Senin, 13 Januari 2014
Sabtu, 04 Januari 2014
Tata Kelola Hutan Indonesia Melanggar Pasal 33 UUD 1945
Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) sudah tegas mengatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Seharusnya, prinsip tata-kelola hutan di Indonesia mengacu pada ketentuan pasal 33 UUD 1945 tersebut. Dengan prinsip ini, pengelolaan hutan seharusnya tidak membuka peluang bagi kepentingan swasta. Terlebih lagi, jika pengelolaan hutan itu ditujukan untuk memupuk keuntungan bagi perusahaan swasta.
Sayang, sejak orde baru hingga sekarang ini, prinsip tata-kelola hutan Indonesia makin menjauh dari semangat pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, prinsip pengelolaan hutan sangat mengabdi kepada kapital swasta. Orde baru mengobral perijinan pengelolaan hutan kepada pihak swasta, baik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).
Masalahnya, logika swasta adalah logika mencari keuntungan (profit). Mereka mengabaikan kepentingan rakyat dan keselamatan ekologis. Akibatnya, lebih dari 1 juta hektar hutan di Indonesia rusak atau hilang pertahun. Sudah begitu, pemanfaatan hutan makin terkonsentrasi di tangan korporasi. Catatan KPA menyebutkan, dari 41 juta hektar hutan produksi di Indonesia, itu hanya dikuasai oleh 366 perusahaan.
Lalu, begitu dunia dibayang-bayangi oleh pemanasan global (global warming), yang salah satunya dipicu oleh hancurnya hutan tropis, negara-negara Imperialis seakan hendak berbagai “kepedulian”. Mereka kemudian meluncurkan apa yang disebut “ekonomi hijau”. Kita kemudian mengenal skema yang disebut “Clean Development Mechanism (CDM)”.
Melalui skema itu, negara-negara maju seakan mau “cuci dosa”, yakni dengan memberi bantuan hibah bagi negara-negara dunia ketiga yang punya sumber daya hutan, termasuk Indonesia. Lahirlah program yang disebut “reducing emission from deforestation and degradation of forest (REDD)”. Indonesia sendiri menerima dari pemerintah Norwegia hibah sebesar 1 miliar US dollar untuk program ini.
Pada kenyataannya, REDD justru berusaha mengkomoditifikasi fungsi hutan, yakni menangkap dan menyimpan karbon, untuk kemudian diperdagangkan di Kyoto Carbon Market dan Chicago Climate Exchange. Nah, dalam kerangka proyek REDD ini, korporasi besar pun bisa berpartisipasi dalam proyek menguasai atau memprivatisasi hutan-hutan di dunia ketiga.
Proyek REDD sudah berlaku di Indonesia sejak dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008. Ada 30-an proyek REDD di Indonesia, dengan luas lahan mencapai 26,6 juta hektar. Dengan skema ini, Indonesia menjual murah 26,6 juta hutam alamnya, termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya, kepada korporasi asing seharga Rp. 12,- per meter perseginya.
Inilah yang sedang terjadi di Jambi. Di sana, areal hutan seluas 101.000 hektar dikuasai oleh perusahaan asing bernama PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI). Ironisnya, begitu PT REKI menguasai areal itu, maka masyarakat setempat pun dikeluarkan secara paksa dari lokasi.
Ironisnya lagi, Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan berada di garis depan untuk mengusir petani dan masyarakat adat dari lokasi hutan. Bahkan, Menteri Zulkfli Hasan menuding petani dan masyarakat adat (Suku Anak Dalam) sebagai “perambah hutan”. Padahal, petani dan masyarakat adat (SAD) sudah menempati lokasi itu sudah berpuluh-puluh tahun.
Kita harus sadar, retorika “restorasi hutan” hanyalah cover untuk menutupi agenda komersialisasi hutan Indonesia di bawah dikte negeri-negeri imperialis. Kalau mau menyelamatkan hutan, maka Menhut Zulkifli Hasan mestinya mencabut semua HGU dan HTI yang masih berlaku sampai sekarang. Anehnya lagi, kalau memang mau menjaga hutan, kenapa harus diserahkan kepada lembaga asing (PT. REKI).
Untuk anda ketahui, di pihak lain, Menteri Zulkifli Hasan tetap membiarkan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) untuk mengelola puluhan ribu hektar lahan gambut di Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau. Padahal, warga masyarakat di sana sudah berulang kali mengingatkan bahwa eksploitasi lahan gambut oleh PT. RAPP itu akan merusak lingkungan.
