Mengapa pendidikan di Indonesia mahal ? Sebab ilustrasi pendidikan di Indonesia, terdapat di uang 20.000-an, bukan di uang seratusan. Berangkat dari sentilan sederhana inilah, otonomi perguruan tinggi menjadi menarik untuk dibahas. Dengan ini maka apa yang selama ini ditakutkan banyak kalangan akademis, kian mendekati kenyataan : SPP naik ratusan persen, aset-aset kampus akan dikomersialkan dan seabrek rasionalisasi lain. Ujung-ujungnya jelas : kapitalisasi pendidikan. Dilibatkannya World Bank dalam perumusannya ikut memperjelas arah otonomisasi.
Sejarah
Lahirnya Ide Otonomi
Indonesia
pada Orde Baru selalu menerapkan sistem yang sentralistik di segala bidang,
termasuk di bidang pendidikan. Terpusatnya kebijakan pendidikan dapat dilihat
dari peran serta pemerintah dalam pemilihan pimpinan universitas sampai
diterapkannya kurikulum nasional. Hal ini menandai keinginan pemerintah untuk
senantiasa mengontrol perguruan tinggi. Gerakan mahasiswa juga tidak lepas
dari pasungan pemerintah, melalui kebijaksanaan NKK/BKK pada era Daoed Joesoef. Sehingga ketika rezim Orde Baru runtuh, sistem yang sentralistik ini juga mulai dikritisi dan digugat keberadaannya. Salah satu bentuk gugatan yang muncul adalah keinginan untuk mandiri atau otonom dari pihak perguruan tinggi negeri pada khususnya.
|
Dalam sistem pendidikan nasional, asas otonomi dengan kebebasan akademik secara resmi dinyatakan dalam UU No.2/1989 serta PP No.30/1990. Dalam aktualisasinya, kebebasan ini bukan yang tidak terbatas tetapi harus memperhatikan moral dan tata nilai masyarakat Indonesia. Istilah otonomi diperkenalkan Dirjen Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) tahun 1996 -saat itu dijabat oleh Bambang Soehendro- dalam makalahnya di Seminar on Management of Higher Education: Anticipating The Year 2020. Menurutnya, asas otonomi harus didampingi dengan asas akuntabilitas publik (pertanggungjawaban kepada masyarakat). Jadi istilah otonomi PTN lebih dulu digulirkan jauh sebelum pemerintahan Gus Dur menelorkan isu otonomi daerah seluas-luasnya. Namun, keluarnya PP No. 60/1999 -tentang Pendidikan Tinggi- dan PP No. 61/1999 -tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum- baru dapat memicu PTN-PTN di Indonesia untuk menempatkan isu otonomi dalam rencana strategis jangka pendek masing-masing menuju realitas kemandirian perguruan tinggi negeri.
Sebagai
pilot project otonomisasi PTN dipilih 4 PTN terkemuka yakni UI, ITB, IPB dan
UGM. Alasannya menurut Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Dr.
Ir. Satryo Brodjonegoro, "Karena keempat PTN itulah yang selama ini
mendapat pendanaan terbesar dari pemerintah." Ditambahkan juga oleh
Direktur Pembinaan Sarana Akademis Dirjen Dikti, Dr. Suprodjo Pusposutardjo,
bahwa pilot project dipilih bukan karena besar kecilnya kota tempat PTN itu
berada, tetapi atas dasar kinerja manajemen dan akademisnya.
Otonomisasi = Subsidi Nol
Gugatan
perubahan ini juga dipacu oleh berbagai krisis yang saat ini sedang melanda
Indonesia. Kepercayaan masyarakat semakin menipis, baik terhadap
lembaga-lembaga formal, pemerintah, maupun antar kelompok dalam masyarakat
sendiri. Sedangkan proses transisi menuju masyarakat madani yang lebih
demokratis membutuhkan mitra terpercaya, yang mampu berperan sebagai kekuatan
moral. Perguruan Tinggi Negeri diharapkan mampu memerankannya. Tetapi saat ini
peran tersebut tidak akan dapat terwujud karena PTN sendiri keberadaannya
masih belum mandiri. Kekuatan moral yang mandiri dapat dimiliki apabila
Perguruan Tinggi memperoleh otonomi.
