Laju pemekaran daerah alias “Daerah Otonom Baru” (DOB) seakan tak terbendung. Dalam satu dekade saja, yakni 1999-2009, terdapat 205 daerah otonomi baru. Dipastikan, jika tidak ada moratorium, jumlah DOB akan terus bertambah. Artinya, dalam sepuluh tahun saja, jumlah kabupaten/kota kita bertambah 65%.
Namun, penambahan DOB itu tidak selamanya menuai keberhasilan. Catatan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, hanya 22% DOB yang berhasil, sedangkan 78% DOB lainnya mengalami kegagalan. Bahkan, menurut studi LIPI, sebanyak 85% DOB itu dikategorikan mengalami kegagalan.
Agenda mensejahterakan rakyat pun terbengkalai. Kita melihat, sejak pemberlakuan otonomi daerah hingga pemekaran wilayah besar-besaran, tingkat kesejahteraan rakyat di daerah tak kunjung menaik. Survei yang digelar oleh Kompas menyimpulkan, mayoritas responden (57,7%) mengaggap pemekaran daerah gagal mensejahterakan rakyat.
Kenapa bisa begitu? Ya, hampir sebagian besar inisiatif pemekaran daerah itu berasal dari kepentingan elit, baik pusat maupun lokal. Pengamat politik dari Center Strategic of International Studies (CSIS), J Kristiadi, menganggap pemekaran wilayah hanya menjadi komoditi politik bagi kaum elit.
Yang kita lihat, pertama, pemekaran wilayah hanya melahirkan raja-raja kecil, yang sangat korup dan anti-rakyat. Akibatnya, ribuan pejabat daerah tersandung kasus korupsi. Kemendagri mencatat, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 277 orang pejabat Gubernur, Walikota, Bupati yang terlibat kasus korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus.
Kedua, pemekaran daerah hanya menggerus anggaran negara. Kita tahu, pemekaran daerah akan disertai dengan pembangunan kantor pemerintahan, perekrutan pegawai, pengadaan fasilitas apparatus, dan lain-lain. Lagi pula, sebagian besar keuangan daerah (80%) masih bergantung pada pusat. Akibatnya, keuangan negara pun hanya dihabiskan untuk membiayai birokrasi yang membengkak. Ada sebanyak 297 kabupaten/kota di Indonesia yang pos belanja pegawai-nya lebih tinggi dari belanja publik-nya.
Ketiga, pemekaran hanya mempercepat ekpansi dan penetrasi kapital asing di seluruh pelosok Indonesia. Ini dipermudah dengan didelegasikannya kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengeluarkan ijin kepada investor asing, seperti ijin pertambangan. Saat ini saja sudah tercatat ada 10.566 izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia. Sebagian besar IUP itu berkategori “bermasalah”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pemekaran wilayah di Indonesia menemui kegagalan:
Pertama, desentralisasi kekuasaan yang terjadi bukanlah desentralisasi kekuasaan dari tangan pemerintah pusat kepada rakyat di tingkat lokal, melainkan desentralisasi kekuasaan dari elit nasional kepada elit lokal. Akibatnya, sekalipun terjadi desentralisasi kekuasaan, rakyat di daerah sama sekali belum terlibat dalam kekuasaan.
Sebaliknya, desentralisasi ala neoliberal ini justru makin menyingkirkan rakyat dari proses pengambilan kebijakan. Ambil contoh, ketika pemerintah daerah hendak mengeluarkan ijin pertambangan, rakyat di tingkat lokal sama sekali tidak dilibatkan. Bahkan, mereka diusir paksa keluar dari pemukiman dan tanah-tanah mereka.
Ada korelasi yang sangat kuat antara desentralisasi neoliberal dengan meningkatnya konflik sumber daya di tingkat lokal. Yang terjadi, kepala daerah sengaja memfasilitasi modal asing untuk merampas sumber daya milik rakyat, seperti tanah, tambang, hutan, pertanian, dan lain-lain.
Kedua, desentralisasi tidak dibasiskan pada inisiatif dan kesiapan rakyat di tingkat lokal untuk mengelola sendiri kekuasaan. Akibatnya, kebanyakan daerah otonom baru (DOB) hanya menjadi “kuda tunggangan” penguasa lokal untuk memperkaya diri. Lebih parah lagi, pengelolaan kekuasaan di DOB tak ubahnya ajang “penjarahan” kekayaan dan keuangan daerah.
Ketiga, kontestasi politik, semisal Pilkada, sangat berbiaya tinggi. Akibatnya, kontestasi politik hanya diikuti elit kaya. Sedangkan mayoritas massa-rakyat hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka. Ironisnya, rakyat-lah yang sering dibentur-benturkan untuk melapangkan jalan bagi kepentingan politik elit lokal.
Politik berbiaya tinggi ini, yang mengandalkan politik klientalisme dan uang ini, menghalangi lahirnya figur-figur kerakyatan. Ditambah lagi, proses depolitisasi benar-benar menjauhkan rakyat dari politik. Akibatnya, pemerintahan lokal hanya menjelma sebagai pemerintahan para bandit pelayan neokolonialisme.
0 komentar:
Posting Komentar