Jumat, 31 Mei 2013

Media dan Hegemoni Budaya


DUNIA saat ini seolah sudah tidak berbatas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas antarnegara menjadi samar. Dengan ditemukannya internet dan televisi, jarak antara kita dan orang yang ada di negara lain menjadi seolah tidak berjarak. Ini mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia di masa lampau.

Inilah yang disebut era globalisasi yang ditandai dengan adanya pasar bebas, yang membuat modal begitu mudah keluar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat satu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia sedunia: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Jadi, ia adalah anak kandung kapitalisme.

Kapitalisme yang awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Di wilayah kebudayaan, kita menyaksikan bagaimana kebudayaan Amerika dan Eropa sebagai representasi kekuatan kapitalisme dunia mencitrakan dirinya sebagai kebudayaan adiluhung. Masyarakat dunia ketiga dipaksa mengintegrasikan dirinya ke dalam bagian dari kebudayaan tersebut. Kita dapat melihat bagaimana film dan penyiaran kita hampir seluruhnya berkiblat pada kebudayaan mereka. Bahkan, di televisi kita ada istilah generasi MTV, generasi yang berpola pikir, berperilaku, dan berbusana meniru sistem budaya yang dipraktikkan di belahan dunia sana. Menolak perilaku demikian akan dianggap tidak modern dan kampungan, satu pemaknaan yang salah kaprah!



Kritik ideologi

Gramsci, seorang teoritikus politik dari Italia, memberikan sumbangan berharga dalam studi sosial dan kebudayaan. Ia memberikan penjelasan atas fenomena bertahannya kapitalisme hingga hari ini. Gramsci menemukan jawabannya ketika ia menyaksikan di masa hidupnya bahwa masyarakat yang berada di bawah tekanan rezim fasis Mussolini, tidak melakukan perlawanan terhadap rezim fasis yang berkuasa. Mestinya perlawanan itu terjadi di Italia.

Tetapi, kenyataan berbicara lain, yang terjadi justru sebaliknya, rakyat menerima dan rela hidup dengan penderitaan dan mendukung rezim yang berkuasa, yaitu rezim Mussolini. Jawaban atas fenomena ini, menurut Gramsci, karena penguasa pada masa itu melakukan hegemoni. Hegemoni terjadi ketika masyarakat kalangan bawah yang dikuasai oleh kelas yang dominan bersepakat dengan ideologi, gaya hidup, dan cara berpikir dari kelas yang dominan. Sehingga, kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas yang berkuasa (Mansur Fakih: 2002). Pemikiran Gramsci ini memberikan sumbangan berharga dalam studi kebudayaan.

Hegemoni kapitalisme saat ini telah begitu mencengkeram. Masyarakat di dunia ketiga umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh negara industri maju. Proses internalisasi nilai yang dilakukan negara maju ke negara dunia ketiga melalui aparat kebudayaan seperti film, TV, Internet, Musik, dan lain sebagainya, telah bekerja dengan sempurna.

Dalam membebaskan masyarakat dari dominasi tersebut, Gramsci mengalamatkan peran pembebasan ini kepada kaum intelektual yang harus menyadarkan masyarakat bawah bahwa mereka ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Kaum intelektual juga harus membangun blok solidaritas (civil society) guna melakukan perlawanan budaya dan melakukan delegitimasi terhadap sistem kebudayaan dari kelas dominan.

Gramsci menyebut jenis intelektual ini adalah intelektual organik. Sedangkan kaum intelektual yang tidak melakukan tugas penyadaran ini dan menjadi agen dari kepentingan kelas berkuasa, disebutnya sebagai kaum intelektual tradisional. Karena, dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kaum intelektual jenis ini melegitimasi kekuasaan yang menindas (Mudji Sutrisno: 2005). Intelektual tradisional dalam masyarakat menempati berbagai posisi ilmiah, filosofis, dan religius.

Mereka terdapat dalam universitas, sekolah, lembaga agama, media, lembaga-lembaga medis, penerbit, dan firma-firma hukum. Umumnya dalam kehidupan sehari-hari kaum inteletual tradisional ini memandang dirinya kelompok yang independen, karena bukan bagian dari kekuatan politik nyata di masyarakat, tapi menurut Gramsci, sesungguhnya mereka tidaklah independen, karena mereka justru memproduksi, mempertahankan, dan menyebarkan ideologi-ideologi yang membentuk hegemoni yang kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam akal sehat. Yang pada akhirnya akan menguntungkan kelas dominan (Crish Barker: 2000)

Budaya tandingan

Mengikuti kritik Gramsci terhadap ideologi dan kebudayaan, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya kebudayaan bukan ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan kepentingan ideologi dan kelas yang ada dalam masyarakat, baik nasional maupun internasional. Dalam konteks pertarungan, kaum intelektual dituntut untuk berpihak: menjadi agen kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat dari hegemoni dan dominasi. Bila pilihannya adalah menjadi pembebas, langkah yang harus dilakukan oleh kaum intelektual organik sebagaimana yang disarankan Gramsci adalah melakukan penguatan civil society.

