Jumat, 31 Mei 2013

Negeri perburuhan

Semua orang sepakat bahwa sejarah selalu berkasus diseputaran kelas. Buruh, pekerja, kuli, dan sederet kata (panggilan) menyakitkan lainnya diperhadapkan pada kebijakan yang dimotori oleh duet maut; penguasa dan pengusaha/pemodal (baca saja: ketidakadilan). Fenomena yang seperti itu pun tidak jauh dari negeri kita. Seperangkat permasalahan ketenagakerjaan, dibayar tunai oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Di Indonesia, menyoal ketenagakerjaan sebenarnya kita tidak begitu tahu “hakikat” masalah tersebut. Buktinya adalah tak kunjung redanya warisan “penyakit ekonomi”, walaupun setelah sekian kali mengalami perubahan struktur politik.
Seperti yang akhir-akhir ini marak pemberitaannya di TV dan koran, demonstrasi besar-besaran oleh para buruh/serikat buruh yang berisi nada protes mereka terhadap revisi UU ketenagakerjaan No.13/2003. Mereka menilai (dan kelihatannya memang benar demikian) bahwa UU tersebut sangat merugikan buruh dan sebaliknya sangat menguntungkan pemodal. Misalnya, jika pekerja melakukan mogok kerja maka ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun melayang, bisa juga dengan penghapusan cuti besar atau jaminan hari tua/pensiun. Bahkan apabila perusahaan merasa dirugikan dari aktivitas mogok tersebut, para pekerja bisa diadukan di pengadilan. Dan tentu saja, berbicara mengenai hukum di negeri ini…(ah, sudahlah. Ini kan masih bagian pendahuluan. Kita pending dulu pusingnya).

Menurutku sih…
Sepertinya salah satu penyebabnya adalah alat analisa dan data. Negara ini banyak sekali memiliki angka-angka statistik mengenai ketenagakerjaan, namun data statistik yang ada tidak cukup untuk memahami sepenuhnya masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Padahal statistik adalah persyaratan utama untuk memilih kebijakan yang paling baik untuk mengatasi masalah ini dan menentukan sasaran serta menetapkan target. Akibatnya adalah kita hanya memotret gambar ketenagakerjaan dengan remang-remang saja.
Ada masalah yang mendesak yang harus dipecahkan pada ketenagakerjaan di negeri ini, seperti pengangguran terbuka yang mencapai 10,3 juta, lambannya pertumbuhan lapangan pekerjaan. Sebelum itu ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian agar dapat melihat masalah ketenagakerjaan lebih baik.
Pertama, mengenai kemampuan melakukan proyeksi bagaimana gerakan pada perekonomian dapat diterjemahkan pada pola-pola pekerjaan, pengangguran,dan upah. Kita sering mendengar sebuah impian, jika tidak mau menyebutnya sebagai sebuah “igauan”, bahwa jika pertumbuhan ekonomi tinggi, katakan 9%, maka pengangguran akan turun. Kita terus saja mengutip ‘igauan’ ini walaupun secara empiris hal ini banyak tidak benarnya. Analisis berdasarkan data empiris menunjukkan bahwa ketika Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi selama awal 1991-1996, tambahan pekerjaan yang tercipta adalah 89 ribu-398 ribu, hal yang serupa ketika berada pada masa pertumbuhan ekonomi rendah 1997-2003. Bahkan kajian-kajian terdahulu dibeberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi jenis tertentu memang dapat menyebabkan kelompok-kelompok tertentu terpuruk dalam kemiskinan (Meier, 2001).
Kedua, pengetahuan kita yang sedikit atas salah satu faktor krusial dalam pembuatan kebijakan, yaitu fleksibilitas pasar tenaga kerja. Kita ketahui bersama bahwa bentuk piramida pendapatan penduduk Indonesia adalah seperti “kembung” dibawah. Dikaitkan dengan statistika kemiskinan, maka didapat bahwa hampir 55% penduduk mengkonsumsi pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan minimumnya beberapa rupiah diatas Rp.150.000, hanya “sejengkal” dari poverty line. Maksudnya adalah mereka memiliki penghasilan untuk (hanya) hidup berpola subsisten, pas-pasan. Lalu bagaimana mungkin, muncul pemikiran untuk menurunkan upah riil (melenturkan pasar tenaga kerja) dimana hidup subsisten adalah pola yang masih didominasi oleh penduduk Indonesia.
