SEJARAH PENULISAN HADIS
"Dengan melihat penilitian yang ada, dapat dikatakan bahwa setiap orang yang tidak menerima penulisan hadis perlu mengetahui bahwa kondisi sebaliknya telah dinukilkan pula. Maka dapat dikatakan bahwa penulisan dan penukilan hadis oleh para sahabat telah jelas dan pasti"
Berbicara mengenai sejarah penulisan hadis, kita akan dihadapkan dengan beberapa pertanyaan yang diantaranya, Bagaimanakah hadis sampai kepada generasi ini? Apa usaha yang dilakukan oleh Nabi agar ucapan beliau yang itu dapat sampai kepada generasi selanjutnya?
"Dengan melihat penilitian yang ada, dapat dikatakan bahwa setiap orang yang tidak menerima penulisan hadis perlu mengetahui bahwa kondisi sebaliknya telah dinukilkan pula. Maka dapat dikatakan bahwa penulisan dan penukilan hadis oleh para sahabat telah jelas dan pasti"
Berbicara mengenai sejarah penulisan hadis, kita akan dihadapkan dengan beberapa pertanyaan yang diantaranya, Bagaimanakah hadis sampai kepada generasi ini? Apa usaha yang dilakukan oleh Nabi agar ucapan beliau yang itu dapat sampai kepada generasi selanjutnya?
Dengan mencoba membayangkan kondisi kehidupan zaman Nabi kita lihat perilaku
apakah yang ditunjukkan oleh para berkaitan dengan hadis-hadis nabi. Dan tentu,
masih banyak lagi pertanyaan yang berkaitan dengan topik ini.
Untuk memulai mengkaji sejarah penulisan hadis, tepat kalau kita mencoba
menengok pandangan Ahlussunnah berkaitan dengan penulisan hadis. Harus diakui
bahwa mayoritas ulama Ahlussunnah berkeyakinan bahwa sampai akhir abad pertama
hadis belum ditulis.[1]
Mayoritas ulama Ahlussunnah juga berkeyakinan bahwa yang menjadi motor
penggerak penulisan hadis adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz[2]
Untuk itu ia menugaskan Muhammad bin Syihab Azzuhri.[3]
Melihat fakta yang dinukil oleh ulama Ahlussunnah, tentu kita akan
bertanya-tanya. Benarkah demikian? Ataukah ada fakta lain dibalik semua
penukilan di atas. Tidakkah semasa hidupnya, Rasul pernah menyinggung masalah
penulisan hadis-hadis beliau? Tidakkah pernah terpikirkan bahwa satu abad
adalah kurun waktu yang cukup untuk melenyapkan sebagian dari peradaban sebuah
umat? Bukankah dengan demikian sejumlah besar kata-kata hikmah Nabi lenyap dan
musnah begitu saja?
Budaya Tulis-Menulis dalam Islam
Penulisan merupakan media yang paling penting guna memindahkan pengetahuan yang
ada pada diri seorang manusia kepada yang lain. Dengan mencoba menengok kembali
sejarah peradaban umat manusia, terbukti melalui penulisan, kita dapat
menikmati puncak peradaban sekelompok manusia. Pendeknya, penulisan memegang
peranan yang sangat penting dalam proses pemindahan pengetahuan.
Ketika pertama kali al-Quran diturunkan, sangat menekankan mengenai hal ini. Surat al-'Alaq, sangat
menekankan ta'lim (pelajaran), qira'at (membaca) dan qalam (pena).
Artinya, ilmu dan penulisan memiliki posisi yang sangat penting dalam Islam.
Dalam surat
al-Qalam, Allah SWT bersumpah dengan qalam (pena). Lebih lagi, kata kataba
yang berarti menulis berjumlah 57 dalam al-Quran dan pecahan katanya seperti kitab
berjumlah 262. Berkaitan dengan ayat dain (hutang-piutang) dalam surat Baqarah ayat 282,
Khathib Al-Baghdadi berkata"Allah memerintahkan untuk menuliskan
masalah hutang-piutang, agar tidak timbul masalah dikemudian hari, karena
hilang, lupa atau ragu berkaitan dengannya. Bila hal ini pantas dilakukan, maka
hal yang demikian lebih layak bila dikaitkan dengan masalah ilmu, hadis dan
fakta-fakta lain yang berkaitan dengan agama agar tidak lenyap begitu saja,
mengingat menjaganya lebih rumit ketimbang masalah hutang- piutang."[4]
Dengan melihat kenyataan ini, pantas jika dikatakan bahwa dalam Islam al-Quran
lah yang pertama kali, memperhatikan masalah ini dan mengajarkan kepada
pengikutnya. Kemudian, bagaimana dengan sikap Nabi. Tentunya, beliau sebagai
penyampai dan penjelas al-Quran dengan seluruh wujudnya menjelaskan hal itu.
Beliau sendiri bersabda, "Bit ta'limi ursiltu" (aku diutus
untuk mnyebarkan ilmu). Hal ini menandakan bahwa pengutusan beliau telah
meniupkan terompet perang anti kebodohan. Mungkinkah Seorang yang tugasnya
menyebarkan ilmu, lupa mengajak para sahabatnya untuk menulis apa yang
disampaikannya?