Jelaslah, Menhut Zulkifli Hasan adalah jubir korporasi-korporasi besar. Ia lebih memilih melindungi korporasi besar, termasuk korporasi asing (PT. REKI), ketimbang menjamin hak rakyat terkait pengelolaan hutan. Tindakan Menhut Zulkifli Hasan jelas-jelas melanggar pasal 33 UUD 1945. Karena itu, Menhut Zulkifli Hasan harus dicopot dari jabatannya dan harus diadili sebagai “Mafia” penjual hutan milik bangsa Indonesia.
Pemekaran Tak Mensejahterakan Rakyat
Laju pemekaran daerah alias “Daerah Otonom Baru” (DOB) seakan tak terbendung. Dalam satu dekade saja, yakni 1999-2009, terdapat 205 daerah otonomi baru. Dipastikan, jika tidak ada moratorium, jumlah DOB akan terus bertambah. Artinya, dalam sepuluh tahun saja, jumlah kabupaten/kota kita bertambah 65%.
Namun, penambahan DOB itu tidak selamanya menuai keberhasilan. Catatan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, hanya 22% DOB yang berhasil, sedangkan 78% DOB lainnya mengalami kegagalan. Bahkan, menurut studi LIPI, sebanyak 85% DOB itu dikategorikan mengalami kegagalan.
Agenda mensejahterakan rakyat pun terbengkalai. Kita melihat, sejak pemberlakuan otonomi daerah hingga pemekaran wilayah besar-besaran, tingkat kesejahteraan rakyat di daerah tak kunjung menaik. Survei yang digelar oleh Kompas menyimpulkan, mayoritas responden (57,7%) mengaggap pemekaran daerah gagal mensejahterakan rakyat.
Kenapa bisa begitu? Ya, hampir sebagian besar inisiatif pemekaran daerah itu berasal dari kepentingan elit, baik pusat maupun lokal. Pengamat politik dari Center Strategic of International Studies (CSIS), J Kristiadi, menganggap pemekaran wilayah hanya menjadi komoditi politik bagi kaum elit.
Yang kita lihat, pertama, pemekaran wilayah hanya melahirkan raja-raja kecil, yang sangat korup dan anti-rakyat. Akibatnya, ribuan pejabat daerah tersandung kasus korupsi. Kemendagri mencatat, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 277 orang pejabat Gubernur, Walikota, Bupati yang terlibat kasus korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus.
Kedua, pemekaran daerah hanya menggerus anggaran negara. Kita tahu, pemekaran daerah akan disertai dengan pembangunan kantor pemerintahan, perekrutan pegawai, pengadaan fasilitas apparatus, dan lain-lain. Lagi pula, sebagian besar keuangan daerah (80%) masih bergantung pada pusat. Akibatnya, keuangan negara pun hanya dihabiskan untuk membiayai birokrasi yang membengkak. Ada sebanyak 297 kabupaten/kota di Indonesia yang pos belanja pegawai-nya lebih tinggi dari belanja publik-nya.
Ketiga, pemekaran hanya mempercepat ekpansi dan penetrasi kapital asing di seluruh pelosok Indonesia. Ini dipermudah dengan didelegasikannya kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengeluarkan ijin kepada investor asing, seperti ijin pertambangan. Saat ini saja sudah tercatat ada 10.566 izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia. Sebagian besar IUP itu berkategori “bermasalah”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pemekaran wilayah di Indonesia menemui kegagalan:
Pertama, desentralisasi kekuasaan yang terjadi bukanlah desentralisasi kekuasaan dari tangan pemerintah pusat kepada rakyat di tingkat lokal, melainkan desentralisasi kekuasaan dari elit nasional kepada elit lokal. Akibatnya, sekalipun terjadi desentralisasi kekuasaan, rakyat di daerah sama sekali belum terlibat dalam kekuasaan.
Sebaliknya, desentralisasi ala neoliberal ini justru makin menyingkirkan rakyat dari proses pengambilan kebijakan. Ambil contoh, ketika pemerintah daerah hendak mengeluarkan ijin pertambangan, rakyat di tingkat lokal sama sekali tidak dilibatkan. Bahkan, mereka diusir paksa keluar dari pemukiman dan tanah-tanah mereka.