Namun
otonomi yang dilaksanakan di tengah krisis menimbulkan anggapan minor, bahwa
PP No. 61/1999 diterbitkan karena pemerintah kesulitan keuangan. Tim
Persiapan Penerapan Otonomi di PT yang dibentuk oleh Dirjen Dikti membantah
anggapan tersebut. "Tidak benar bahwa PP No. 61/1999 terbit untuk
mengurangi tekanan terhadap anggaran pemerintah." "Namun,"
lanjut mereka, "Benar bahwa berbagai krisis yang terjadi telah mendorong
pemerintah menerbitkan PP tersebut."
Pernyataan
Tim Persiapan Otonomi di Perguruan Tinggi tersebut senada dengan Dirjen
Dikti. Dalam wawancara melalui email, Satryo menyatakan dukungan pemerintah
untuk PTN tetap diberikan kepada PTN tersebut, tidak ada pengurangan
terkecuali kalau PTN sangat buruk kinerjanya, sehingga tidak ada pengalihan
subsidi pemerintah. Menurut Satryo dengan adanya otonomi, bukan pemerintah
mengurangi dukungan akan tetapi PTN tersebut justru dapat menggali dana
masyarakat lebih besar dengan berbagai keahliannya, bukan dengan menaikkan
SPP. Suprodjo Pusposutardjo mendukung pernyataan itu, "Subsidi PTN
tetap, hanya berubah cara memperolehnya dari input based ke bentuk academic
and management performance based."
Tetapi
pernyataan tersebut ditampik oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Indonesia (UI), Bachtiar Firdaus. Ketika diwawancarai DIANNS,
Bachtiar mengakui adanya kenaikan SPP di UI mulai bulan Agustus 1999.
Kenaikan ini, menurutnya disebabkan ditariknya subsidi pendidikan sebesar
80%. "Walaupun pihak rektorat menyanggah bahwa kenaikan itu merupakan
bagian dari otonomi itu, tetapi setelah kita cari-cari ternyata itu bagian dari
otonomi sendiri, " lanjutnya.
Seperti
menyadari kondisi yang berkembang, bahwa pencerdasan bangsa tidak akan
berjalan tanpa suntikan dana yang cukup, Menteri Pendidikan Nasional, Dr.
Yahya Muhaimin, dalam suatu kesempatan tatap muka dengan wartawan di Yogyakarta,
seperti diberitakan Kompas pada edisi 21 Desember 1999, merencanakan akan
meningkatkan anggaran pendidikan sebesar 35 persen, dari sebesar Rp 18
trilyun atau 8,5 persen dari total APBN menjadi Rp 25 trilyun. Meskipun ada
rencana untuk menaikkan anggaran pendidikan, jumlah itu masih terlalu kecil
dibandingkan anggaran pendidikan di luar negeri. "Di Amerika Serikat
sendiri (perguruan tinggi, Red.) yang paling hebat itu masih ditanggung
pemerintah 20-30%. Yang paling payah masih 50-60 %. Eropa juga begitu,
Australia juga begitu," ungkap Pembantu Rektor II IPB, Ir. H. Darwin
Kadarisman, MS. Kendala dalam anggaran pendidikan tidak saja pada kecilnya
alokasi dana. Jika nantinya PTN berubah bentuk menjadi badan hukum,
pemerintah tidak bisa memberikan subsidi secara langsung kepada PTN yang
bersangkutan. Karena secara hukum pemerintah tidak diperbolehkan untuk
mengalokasi APBN untuk mendanai suatu badan hukum. Permasalahan ini menurut
Tim Persiapan Otonomi di Perguruan Tinggi dapat diselesaikan pemerintah
dengan melakukan perjanjian jual-beli dengan badan hukum itu, misalnya
kontrak jual-beli lulusan dalam jumlah dan kualifikasi tertentu.
Otonomisasi
PTN, Juklak Kapitalisme
Kemandirian
perguruan tinggi negeri, seperti halnya ‘kebijaksanaan’ pemerintah lainnya,
diteorikan dengan bahasa yang sangat ideal. Meskipun begitu, tidak sedikit
pihak yang meragukan atau bahkan menolak. Rektor Universitas Indonesia, Prof.
Dr. dr. Asman Budisantoso Ranakusuma sendiri dalam pidato wisuda bulan
Agustus tahun 1999 lalu secara implisit mengaku terkejut, karena kalangan UI
menyangka otonomisasi akan berlaku sekitar tahun 2009. Padahal, otonomi itu
sendiri dirumuskan oleh utusan dari UI di samping beberapa utusan PTN lain
yang masuk dalam pilot project otonomisasi PTN.
