatu anaknya telah usang dan robek dan harus segera diganti, bahwa keluarganya kekurangan dan butuh akan barang-barang tertentu, dimana demi memenuhi kekurangan-kekurangan itu ia menyediakan dirinya dimasuki oleh kuman-kuman tindak korupsi.
Dalam hal seperti itu kami, sebagai revolusioner pelopor, harus memandang bahwa anak-anak kami harus dibiasakan dan diajak untuk tidak memiliki sesuatu barang jika anak-anak dari rakyat umumnyapun tidak memiliki barang seperti itu, dan keluarga kita harus memahami hal ini dan hidup dengan cara seperti ini. Revolusi tercipta melalui manusia, namun manusia harus mengasah semangat revolusionernya hari demi hari.
Beginilah cara kami melangkah. Di ujung tiang pokok –kita tak perlu malu atau takut menyatakannya-- adalah Fidel Castro. Di belakangnya adalah kader-kader partai terbaik, dan di belakang mereka, sedemikian dekatnya mereka sehingga kita bisa merasakan kekuatan dahsyatnya, muncullah rakyat dengan keseluruhannya, sebuah struktur yang kukuh dari individu-individu yang bergerak menuju tujuan sama, individu-individu yang memperoleh kesadaran tentang apa yang harus dilakukan, manusia yang berjuang untuk menghindar dari kenyataan keterpaksaan dan memasuki kebebasan.
Kumpulan manusia (great throng) yang begitu besar ini mengorganisasi dirinya; organisasinya merupakan hasil dari kesadarannya terhadap perlunya organisasi itu. Ia bukan lagi merupakan kekuatan yang terpecah-pecah, terbagi-bagi ke dalam ratusan gumpalan yang terlempar ke udara bak pecahan granat, yang mencoba segala macam cara untuk mencapai perlindungan dari sebuah masa depan tak jelas, dalam sebuah pertarungan sengit dengan kawan-kawannya sendiri.
Kita mengetahui bahwa pengorbanan ada dihadapan kita dan kita harus membayar sebuah harga demi fakta heroik dimana kita? sebagai sebuah bangsa, merupakan pelopor kita, sebagai pemimpin, mengetahui beaya yang harus kita bayar demi hak untuk menyatakan bahwa kita adalah pemimpin rakyat yang pemimpin benua Amerika Latin. Masing-masing dari kita harus membayar secara penuh jatah pengorbanan kita, makhluk yang memiliki kesadaran bahwa hadiah yang kita terima tak lain merupakan kepuasan bila mampu memenuhi kewajiban, kesadaran maju bersama dengan setiap orang menuju manusia baru yang nampak di cakrawala.
Ijinkanlah saya menarik beberapa kesimpulan:
Kami kaum sosialis, lebih bebas karena kami lebih lengkap, kami lebih lengkap karena kami lebih bebas.
Kerangka kebebasan menyeluruh kami telah terbentuk. Daging dan bajunya masih belum ada, kita akan menciptakannya.
Kebebasan kami dan topangannya sehari-hari kami bayar dengan darah dan pengorbanan kami.
Pengorbanan kami disadari: beaya yang harus dibayar bagi kebebasan yang sedang kami bangun.
Jalan ini panjang dan sebagian tidak kita ketahui kami menyadari keterbatasan kami, kami akan menciptakan manusia abad ke dua puluh satu--kami, diri kami.
Kami akan menempa diri kami dalam tindakan sehari-hari; menciptakan manusia baru dengan teknologi baru.
Individu memainkan peranan dalam memobilisasi dan mengarahkan massa sepanjang ia memiliki kebajikan yang amat tinggi dan aspirasi tentang rakyat dan tidak menyeleweng dari jalur.
Untuk membersihkan jalan dilakukan oleh kelompok pelopor, yang terbaik dari segalanya, yaitu Partai.
Basis sasaran (basic clay)dari pekerjaan kami adalah pemuda. Kami menempatkan harapan kami pada mereka dan mempersiapkan mereka mengambil panji-panji dari tangan kami.
* * *
Jika surat yang penuh kekurangan ini (inarticulate letter) menjelaskan sesuatu berarti dia menunjukkan obyektivitas yang mendasarinya. Aku tutup dengan salam kita--sebagaimana kebiasaan jabat tangan atau satu "Ave Maria Purissima"--Tanah Air atau Mati!

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!