Riwayat-riwayat Nabi saww yang berkaitan dengan penulisan hadis menunjukkan hal
yang bertentangan dengan apa yang dinukilkan oleh mayoritas Ahlussunnah. Nabi
saww bahkan sangat menekankan pentingnya menulis hadis. Berikut ini beberapa
hadis yang berkaitan dengan perintah Nabi saww berkaitan dengan penulisan
hadis, "Ikatlah ilmu dengan tulisan".[5]
Diriwayatkan ada seorang sahabat Nabi (dari kalangan Anshor) duduk
dengan penuh perhatian mendengar ceramah Nabi. Ucapan yang keluar dari bibir
Rasulullah sebisa mungkin dihafalkannya namun sekeras apapun dia berusaha,
tetap ia tidak mampu menghafalnya. Ketika Nabi selesai berceramah ia mendekati
Nabi saww dan mengadukan ingatannya yang lemah. Spontan Rasulullah saww
menjawab, "Bantulah hafalanmu dengan tangan kananmu (tulisanmu)"[6]
Hadis yang senada antara lain diriwayatkan dari Abdulllah bin Amr bin 'Ash. Dia
berkata, "Apa saja yang kudengar dari Rasulullah SAWW aku tulis, sehingga
aku dapat menghapalnya." Mendengar ini, orang-orang Qurais melarangku
untuk menulis ucapan Nabi. Mereka mengatakan, "Engkau menulis apa saja
yang kau dengar dari Rasulullah saww padahal dia juga manusia biasa yang ketika
berbicara boleh jadi dalam keadaan marah atau senang. "Mendengar hal itu,
aku tidak lagi menulis ucapan Rasulullah saww sampai suatu ketika aku sendiri
menanyakan hal ini kepada Rasulullah saww. Beliau menjawab, "Tulislah!
Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidak ada kata-kata yang keluar dari
ini (sambil menunjuk ke arah mulutnya) kecuali kebenaran"[7]
Fakta mengungkapkan bahwa sejak dahulu, penulisan merupakan manifestasi sebuah
peradaban dan manusia mempergunakannya sebagai media tukar-menukar informasi.
Allah sendiri bersumpah demi qalam dan Nabi saww berusaha menekankan
budaya tulis-menulis kepada para sahabatnya melalui sebagian riwayat yang telah
dinukil diatas. Dengan ini, mungkinkah akal sehat menerima bahwa Nabi
sendirilah yang melarang penulisan hadis?[8]
Atau sekurang-kurangnya tidak menunjukkan sikap apapun berkaitan dengan
penulisan hadis.
Sahabat dan Penulisan Hadis
Berdasarkan data-data sejarah, sejumlah sahabat Nabi memiliki kumpulan tulisan
mengenai hadis, yang terkadang disebut shahifah atau nuskhah.
Untuk lebih jelasnya, perbedaan yang paling mendasar antara shahifah dan
nuskhah terletak pada sanadnya. Bila sanadnya lebih dari satu disebut nuskhah,
sedangkan bila sanadnya hanya satu walaupun hadisnya lebih dari satu dan
temanya bermacam-macam disebut shahifah.[9]
Shahifahsendiri berarti lembaran yang berisikan tulisan. Menurut
istilah, shahifah berarti lembaran yang berisikan hadis-hadis Nabi, nuskhah
juga memiliki arti yang sama.[10]
Ada beberapa nama sahabat Nabi yang memiliki shahifah atau nuskhah
antara lain; Abu Bakar, Anas bin Malik, dan Aisyah binti Abu Bakar. Bukan hal
aneh bila dikatakan bahwa Abu Bakar pada masa hidup Nabi saww telah menulis
hadis. Bahkan diestimasi ia memiliki kumpulan berisi kurang lebih 500 hadis.
Walaupun pada akhirnya kumpulan itu dibakar.[11]
Anas bin Malik termasuk salah seorang sahabat Nabi saww yang memiliki tulisan
indah dan ia telah menulis hadis-hadis Nabi. Bahkan ia sangat menekankan kepada
anak-anaknya untuk menulis hadis agar tidak sampai musnah begitu saja. Oleh
sebab itu, banyak sekali perawi yang meriwayatkan hadis darinya.[12]
Pasca wafat Rasulullah saw, Aisyah binti Abu Bakar memiliki posisi yang cukup
penting dalam pemerintahan. Ia, oleh pemerintah, diperkenalkan sebagai rujukan
bagi berbagai macam permasalahan agama, baik hukum, tafsir atau selainnya. Ia
sendiri memberikan perhatian yang sangat besar dalam masalah penukilan hadis.