Ada korelasi yang sangat kuat antara desentralisasi neoliberal dengan meningkatnya konflik sumber daya di tingkat lokal. Yang terjadi, kepala daerah sengaja memfasilitasi modal asing untuk merampas sumber daya milik rakyat, seperti tanah, tambang, hutan, pertanian, dan lain-lain.
Kedua, desentralisasi tidak dibasiskan pada inisiatif dan kesiapan rakyat di tingkat lokal untuk mengelola sendiri kekuasaan. Akibatnya, kebanyakan daerah otonom baru (DOB) hanya menjadi “kuda tunggangan” penguasa lokal untuk memperkaya diri. Lebih parah lagi, pengelolaan kekuasaan di DOB tak ubahnya ajang “penjarahan” kekayaan dan keuangan daerah.
Ketiga, kontestasi politik, semisal Pilkada, sangat berbiaya tinggi. Akibatnya, kontestasi politik hanya diikuti elit kaya. Sedangkan mayoritas massa-rakyat hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka. Ironisnya, rakyat-lah yang sering dibentur-benturkan untuk melapangkan jalan bagi kepentingan politik elit lokal.
Politik berbiaya tinggi ini, yang mengandalkan politik klientalisme dan uang ini, menghalangi lahirnya figur-figur kerakyatan. Ditambah lagi, proses depolitisasi benar-benar menjauhkan rakyat dari politik. Akibatnya, pemerintahan lokal hanya menjelma sebagai pemerintahan para bandit pelayan neokolonialisme.
Soekarno Dan Tiga Tingkat Pergerakan Perempuan
Sangat sedikit pemimpin politik laki-laki yang mau menghabiskan waktu untuk mengulas soal gerakan perempuan. Dan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, yang berhasil melakukan itu. Bahkan, begitu pentingnya gerakan perempuan di mata Soekarno, ia menelurkan sebuah buku berjudul “Sarinah”.
Buku “Sarinah” selesai cetak November 1947. Kata Soekarno, buku ini berisi bahan-bahan yang disampaikannya saat kursus wanita di Jogjakarta. Kursus itu diselenggarakan dua minggu sekali. Bagi Soekarno, pemahaman soal perjuangan perempuan tidak bisa dianggap enteng.
Ia jengkel kepada mereka yang mengabaikan pentingnya membahas persoalan perempuan. Soekarno bilang, “kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain) kita tidak mengerti soal-soal wanita.” Sebab, bagi Soekarno, soal wanita adalah soal masyarakat.
Saya sudah membaca buku “Sarinah” itu. Menariknya, di dalam buku tersebut, Soekarno mengulas tiga tingkatan dalam pergerakan perempuan. Di sini, Soekarno menggunakan tingkatan, bukan kategorisasi atau pengelompokan.
Baiklah, saya berusaha mengelaborasi tiga tingkatan pergerakan perempuan versi Soekarno tersebut.
Tingkat pertama, perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Soekarno menggunakan tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini dapat diartikan sebagai cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat perempuan, seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.
Soekarno merujuk pada pengalaman perempuan barat. Di sana, katanya, muncul perserikatan atau klub-klub perempuan, terutama di kalangan perempuan klas atas, yang tujuannya mempersiapkan perempuan lebih matang dalam berumah-tangga. Klub-klub itu mengajari perempuan ilmu memasak, menjahit, memelihara anak, bergaul, kecantikan, estetik, dan lain-lain.
Meskipun sudah mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi mereka belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun patriarkisme dan ekses-eksesnya.
Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi perempuan, lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan siap berkeluarga. “Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah berumah-tangga di zaman sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan pemuda bangsawan dan hartawan,” ungkap Soekarno.
Pelopor gerakan ini, tulis Soekarno, adalah Madame de Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman. Gerakan ini, ungkap Soekarno, tidak memberikan penyadaran kepada perempuan. Gerakan ini masih tunduk pada hukum patriarchal, yang merendahkan martabat kaum perempuan.
Tingkatan kedua, pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, khususnya dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu. Gerakan ini sering diberi label “emansipasi perempuan”.
Bagi Soekarno, kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam hal ini dari feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh menarik perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis.
Pelopor gerakan tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di Amerikat Serikat; Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne de Mericourt di Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya metode berjuang yang berbeda.
Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams, misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada tahun 1776, mereka menuntut agar kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di dalamnya, seperti hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.
