Sabtu, 04 Januari 2014

"Student Loan" Memaksa Mahasiswa Berutang


Agenda privatisasi pendidikan terus berjalan. Sekarang ini, misalnya, pemerintah sedang merancang model kredit/pinjaman kepada mahasiswa kurang mampu. Hal ini dianggap sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi (PT). Mereka berharap, dengan student loan itu, mahasiswa kurang mampu bisa menuntaskan pendidikan mereka.
Nantinya, setiap mahasiswa kurang mampu akan mendapat pinjaman (student loan). Mereka yang mendapat pinjaman itu wajib membayar kembali pinjaman itu setelah mereka mendapat pekerjaan. Dengan demikian, kewajiban pertama seorang mahasiswa setelah mendapat pekerjaan adalah membayar utang.
Student loan bukanlah hal baru. Di negara lain, termasuk Amerika Serikat, sistem ini terbukti gagal. Utang pinjaman mahasiswa di AS sudah mencapai 1 triliun dollar AS (kira-kira Rp 9000 triliun). Sebuah sumber menyebutkan, setiap mahasiswa di AS berutang sebesar 24,300 dollar AS (kira-kira Rp 218 juta).
Data dari Pew Research Center menyebutkan,  sebanyak 22,4 juta rumah tangga di AS, atau sekitar 19%, punya utang di Universitas. Itu naik dua kali lipat dibanding tahun 1989, dan naik 15% di banding tahun 2007 (sebelum krisis). Akibatnya, rumah tangga dipaksa menggunakan sebagian besar pendapatan mereka untuk membayar pinjaman pendidikan tersebut.
Student loan membawa mimpi buruk bagi mahasiswa. Bayangkan, begitu mereka mendapat gelar sarjana, tugas pokok mereka adalah membayar utang. Ironisnya, mereka dipaksa mencari pekerjaan berupah tinggi supaya bisa melunasi utang. Kalau tidak, selamanya mereka akan dikejar-kejar utang.
Masalahnya, pinjaman mahasiswa terus naik. Pemicunya bukanlah jumlah pengeluaran mereka selama kuliah. Namun, dalam banyak kasus, penyebab meroketnya utang mahasiswa adalah biaya pendidikan yang juga meroket. Jadi, di satu sisi, mahasiswa dipaksa berutang, tetapi pada sisi lain, biaya pendaftaran dan biaya kuliah juga terus digenjot sesuai hukum pasar.
Nah, bagaimana kalau kebijakan itu diterapkan di Indonesia?
Higher Education Leadership and Management (HELM) pernah membuat survei mengenai sumber pendapatan mahasiswa di Indonesia. Alhasil, survei HELM menyimpulkan, mayoritas mahasiswa (88,16 persen) mengaku sumber pendapatannya dari orang tua/keluarga mereka. Dan hanya 4,60 persen yang bergantung pada beasiswa.
Survei itu juga menyebutkan, ketika orang tua mahasiswa dikenai tagihan pembayaran, sebagian besar mereka meminjam: saudara (32 persen), bank (28 persen), dan Pegadaian (13 persen). Jadi, sekarang saja, rata-rata orang tua di Indonesia sudah mengutang demi memenugi tagihan pendidikan anaknya. Artinya, kalau student loan dipraktekkan, korban pertamanya adalah rumah tangga miskin dan klas menengah.
Pada jaman orde baru, model student loan pernah dipraktekkan. Program itu diberi nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Mekanismenya, kredit akan dicairkan pada saat mahasiswa menyelesaikan tugas akhir dan harus dikembalikan setelah lulus. Dan, sebagai jamiannya, ijazah pun ditahan. Pada prakteknya, banyak penerima KMI tidak sanggup mengembalikan pinjaman.
Lagi pula, sarjana di Indonesia berhadapan dengan ancaman “pengangguran”. Sebuah data menyebukan, jumlah sarjana menganggur di Indonesia mencapai 2,6 juta orang. Versi lain menyebutkan, jumlah keluaran Universitas yang menganggur setiap tahunnya mencapai 60%, sedangkan yang terserap lapangan kerja hanya 37%. Artinya, dengan kondisi kerja seperti sekarang, student loan hanya akan memaksa mahasiswa untuk menanggung utang seumur-hidupnya.
Belum lagi, di satu sisi, biaya pendidikan terus meroket naik. Otomatis pinjaman mahasiswa juga akan tinggi. Sedangkan, pada sisi lainnya, dunia kerja sangat sedikit menyerap tenaga kerja mahasiswa. Sudah begitu, dunia kerja di Indonesia masih berada di bawah kediktatoran politik upah murah. Artinya, kalau mereka bekerja sekalipun, belum tentu bisa menutupi utang. Akhirnya, yang terjadi adalah “orang hidup dan bekerja untuk membayar utang.”
Model student loan sebetulnya melanggar konstitusi. Pada pembukaan UUD 1945 disebutkan dengan tegas bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, negara harus membuka ruang seluas-lusnya agar mahasiswa bisa mengakses pendidikan yang berkualitas.
Bahkan, pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.” Dengan demikian, negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pengajaran yang bisa diakses dengan mudah oleh seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pendidikan itu mestinya digratiskan oleh negara, supaya bisa diakses oleh seluruh rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!