Masih mengenai kelenturan, kita ingat pembicaraan pada model lewis, insentif untuk bergerak kedaerah lain untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Namun masalahnya kita tidak memiliki informasi yang cukup mengenai perbedaan-perbedaan antar daerah dalam hal upah. Kita tidak tahu thresshold pengangguran disuatu daerah, misalnya ketika terjadi suatu shock pada suatu industri atau sektor tertentu, maka terdapat tingkat pengangguran yang terlampau tinggi atau juga terlampau rendah.
Hal ini sebenarnya dapat menimbulkan ketimpangan antar-wilayah. Faktor utamanya adalah perpindahan tenaga kerja dipengaruhi oleh suplai berlebihan tenaga kerja yang hanya memiliki sedikit ketrampilan. Diakibatkan oleh sistem pendidikan selama ini yang bersifat umum dan tidak disertai keahlian dan ketrampilan. Sistem pendidikan seperti ini akan memperluas gap antara penawaran dengan permintaan tenaga kerja, dan peningkatan perpindahan penduduk.
Argumen kelenturan pasar tenaga kerja yang menyatakan bahwa biarlah permintaan dan penawaran tenaga kerja yang mengatur, selama tenaga kerja dapat bergerak (migrasi) dari suatu daerah kedaerah lain, selama pasar kompetitif, maka kita tidak akan mengalami masalah pengangguran, dalam bahasa adam smith, hanya ada voluntary unemployment. Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Kita selalu berbicara bahwa pasar faktor (tenaga kerja) tidak lentur?, tapi jarang berbicara struktur pasar (perusahaan) yang kompetitif. Sementara itu, wacana yang bergulir adalah mendorong fleksibilitas pasar tanaga kerja dalam arti menurunkan upah riil, ketat membatasi kekuasaan serikat buruh, kemudahan majikan untuk memutuskan kontrak kerja, dan mengubah status buruh dari karyawan tetap menjadi karyawan kontrak, dan lain sebagainya. Fleksibilitas ini pada taraf ekstrim akan mengarah pada membesarnya pengangguran.
Oleh karena itulah peran pemerintah menjadi penting untuk mediasi/memfasilitasi perundingan kedua kelompok yang sebenarnya memiliki posisi tawar yang tidak berimbang (mengingat besarnya suara politik perusahaan-perusahan Indonesia berkaitan dengan daya saing).
Beralih pada masalah kebijakan, pertama dalam ranah konseptual. Pekerjaan (employment) pada akhirnya adalah masalah distribusi pendapatan. Hal ini terdapat pada semua text books perkuliahan –Ricardo, ekonom klasik, dan diskusi-diskusi mengenai quality of growth-- adalah tentang fairness dan social equity. Kedua hal ini tidak lain adalah mengenai distribusi. Dan distribusi tidak berbicara mengenai hal teknis melainkan berbicara mengenai kesepakatan/ kompromi tentang yang adil dan patut tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya dialog sosial antar stakeholder (aktor), misalnya dalam hal penentuan upah. Dengan perundingan kolektif, Zafiris Tzannatos (unions and collective bargaining:economics effects in a global environment, 2002) menyatakan bahwa sistem perundingan kolektif yang memiliki level koordinasi perundingan tinggi punya efek yang baik terhadap kinerja makro-ekonomi dalam jangka panjang; meningkatkan upah (lebih tinggi di negara berkembang); memperkecil distribusi upah; masa kerja di perusahaan yang memiliki serikat pekerja lebih lama.