Di Perancis, gerakan perempuan berwatak lebih radikal. Perempuan-perempuan Perancis mengambil bagian dalam Revolusi Perancis (1789). Madame Roland, seorang perempuan kalangan atas, yang pemikirannya banyak mempengaruhi pemimpin politik Perancis. Ia menuntut partisipasi perempuan yang lebih luas.
Kemudian ada Olympe de Gouges, mewakili perempuan kalangan bawah, yang tulisan dan pemikirannya secara tajam menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Soekarno memuji Olympe de Gouges sebagai perempuan radikal dan militan, yang berani menentang pemerintahan teror Robespiere.
Pergerakan ini lebih banyak bertumpu pada “persamaan hak” dalam segala hal, termasuk dalam urusan politik. Dalam ekspresi gerakannya, kata Soekarno, lebih banyak mempersoalkan dominasi laki-laki.
Namun, Soekarno menganggap gerakan ini sebagai tipe gerakan perempuan borjuis. Sebab, bagi Soekarno, sekalipun nantinya segala ruang itu dibuka bagi perempuan, termasuk politik, tetap saja yang menikmati hanya perempuan klas atas dan menengah. Sedangkan perempuan kebanyakan, yakni dari kalangan rakyat jelata, tidak bisa berpartisipasi.
Bagi Soekarno, selama relasi produksi tidak berubah, maka perempuan kalangan bawah tetap saja sulit berpartisipasi penuh dalam politik. Persamaan hak saja tidaklah cukup, jikalau perempuan masih terhisap di dalam relasi produksi kapitalistik. Maka, lahirlah gerakan perempuan tingkat ketiga: gerakan perempuan sosialis.
Tingkatan ketiga ini, yakni pergerakan perempuan sosialis, di mata Soekarno, merupakan penyempurnaan terhadap gerakan perempuan. Di sini, gerakan perempuan tidak sebatas menuntut persamaan hak alias penghapusan patriarkhi, tetapi hendak merombak total struktur sosial yang menindas rakyat—laki-laki dan perempuan.
Soekano banyak merujuk pada ahli teori Marxis, Frederick Engels, dalam buku berjudul “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara”. Karena itu, Soekarno beranggapan, penindasan perempuan tidak bisa dilepas dari relasi produksi. “Semakin penting kedudukan perempuan dalam produksi, maka semakin penting pula kedudukannya di dalam masyarakat,” katanya.
Soekarno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan newsletter propagandanya, Die Gleichheit. Soekarno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk sosialisme. Dia berpendapat, perempuan yang bekerja, seperti juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.
Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Soekarno berusaha menarik perbedaan antara feminis liberal dan gerakan perempuan sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial (sosialisme).”
Dalam konteks Indonesia, Soekarno soekarno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi menuju sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tidak mungkin kita capai.”
"Student Loan" Memaksa Mahasiswa Berutang
Agenda privatisasi pendidikan terus berjalan. Sekarang ini, misalnya, pemerintah sedang merancang model kredit/pinjaman kepada mahasiswa kurang mampu. Hal ini dianggap sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi (PT). Mereka berharap, dengan student loan itu, mahasiswa kurang mampu bisa menuntaskan pendidikan mereka.
Nantinya, setiap mahasiswa kurang mampu akan mendapat pinjaman (student loan). Mereka yang mendapat pinjaman itu wajib membayar kembali pinjaman itu setelah mereka mendapat pekerjaan. Dengan demikian, kewajiban pertama seorang mahasiswa setelah mendapat pekerjaan adalah membayar utang.
Student loan bukanlah hal baru. Di negara lain, termasuk Amerika Serikat, sistem ini terbukti gagal. Utang pinjaman mahasiswa di AS sudah mencapai 1 triliun dollar AS (kira-kira Rp 9000 triliun). Sebuah sumber menyebutkan, setiap mahasiswa di AS berutang sebesar 24,300 dollar AS (kira-kira Rp 218 juta).
Data dari Pew Research Center menyebutkan, sebanyak 22,4 juta rumah tangga di AS, atau sekitar 19%, punya utang di Universitas. Itu naik dua kali lipat dibanding tahun 1989, dan naik 15% di banding tahun 2007 (sebelum krisis). Akibatnya, rumah tangga dipaksa menggunakan sebagian besar pendapatan mereka untuk membayar pinjaman pendidikan tersebut.