Mereka –para
utusan tersebut- juga didampingi oleh wakil dari Bank Dunia. Menanggapi hal
itu, Satryo menyatakan bahwa keterlibatan Bank Dunia sebagai donatur bagi
tenaga asing yang ikut mempersiapkan kemandirian PTN. Hal ini dibenarkan oleh
Pembantu Rektor II IPB, Ir. H. Darwin Kadarisman, MS, bahwa Bank Dunia akan
me-review tiap PTN yang menjadi uji coba otonomisasi karena mereka agak
expert di bidang ini. Namun Direktur Pengembangan Sarana Akademik (PSA)
kepada DIANNS membantah pernyataan tersebut, melalui wawancara tertulis dia
menyatakan, "Bank Dunia tidak bertindak sebagai apa-apa."
Keterlibatan World Bank jelas menunjukkan adanya kepentingan kaum kapitalis
terhadap pendidikan yang semakin amburadul di Indonesia. Seperti dikatakan
Nur Yahya, aktivis Forum Studi Ekonomi dan Politik (Forstep), "Yang
namanya World Bank atau lembaga internasional termasuk juklak intenasional
dalam rangka kapitalisme global. Sekarang ini ‘kan Neo-Liberal, yang
menggunakan bahasa Wilsonis atau paradigma ekonominya Wilson. Neo-Liberal ini
yang sebenarnya mengarah ke otonomisasi."
Militer
Terlibat ?
Sejak
digulirkannya isu otonomi, belum banyak pihak yang merespon. Namun ketika PP
No. 61 mulai diterapkan, banyak pihak yang mulai mengkritisinya. Kokok
Herdiyanto salah satunya. Dalam Salah satu tulisannya di muat di Majalah
Mahasiswa Indikator FE Unibraw-, ia ‘menuduh’ kebijakan otonomi sebagai upaya
kolaborasi antara militer dan pemerintah untuk menghancurkan gerakan
mahasiswa. Lebih jauh lagi, otonomisasi hanya akan membunuh pendidikan itu
sendiri. "Buktinya, mana ada Menteri Pendidikan yang bukan berasal dari
kalangan militer. Hampir semuanya berbau tentara. Kebanyakan ‘kan dari
Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional). Mulai dari Daoed Joesoef hingga Yahya
Muhaimin", tandasnya.
Pendapat senada
juga dikemukakan Ali Fahmi yang melihat adanya indikasi perubahan orientasi
dari orientasi sosial menjadi orientasi pasar. Tingginya biaya pendidikan
menjadikan mahasiswa lebih menekuni bangku kuliah dan mengabaikan fungsi
sosialnya. PP No. 61/1999, menurut Presiden Keluarga Mahasiswa UGM ini,
mengindikasikan normalisasi kehidupan kampus kedua kali setelah SK
(Mendikbud, Red) No. 0457/1990 itu mengalami fase kegagalan.
Di lain
pihak, menurut Nur Yahya, otonomi akan mengubah peta kekuatan pressure mahasiswa.
"Jadi dengan sendirinya kekuatan-kekuatan mahasiswa berasal di daerah,
bukan harus men-support dinamika politik di tingkat atas." Tetapi yang
jelas, otonomisasi PTN harus dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk
terwujudnya student government dengan memberikan otonomisasi terhadap lembaga
kemahasiswaan. Sehingga mahasiswa mempunyai bargaining dengan rektorat dalam
pembuatan kebijakan strategis mengenai kehidupan kampus.
Keterlibatan
Mahasiswa dalam Otonomisasi
Dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999, terdapat 15.440
huruf yang membentuk 2.362 kata, 15 bab dan 25 pasal. Namun di dalamnya hanya
tercantum satu kata ‘mahasiswa’. Kenyataan ini membuktikan, bahwa otonomisasi
PTN mendudukkan mahasiswa dalam posisi yang tidak begitu penting. Padahal
berdasarkan data yang dimiliki Dirjen Dikti, jumlah mahasiswa Indonesia tahun
1996 saja mencapai 2.703.896 sedangkan jumlah dosen 180.471. Memandang
mahasiswa sebagai subordinat pendidikan juga terjadi dalam otonomisasi PTN.