Ia sering menyampaikan hadis dan kemudian ditulis dan disebarkan. Ziad bin Abi
Sufyan, Urwah bin Zubair dan Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan orang-orang yang
banyak menulis hadis dari 'Aisyah. Urwah bin Zubair sendiri hanya dalam bab
tafsir meriwayatkan tidak kurang dari 92 hadis dari 'Aisyah.[13]
Selain tiga nama yang disebutkan diatas, Muhammad Mahdi Rad dalam penelitiannya
menyebutkan sekitar 45 nama sahabat lain yang menulis hadis di zaman
Rasulullah.[14]
Pengakuan Ulama Hadis
Dr. Nuruddin dalam Manhajun Naqdi fi 'Ulumul Hadits mengatakan banyak
sekali hadis-hadis dari para sahabat Nabi, yang bahkan sampai pada batas
mutawatir, yang membuktikan adanya penulisan hadis di zaman Nabi.[15]
Demikian juga dengan Dr. Shubhi Sholeh yang dengan nada heran mengatakan,
"Bukanlah suatu keharusan kita memaksakan diri untuk mengatakan bahwa
penulisan hadis dimulai di zaman Umar bin Abdul Aziz, mengingat buku-buku
hadis, kabar-kabar bahkan data-data sejarah tidak lagi meninggalkan keraguan
sedikitpun untuk menetapkan bahwa hadis telah ditulis semenjak zaman Rasulullah
saww.[16]
Dr. Musthofa Adhomi dengan gaya resiprokalnya menekankan bahwa pembuktian
pelarangan penulisan hadis dengan hadis juga menunjukkan kebolehannya. Dia
menulis, "Dengan melihat penilitian yang ada, dapat dikatakan bahwa
setiap orang yang tidak menerima penulisan hadis perlu mengetahui bahwa kondisi
sebaliknya telah dinukilkan pula. Maka dapat dikatakan bahwa penulisan dan
penukilan hadis oleh para sahabat telah jelas dan pasti.[17]
Syiah dan Penulisan Hadis
Sesuai dengan pengakuan para muhadditsin (ahli hadis), banyak hadis yang
menjelaskan bahwa Rasulullah saw memerintahkan penulisan hadis kepada para
sahabat. Bentuk perhatian Nabi terhadap penulisan hadis terkadang direalisasikan
dengan langsung memerintah para sahabat untuk menulis hadis. Terkadang karena
ada sahabat yang meminta izin untuk menulis atau dituliskan hadis baginya, lalu
Nabi saww memperbolehkan. Pada kondisi lain, Nabi saww terkadang memuji para
penulis hadis dan bahkan menghormati mereka.
Imam Ali as berkata, "Rasulullah saww bersabda uktubu hadzal 'ilma
(tulis ilmu ini). [18]
Setelah peristiwa pembebasan Mekah, Rasulullah SAWW berceramah di hadapan kaum
muslimin. Pada waktu itu hadir seorang dari Yaman bernama Abu Syah yang
kemudian bangkit dan berkata kepada Nabi, "Wahai Rasulullah, khutbah
yang engkau sampaikan itu tuliskan kepadaku! Rasullah saww menjawab,
"Uktubu li Abi Syah" (tuliskanlah untuk Abu Syah!).[19]
Dalam sejarah tertulis, setelah perang Badar, para pejuang Islam menawan
sejumlah tentara Qurais. Untuk setiap tawanan yang ingin bebas, diberikan
beberapa syarat. Salah satunya menunjukkan bahwa betapa Rasulullah saww
memahami pentingnya budaya tulis-menulis. Beliau memerintahkan bagi mereka yang
mempunyai uang untuk menebus dirinya dengannya. Sedangkan mereka yang tidak
memiliki apapun, namun memiliki kepandaian menulis, hendaknya mengajar kaum
Anshor. Dan hal itu menjamin kebebasan mereka.[20]
Ulama Ahlussunnah menyebut sekumpulan hadis yang diucapkan oleh Rasul dan
kemudian ditulis dan dikumpulkan oleh Imam Ali as dengan nama Shahifah Ali dan
menyandarkannya kepada Imam Ali. Berkaitan dengan hadis yang ada di dalam Sahifah
Ali, ulama Ahlussunnah berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa
hadis yang ada hanya sampai tingkatan masyhur dan sebagian lain mencoba
untuk meneliti lebih lanjut dengan memilah-milahnya.
Ulama Ahlussunnah dan Syiah tidak banyak berbeda pendapat mengenai hadis yang
terdapat di dalamnya. Mereka mengatakan bahwa ia berisikan hadis-hadis yang
berkaitan dengan akal dan berkaitan dengan batas-batas diat. Sumber
riwayat Syiah menyebutkan bahwa kumpulan hadis-hadis tersebut berada di tangan
Imam Ali as dan disembunyikan di gagang pedang beliau. Dari Imam shadiq as
diriwayatkan, "Ada sebuah shahifah di gagang pedang Ali as."[21]
Dengan paparan yang sangat gamblang diatas, bagaimanapun juga argumentasi
diatas menunjukkan bahwa penulisan hadis sudah ada semenjak awal munculnya
Islam.
[8] "Laa Taktubu 'Anni Syaian illal
Quran, faman Kataba 'Anni Syaian Ghairal Quran Falyamhuhu" , Shahih
Muslim juz 4 hadis 2289, Musnad
Ahmad bin Hanbal, juz 3.
0 komentar:
Posting Komentar