Student loan membawa mimpi buruk bagi mahasiswa. Bayangkan, begitu mereka mendapat gelar sarjana, tugas pokok mereka adalah membayar utang. Ironisnya, mereka dipaksa mencari pekerjaan berupah tinggi supaya bisa melunasi utang. Kalau tidak, selamanya mereka akan dikejar-kejar utang.
Masalahnya, pinjaman mahasiswa terus naik. Pemicunya bukanlah jumlah pengeluaran mereka selama kuliah. Namun, dalam banyak kasus, penyebab meroketnya utang mahasiswa adalah biaya pendidikan yang juga meroket. Jadi, di satu sisi, mahasiswa dipaksa berutang, tetapi pada sisi lain, biaya pendaftaran dan biaya kuliah juga terus digenjot sesuai hukum pasar.
Nah, bagaimana kalau kebijakan itu diterapkan di Indonesia?
Higher Education Leadership and Management (HELM) pernah membuat survei mengenai sumber pendapatan mahasiswa di Indonesia. Alhasil, survei HELM menyimpulkan, mayoritas mahasiswa (88,16 persen) mengaku sumber pendapatannya dari orang tua/keluarga mereka. Dan hanya 4,60 persen yang bergantung pada beasiswa.
Survei itu juga menyebutkan, ketika orang tua mahasiswa dikenai tagihan pembayaran, sebagian besar mereka meminjam: saudara (32 persen), bank (28 persen), dan Pegadaian (13 persen). Jadi, sekarang saja, rata-rata orang tua di Indonesia sudah mengutang demi memenugi tagihan pendidikan anaknya. Artinya, kalau student loan dipraktekkan, korban pertamanya adalah rumah tangga miskin dan klas menengah.
Pada jaman orde baru, model student loan pernah dipraktekkan. Program itu diberi nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Mekanismenya, kredit akan dicairkan pada saat mahasiswa menyelesaikan tugas akhir dan harus dikembalikan setelah lulus. Dan, sebagai jamiannya, ijazah pun ditahan. Pada prakteknya, banyak penerima KMI tidak sanggup mengembalikan pinjaman.
Lagi pula, sarjana di Indonesia berhadapan dengan ancaman “pengangguran”. Sebuah data menyebukan, jumlah sarjana menganggur di Indonesia mencapai 2,6 juta orang. Versi lain menyebutkan, jumlah keluaran Universitas yang menganggur setiap tahunnya mencapai 60%, sedangkan yang terserap lapangan kerja hanya 37%. Artinya, dengan kondisi kerja seperti sekarang, student loan hanya akan memaksa mahasiswa untuk menanggung utang seumur-hidupnya.
Belum lagi, di satu sisi, biaya pendidikan terus meroket naik. Otomatis pinjaman mahasiswa juga akan tinggi. Sedangkan, pada sisi lainnya, dunia kerja sangat sedikit menyerap tenaga kerja mahasiswa. Sudah begitu, dunia kerja di Indonesia masih berada di bawah kediktatoran politik upah murah. Artinya, kalau mereka bekerja sekalipun, belum tentu bisa menutupi utang. Akhirnya, yang terjadi adalah “orang hidup dan bekerja untuk membayar utang.”
Model student loan sebetulnya melanggar konstitusi. Pada pembukaan UUD 1945 disebutkan dengan tegas bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, negara harus membuka ruang seluas-lusnya agar mahasiswa bisa mengakses pendidikan yang berkualitas.
Bahkan, pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.” Dengan demikian, negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pengajaran yang bisa diakses dengan mudah oleh seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pendidikan itu mestinya digratiskan oleh negara, supaya bisa diakses oleh seluruh rakyat.
Neoliberalisme Dan Ketimpangan Ekonomi
Pada hari Investasi di New York, Amerika Serikat, September lalu, Presiden SBY mengatakan, Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia pada tahun 2040.
Pada tempat lain, Presiden SBY juga pernah mengungkapkan, pada tahun 2025 mendatang, pendapatan perkapita Indonesia akan menembus 10 ribu dollar AS. Sedangkan PDB ditargetkan melebih 4 triliun dollar. Pada saat itu, Indonesia sudah masuk dalam 10 besar negara maju.
Memang tak salah Presiden menabur optimisme. Namun, jika tidak berbasiskan indikator objektif, boleh jadi optimisme itu sekaligus kesuraman. Apalagi, seperti kita ketahui, kesenjangan ekonomi di Indonesia juga makin menganga.
Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal, pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33.
Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011).