Mahasiswa sebagai mayoritas civitas cademica tidak dilibatkan dalam
perumusannya. Menurut Purek II IPB, tidak dilibatkannya mahasiswa,
"Karena kita menganggap lebih bagus dengan masyarakat daripada mahasiswa
menilainya. Yang sering ‘nggak rasional ‘kan kita naikkan SPP untuk mahasiswa
baru tapi yang ribut mahasiswa lama." Pernyataan ini bertolak belakang
dengan Satryo sendiri yang dengan tegas mengiyakan ketika ditanyakan apakah
ada jaminan dari Dirjen Dikti terhadap masukan dari mahasiswa. Menurutnya, "Salah
satu indikator evaluasi (otonomisasi) tersebut adalah kepuasan mahasiswa
terhadap proses pendidikan yang ada di PTN tersebut. Kami minta kepada setiap
pimpinan PTN tersebut supaya mendengarkan pendapat mahasiswa agar supaya
dalam persiapan otonomi akan lebih tepat sasaran dan tepat manfaat."
Namun
berasal dari mana pun rektor kelak, setidaknya harus membuka ruang dialog
bagi mahasiswa. Sehingga kesan rektor seperti diungkapkan Presiden Keluarga
Mahasiswa IPB, Aly Yusuf tidak terjadi. Menurut Aly, "Rektorat belum
memberikan sebuah ruang kepada kita (mahasiswa, Red.) untuk terlibat.
Sehingga sekarang yang kita lakukan adalah bagaimana ini memberikan tempat
bagi kita untuk melakukan. Jadi secara singkat, bahwa sampai sekarang
kedudukan kita sebagai mahasiswa belum banyak menentukan otonomi itu."
Seiring dengan ‘penolakan’ keterlibatan mahasiswa dan kurangnya sosialisasi
justru melemahkan opini yang berkembang menjadi ke arah yang kontra
produktif. Hal ini diakui oleh Aly yang juga aktivis Jaringan Mahasiswa Indonesia,
"Kalau ini dilaksanakan terus-terusan tanpa ada tingkat pengertian dari
rektorat saya kira otonomi ini akan memberikan wacana yang begitu negatif
untuk mahasiswa. Kita sudah memberikan warning kepada rektorat, kalau tidak
ada perbaikan manajemen informasi sosialisasi, maka rumor itu akan
menggelembung dan mungkin akan mengalami penolakan kalau ini tidak
termanajemeni dengan baik."
Senada
dengan Presidennya, Maysaroh, seorang mahasiswa dari jurusan Teknologi Hasil
Pertanian angkatan 1996 mengatakan penolakannya. Meski penolakan tersebut
didasarkan pada tingkat pemahaman otonomi PTN yang kurang, namun sedikit
banyak menggambarkan kekhawatiran di tingkat mahasiswa. Menurut Saroh
–panggilan akrabnya-, "Semoga saya ‘udah lulus waktu otonomi diterapkan
di IPB. Sekarang aja ketika biaya praktikum dibebankan pada mahasiswa, udah
berat. Apalagi kalau semuanya…" Berdasarkan investigasi DIANNS, di IPB
beban biaya praktikum memang ditanggung mahasiswa. Besarnya berkisar antara
10 hingga 25 ribu rupiah per mahasiswa untuk satu kali praktikum.
"Itupun," lanjut Maysaroh, "dalam satu semester, tiap
mahasiswa IPB bukan hanya sekali dua kali praktikum." Namun
ketidaksiapan mahasiwa menghadapi otonomi disangkal oleh Sri Sanituti
Hariadi, Dekan FISIP Unair. Menurut Sri Sanituti, dosen bermotto hidup anti
kemapanan tersebut, "Mahasiswa saya kira tidak ada masalah, mereka akan
dengan sendirinya menerima (kebijakan) itu."
Tidak
dilibatkannya mahasiwa juga diakui oleh Rektor Unibraw Prof. Dr. Eka Afnan
Troena. Ketika ditanyakan mengenai keterlibatan mahasiswa dalam proses
otonomi, Rektor yang mantan aktivis HMI tahun 60-an dengan nada tinggi dan
emosional berkata, "Saya juga tidak ikut pada urusan kalian (mahasiswa,
Red.). Mari kita sepakati, hal-hal yang bersifat akademis itu kewenangan dari
dosen, kalau nggak begitu tabrakan, mas. Urusan-urusan politik itu urusan
mahasiswa ! Nah, ini jangan dicampuri oleh mahasiswa ! Jangan dicampuri !