Kedua dari sudut institusi, hal ini penting! Douglas North (institutional change and economic performance), peraih nobel ekonomi 1993, menyatakan bahwa kinerja ekonomi bisa bagus hanya jika aspek kelembagaan berdinamika sesuai kebutuhan, tanpa itu mustahil kebijakan ekonomi mampu menyelesaikan permasalahan (ketenagakerjaan). Unsur kelembagaan tersebut diantaranya adalah aturan formal (Undang-Undang), aturan non-formal (kesepakatan), dan aktor (pemerintah, buruh, pengusaha).
Kita ketahui bahwa negara ini belum memiliki tradisi atas lembaga-lembaga yang kredibel, stabil. Era reformasi telah melakukan (r)evolusi mendasar pada tubuh semua lembaga di negeri ini mulai dari perusahaan, pemerintahan, pengadilan, sistem politik, sistem hukum dan perundang-undangan sampai parlemen. Dari tubuh-tubuh yang baru ini bagaimana bisa terjadi equilibrium mengenai distribusi?
Selanjutnya mengenai, apa peran pemerintah sebenarnya? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam hubungannya dengan kebijakan ketenagakerjaan dan lapangan pekerjaan. Pertama, bahwa pemerintah perlu memperhatikan economic security yang notabene bukan upah riil an sich, melainkan ‘upah sosial’. Contohnya biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan biaya pelayananan umum dasar. Dengan demikian, dengan upah minimum “yang minim”, tenaga kerja masih bisa hidup “layak”. Peran utama ini kerap dimainkan oleh pemerintah walaupun harus bermitra dengan non-pemerintah.
Kedua seberapa besar pemerintah dapat mentolerir adanya inequality dari segi upah, regional diversity/inequality dalam ketenagakerjaan seperti yang telah dijelaskan diatas?
Ketiga, tresshold atas defisit anggaran yang dapat diterima dalam kebijakan ekonomi makro. Pada masa ‘transisi’ ini employment adalah public goods, dan pengangguran adalah isu yang sangat penting di Indonesia. Oleh karena itu, standard cost-benefit analysis atas defisit anggaran harus di imbangi dengan kebutuhan politik.
Kebijakan-kebijakan ekonomi makro di Indonesia saat ini dirasakan tidak kondusif bagi penciptaan lapangan pekerjaan. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terlalu kontraktif. Kebijakan fiskal terlalu fokus pada anggaran berimbang. Sehingga racikan “obat” yang diharapkan manjur adalah kebijakan makro yang lebih longgar. Sebagai contoh, kebijakan fiskal yang longgar dengan belanja yang meningkat atas infrastruktur akan langsung menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Untuk itu, program-program pemerintah seperti penyediaan lapangan pekerjaan merupakan sebuah kunci pemecahan masalah.
Namun memang, kebijakan ini ada ongkosnya. Dalam jangka pendek, jika defisit meningkat maka rasio hutang dan inflasi terhadap GDP juga meningkat. Akan tetapi, inflasi bisa meningkat hanya sedikit, sementara itu rasio utang terhadap GDP naik hanya utnuk tahun pertama. Jika investasi dipicu oleh infrastruktur yang membaik maka investasi swasta akan menyusul. Maka seperti hipotesa diatas, belanja atas infrastruktur dapat menciptakan lapangan pekerjaan, via tenaga kerja pada program pada karya dan juga via investasi swasta.
Akhirnya, beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjawab persoalan ini salah satunya adalah kemampuan membuat alat analisa yang lebih sophisticated; kebijakan mengenai upah bukanlah suatu hal tekhnis, jadi diselesaikan via dialog sosial; berani untuk melonggarkan kebijakan fiskal untuk membiayai program penciptaan lapangan kerja.
Masalahnya adalah tinggal kita berani atau tidak menjawab tantangan besar itu ? kalau jawabannya adalah ya, maka selamat dating di dunia hero. Dunia yang sebenarnya. Sebuah kesempatan emas untuk membuktikan bahwa Indonesia, emosi dan mentalnya dalam mengolah permasalahan memang setua dengan usianya yang sudah 61 tahun.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!