Kaum intelektual organik harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk belajar bersama-sama, dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistemik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap kebudayaan dominan.

Bila gerakan ini massif dilakukan, pada gilirannya kebudayaan kelas dominan (elit) akan terdelegitimasi oleh kebudayaan massa ini. Jadi, gerakan ini intinya ingin menempatkan kebudayaan sebagai alat perjuangan massa dan alat pembebasan massa dari kekuasaan yang menindas dirinya. Kebudayaan pada akhirnya akan menjadi senjata dalam memanusiakan manusia. Contoh perlawanan terhadap kebudayaan dominan dilakukan oleh Grup Band asal Mexico, Rage Against The Machine (RATM). Group musik ini tidak hanya kritis melalui lagu, tetapi melakukan aksi turun ke Jalan. Anggota grup ini aktif turun ke jalan menentang IMF di Seattle dan New York. Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang netral, termasuk media penyiaran seperti televisi dan radio. Di dalamnya ada kepentingan ideologis yang bermain dari sekelompok kepentingan. Bila dikaitkan dengan kajian ekonomi politik, keberadaan media pada akhirnya akan didominasi oleh kelompok pemodal yang ingin menguasai dunia melalui uangnya. Fenomena mengglobalnya televisi beserta siarannya, harus dilihat sebagai upaya kaum kapitalis dunia dalam menancapkan pengaruhnya ke seantero dunia. Posisi televisi pada gilirannya akan diposisikan menjadi agen kebudayaan dari kelas dominan yang ada dalam kehidupan, kekuasaan modal.

Realitas yang televisi sajikan bukanlah realitas yang sesungguhnya, tetapi realitas kamera yang telah melalui proses "seleksi". Seleksi dilakukan oleh sekelompok orang - jurnalis, pekerja rumah produksi, produser, sutradara, hingga pemilik - yang memiliki sistem nilai, dan ideologi tertentu. Hal inilah yang menyebabkan televisi menjadi tidak bebas nilai.

Di zaman globalisasi di mana yang berkuasa adalah negara industri maju, maka televisi akan menjadi agen sistem nilai, ideologi, dan aparat hegemoni dari dunia maju atas dunia ketiga. Akuisisi Star TV di Hong Kong oleh News Corporation seharga 525 juta dolar AS, membuat Murdoch memiliki satelit televisi di Asia dan Timur Tengah serta memiliki jangkauan global terhadap 2/3 dari separuh planet bumi (Chris Barker: 2000). Bahkan, demi memperluas jaringan medianya, Murdoch telah membeli sebagian saham PT Cakrawala Andalas Televisi (antv).

Menyaksikan apa yang Murdoch lakukan, sesungguhnya ancaman terhadap dunia ketiga saat ini yang paling nyata bukanlah ancaman politik, tetapi penguasaan melalui modal yang beroperasi melalui aparat ideologi, termasuk melalui media sebagai agen kebudayaan yang tujuan akhirnya adalah hegemoni kesadaran. Bukti ini dapat dilihat dalam siaran yang ditayangkan televisi di Indonesia.

Hampir seluruh acara yang disiarkan televisi kita merepresentasikan kepentingan budaya yang ada di dunia maju. Bahkan, film-film yang ditayangkan televisi-televisi Indonesia adalah film yang diproduksi para sineas Amerika dan Eropa: Bioskop Trans TV, Layar Emas Box Office RCTI, dan Blockbuster antv. Tentunya, sistem nilai dan ideologi yang digambarkan dalam film itu sangat bias Amerika dan Eropa.

Televisi, karena dikuasai oleh para pemodal, siaran yang ditayangkannya pasti akan memperteguh dan mengukuhkan dominasi kaum pemodal. Kebudayaan yang disajikan ke khalayak luas pun kebudayaan yang tidak akan mengganggu eksisitensi kekuasaan pemodal. Dengan semakin mengglobalnya televisi, maka tidak aneh bila kebudayaan yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di negara maju. Bila ini terjadi terus-menerus, maka umat manusia sedunia akan mengganggap Amerika dan Eropa sebagai impian berjuta manusia.

Dengan melihat kebudayaan dan aparatnya sebagai sesuatu yang tidak netral, maka kritik terhadap produknya menjadi satu keniscayaan. Peran kaum intelektual dalam kritik ini menjadi penting. Membiarkan kebudayaan berdiri tanpa kritik, akan semakin menjauhkan manusia dari keadaan yang humanis. Sudah saatnya, kiranya peradaban dibangun dengan mendasarkan pada kepentingan untuk memajukan humanisme. Tanpa niat memanusiakan manusia, peradaban akan hadir di ruang hampa. Semoga ini bukan pengharapan yang utopis. Semoga! ***

0 komentar:

Posting Komentar

 

Subscribe to our Newsletter

Contact us

user.kapaupau@gmail.com

A Luta Continua camerad!