Kalau dicampuri, nanti kau (mahasiswa, Red.) dapat nilai E, demonstrasi
supaya dosennya diganti, kacaulah."
Sosialisasi
Persiapan Otonomisasi Kurang ?
Menurut
Direktur PSA, hingga saat ini proses otonomisasi PTN yang sudah dilakukan
meliputi penyusunan PP No. 61/99 beserta Kepmen untuk pelaksanaannya,
melengkapi PTN dengan berbagai fasilitas minimal untuk dapat mandiri dengan
penyelenggaraan pendidikan tinggi, mengembangkan semangat (etos) kompetisi di
kalangan perguruan tinggi (PTN dan PTS) dalam memperoleh berbagai dana
pembangunan dan penelitian berbentuk block grants (hibah dari pemerintah) dan
mendorong serta memfasilitasi perguruan tinggi untuk memperoleh mitra
kegiatan akademik dari dalam dan luar negeri.
Namun
sayangnya, menurut Pembantu Rektor I Unair, Prof. Dr. Puruhito, Med,
"Sampai sekarang Kepmen (Keputusan Menteri) itu sendiri belum ada. PP 60
sebetulnya menunggu Kepmen, kira-kira ada 20 Kepmen yang akan menyertai PP
60. Tapi paling tidak kalau Kepmen di PP 60 itu sudah turun semua otomatis
itu akan mengikat kita ke PP 61. Sebagai contoh sebuah hal yang mendasar,
bagaimana gaji pegawai, selama ini disebutkan gaji PNS dibayar oleh negara.
Nanti kalau sudah menjadi BU (Badan Usaha) maka PTN yang otonom akan membayar
gaji pegawainya sendiri, yakni oleh BU itu.
Ketidakjelasan
proses otonomisasi PTN ini mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah. Tidak
adanya Kepmen sebagai juklak otonomisasi PTN juga diikuti dengan kurangnya
sosialisasi di PTN. Sehingga berujung tidak dilakukannya sosialisasi oleh
pihak rektorat kepada mahasiswa. Seperti diakui oleh Bachtiar Firdaus,
"Terkesan pemerintah tidak mensosialisasikan terlebih dahulu kepada
masyarakat luas. Masalahnya ‘kan tidak seperti itu. PP-nya turun dulu, baru
kita ribut-ribut di semua ini. Harusnya ‘kan itu (otonomisasi, Red) melalui
beberapa tahap."
Ketidakjelasan
otonomisasi PTN ditanggapi oleh Presiden BEM UGM, Ali Fahmi, "Makanya
mahasiswa menuntut, jangan-jangan otonomisasi ini adalah kegagalan rejim yang
tidak mampu menyubsidi perguruan-perguruan tinggi yang ada. Sehingga alasan
mereka atau jawaban mereka terhadap kegagalan ini adalah otonomi perguruan
tinggi. Padahal sebenarnya tidak ada sebuah pra kondisi. Artinya pra kondisi
perguruan tinggi negeri untuk menjadi sebuah otonomi."
Dualisme
Otonomisasi PTN
Dalam
Seminar on Management of Higher Education: Anticipating The Year 2020 di
Jakarta pada tanggal 27-28 Nopember 1996, Dirjen Dikti pada waktu itu,
Bambang Soehendro, menyatakan, "Azas otonomi dalam pengelolaan perguruan
tinggi antara lain tercermin dalam memilih staf akademik yang sesuai dengan
tujuan. Kebebasan itu termasuk dalam memilih dan menetapkan mahasiswanya,
menetapkan standar akademik serta kurikulum bagi program studi yang
diselenggarakannya, menetapkan program penelitian yang dilakukan civitas
akademika dalam batas tertentu. Secara manajerial termasuk pemanfaatan
sumberdaya secara mandiri dalam penyelenggaraan fungsionalnya.
Tetapi azas
otonomi ini kemungkinan tidak dapat berjalan seperti itu apabila kita melihat
PP No. 61/1999. Dalam pengelolaan PTN setelah berubah status, menurut PP No.
61/1999, masih ada kemungkinan campur tangan pemerintah. Karena sebagai
kompensasi dari kekayaan awal PTN yang berasal dari dari kekayaan negara,
pemerintah mendapat hak suara 35 % dalam Majelis Wali Amanat, kekuasaan
tertinggi dalam PTN ber-badan hukum. Sehingga memungkinan intervensi
pemerintah dalam pemilihan pimpinan PTN dan sebagainya.