Data yang dilansir Perkumpulan Prakarsa juga mengungkapkan, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB. Katanya, nilai kekayaan dari 40 ribu orang itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang. Data lain menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.
Kebijakan neoliberal, yang begitu massif diterapkan satu dekade terakhir, memicu peningkatan kesenjangan pendapatan di Indonesia. Pertama, Kebijakan neoliberal sangat memfasilitasi perdagangan bebas barang dan jasa, yang ditandai dengan penghapusan segala bentuk tariff dan bea impor. Hal ini membawa dampak berantai terhadap ekonomi rakyat: kehancuran usaha (produsen) kecil dan menengah; kehancuran pertanian lokal; kehancuran industri dalam negeri. Situasi ini mendorong proses penyingkiran rakyat dari alat-alat produksi. Di sektor industri, produsen kecil tersingkir dari lapangan produksi. Di sektor pertanian, peningkatan drastis jumlah petani tak bertanah.
Kedua, Pemerintah semakin bergantung pada kapital asing. Untuk itu, pemerintah menempuh segala macam cara untuk menarik investasi. Misalkan, untuk menarik minat investor, pemerintah mengurangi pajak bagi perusahaan multi-nasional. Kebijakan ini menyebabkan merosotnya pendapatan negara dari pajak. Sebagai gantinya, pemerintah akan menaikkan pajak untuk pelaku usaha di dalam negeri atau menciptakan berbagai jenis pajak untuk rakyat. Ini berkontribusi pada pendalaman ketimpangan pendapatan: di satu sisi, perusahaan multinasional mendapatkan keuntungan yang luar biasa, sedang di sisi lain, rakyat dipaksa membayar kerugian yang mereka tinggalkan.
Cara lain untuk menarik investasi adalah deregulasi pasar tenaga kerja. Rezim upah minimum harus dihapuskan. Dengan begitu, negosiasi upah akan dialihkan menjadi negosiasi pemberi kerja dan pekerja. Pada saat bersamaan, diberlakukan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Di lain pihak, peranan dari serikat pekerja harus dilemahkan atau bahkan dihancurkan. Situasi ini membuat
Ketiga, privatisasi besar-besasan terhadap perusahaan negara. Swasta dianggap satu-satunya agen tunggal dalam perekonomian yang sanggup beroperasi di bawah hukum persaingan. Privatisasi mendorong pengalihan kekayaan negara kepada modal swasta/asing. Selain itu, privatisasi perusahaan negara memaksa rakyat membayar mahal hasil produksi atau jasa yang dijual oleh perusahaan yang sudah diprivatisasi tersebut.
Keempat, akibat kehancuran sektor-sektor produktif negara dan berkurangnya penerimaan negara dari pajak, negara semakin bergantung pada utang luar negeri. Ketergantungan terhadap utang luar negeri ini membawa negara dalam situasi seperti “terperangkap”. Misalkan, kreditor kemudian membuat ketentuan agar APBN diprioritaskan pembayaran cicilan utang ketimbang ketimbang domestik. Argumentasi mereka sederhana: itikad baik membayar utang akan menambah kepercayaan investor asing. Sebaliknya, bagi kita, tekanan untuk membayar utang dan cicilannya berdampak pada berkurangnya kemampuan negara untuk belanja modal dan belanja sosial. Pada prakteknya, anggara untuk belanja sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, dipangkas. Tak hanya itu, anggaran untuk subsidi, seperti subsidi energi dan pertanian, juga perlahan-lahan dihapus.
Kelima, penyerahan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, air minum/bersih, penyediaan rumah, dan lain sebagainya, kepada mekanisme pasar. Akibatnya, layanan dasar tersebut menjadi “barang mewah” di mata rakyat. Biaya dari kenaikan harga layanan dasar itu harus ditanggung individu sebagai penerima manfaat. Pada aspek ini, konsep warga negara telah dihilangkan dan diganti dengan konsumen.
Ketimpangan ekonomi sebetulnya tidak perlu terjadi jikalau kita konsisten menjalankan konsep demokrasi ekonomi. Oleh para pendiri bangsa, konsep demokrasi ekonomi ini dirancang untuk melahirkan kesejahteraan sosial. Dan, garis besar dari prinsip demokrasi ekonomi ini sudah diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Sayang, penyelenggara negara saat ini tidak pernah menjalankannya. Sebaliknya, mereka justru menjalankan prinsip-prinsip ekononomi yang didiktekan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Langganan:
Postingan (Atom)