Kemungkinan
intervensi pemerintah ini dibantah oleh Dirjen Dikti, "Pemerintah
mempunyai kewenangan 35% agar dapat tetap menjamin misi PTN tersebut sehingga
tidak menjadi komersial atau tidak membebani peserta didik terlalu berat,
karena ini adalah misi pemerintah untuk pendidikan." Dalam PP No.
61/1999 sendiri disebutkan Majelis Wali Amanat merupakan organ PTN tertinggi
yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Anggota Majelis
Wali Amanat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Sehingga segala
kebijakan PTN yang menjadi wewenang Majelis Wali Amanat tidak akan lepas dari
kontrol pemerintah.
|
Otonomi PTN
adalah kegagalan rezim yang tak mampu mensupsidi perguruan- perguruan tinggi
yang ada
|
Otonomisasi
PTN yang terkesan setengah hati ini semakin diperkuat dengan masih
dipertahankannya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Padahal, menurut PR
II IPB, "Kalau perlu dibubarkan. Ya, kalau tidak terlalu
bermanfaat." Ketidakjelasan posisi Dikti pasca otonomisasi PTN ditepis
oleh Dirjen Dikti, "Posisi Dirjen Dikti setelah PTN menjadi otonom,
lebih membuat strategi nasional untuk memajukan pendidikan, termasuk mencari
peluang dana dan memfasilitasi perkembangan seluruh PTN/PTS yang ada di
Indonesia. Dirjen tidak lagi mencampuri urusan dalam PTN/PTS, tetapi lebih
kepada memberi peluang berkembang untuk mereka." Memang dalam
otonomisasi PTN, kelak menjadi kewenangan internal PTN bukan lagi berada di
Dirjen Dikti, tetapi ada di Majelis Wali Amanat yang terdiri dari unsur
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Senat Akademik, Rektor dan masyarakat.
Kewenangan
internal PTN itu termasuk kewenangan pengelolaan PTN. Meskipun dalam ruang
kontrol Majelis Wali Amanat, rektor tetap memegang posisi yang strategis
dalam pengelolaan PTN. Posisi rektor yang menyamai pemimpin perusahaan semakin
memastikan nuansa kapitalis dalam pendidikan tinggi. PR I Unair menyatakan,
"Rektor itu nantinya adalah CEO (Chief Executive Officer), rektor tidak
dapat lagi dipandang sebagai Rektor Akademis yang seperti kita ini. Sebab
President of University itu adalah seorang manajer, seorang CEO tidak lagi
harus seorang guru besar yang berpangkat tinggi seperti sekarang ini. Karena
yang memilih rektor adalah Majelis Wali Amanat, Senat Universitas, tidak
seperti sekarang." Senada dengan Puruhito, Dirjen Dikti mengatakan,
"Mengapa tidak, seandainya dianggap mampu membawa perguruan tinggi
tersebut ke arah kemajuan dan mutu yang tinggi, hal ini sepenuhnya ditentukan
oleh Majelis Wali Amanat," ketika ditanyakan kemungkinan rektor bukan
berasal dari kalangan praktisi akademisi, misalnya seorang manajer bisnis.
PTN Tidak
Siap Otonom
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa selama ini terjadi kesenjangan diantara PTN-PTN di
Indonesia. Kesenjangan ini berimbas pada penyikapan masing-masing PTN
terhadap otonomisasi. IPB sendiri yang termasuk pilot project, seperti
penjelasan Darwin, mungkin tidak ikut otonomisasi kalau usul IPB agar
pemerintah tetap menanggung biaya pendidikan ditolak. Kondisi ini tidak
dipungkiri oleh Dirjen Dikti, "Itu adalah hak PTN tersebut, tetapi
sebenarnya akan lebih baik dan lebih efisien dan juga lebih menguntungkan
bagi mahasiswa, jika PTN tersebut otonom karena banyak kemudahan dan
fleksibilitas. Sedangkan pemerintah tetap memberikan dukungan dana."
Menurut bapak dua anak kelahiran Delf, Belanda, yang pernah mengikuti kursus
reguler Lemhanas ini, "Kepada PTN yang menolak tidak perlu dipaksakan
tetapi dibantu dan dibina agar nantinya dapat menjadi badan hukum yang
otonom."
|
Kamis, 18 Juli 2013
Musang Kapitalis Berbulu Kemandirian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar