Jumat, 31 Mei 2013
Teori Dan Konsep Negara Di Negara Berkembang
Pada pembahasan teori dan konsep negara di negara berkembang sebenarnya terletak pada bagaimana negara menjelmakan dirinya dalam sebuah keadaan atau kondisi yang spesifik, yakni keadaan dunia ketiga, yang karena kondisinya yang spesifik menghasilkan juga sifat-sifat spesifik. Jadi yang dibahas bukanlah sebuah teori baru tentang negara di Dunia Ketiga karena pada dasarnya tidak ada teori tersendiri tentang Dunia Ketiga (Arief Budiman, Teori Negara, 1996, hal 107).
Dunia ketiga seringkali dirumuskan sebagai dunia yang umumnya lebih miskin, ketimbang negara-negara industri maju. Tentu saja rumusan ini bersifat kasar dan penuh kekurangannya. Seperti yang telah di katakan di atas mengenai tidak adanya teori negara yang tersendiri dari dunia ketiga maka peneliti mencoba memberikan beberapa teori yang menjelaskan gejala negara di Dunia Ketiga, yang bertujuan menunjukan aspek-aspek yang menjadi perhatian dalam membicarakan negara di Dunia Ketiga, seperti di bawah ini :4.8. Teori Budaya yang dibahas oleh Benedict Anderson,
" ... bahwa budaya yang ada di negara-negara Dunia Ketiga masih bersifat feodal. Kekuasaan politik masih dianggap sebagai perpanjangan dari kekuasaan ke Ilahian, sehingga tidak bisa ditentang ". (Benedict Anderson, Teori Negara, 1996 hal 107)
4.9. Teori Negara Pasca Kolonial yang dibahas oleh
Hamza Alavi, seorang Sarjana dari Pakistan,
" Bahwa negara-negara merdeka yang muncul di Dunia Ketiga yang sebelumnya dijajah, terlanjur mempunyai kekuasaan yang begitu besar. Pemerintah berdiri di atas klas-klas sosial yang ada. Kekuasaan yang lebih besar dari pada kekuatan yang ada di tangan rakyatnya. Ketika masyarakat jajahan ini berhasil memperoleh kemerdekaan, pemerintah atau birokrasi kolonial yang ada masih tetap utuh. Penguasa nasional yang baru seringkali merasa bahwa perangkat kekuasaan ini memudahkan mereka untuk memerintah. Karena itu di banyak negara Dunia Ketiga yang memperoleh kemerdekaan, bentuk pemerintahannya harus dipertahankan, atau sangat sedikit diubah oleh penguasa yang baru, dan inilah yang disebut sebagai negara pasca kolonial ". (Hamza Alavi, Teori Negara, 1996, hal 109).
4.10. Teori Negara Otoriter Birokratis dicetuskan oleh
Guillermo O Donnel.
Pemerintah secara terus menerus menolak tuntutan-tuntutan politik para pemimpin masyarakat terutama yang berasal dari klas bawah ... para pemimpin rakyat juga disingkirkan dari kedudukan-kedudukan politik yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan yang di lakukan oleh negara. Oleh karena itu, sebagai akibatnya pemerintah menjadi sangat mandiri dalam menghadapi masyarakatnya. ( Guillermo O, Donnel, Teori Negara, hal 109, 1996).
4.11. Teori Aliansi Tripel oleh Peter Evans,
Kalau pada ketergantungan klasik peran negara lemah, pada fase pembangunan-dalam-ketergantungan terjadi proses di mana negara semakin kuat. Konsolidasi kekuatan negara ini bahkan dianggap sebagai prasyarat terjadinya proses pembangunan dalam ketergantungan. Dalam model ini terjadi persekutuan tiga unsur, yakni: (1) Modal Asing, (2) Pemerintah di Dunia Ketiga, (3) Borjuasi lokal. (Peter Evans, Teori Negara, hal 113, 1996).
Oleh Karena itu ....
Nasionalisme memberikan basis ideologi bagi terselenggaranya akumulasi modal di negara tersebut, dan karena itu sangat berguna untuk berargumentasi melawan perusahaan-perusahaan multinasional. Nasionalisme memberikan legitimasi bagi birokrat pemerintah untuk menjalankan perannya di mata borjuasi lokal. Nasionalisme juga merupakan satu-satunya basis di mana pemerintah dapat menyatakan kepada rakyat banayak bahwa mereka sedang menjalankan pembangunan nasional, yang hasilnya nanti dinikamti oleh segala lapisan masyarakat. (Alejandro, Teori Negara, hal 115, 1996).
Pembahasan mengenai konsep dan teori mengenai negara baik di negara maju maupun di Dunia Ketiga, merupakan suatu uraian teori yang peneliti anggap penting dalam membahas penelitian ini.
4.12. Teori Dan Konsep Civil Society.pm9
Pada akhir dasawarsa delapanpuluhan, Dunia menyaksikan serentetan peristiwa politik yang oleh para pengamat dianggap sebagai awal dari sebuah proses besar demokratisasi yang akan terjadi dalam skala global. Runtuhnya tembok berlin, keberhasilan gerakan solidaritas di Polandia yang kemudian disusul dengan maraknya gerakan pro demokrasi di Hongaria, Cekoslowakia, dan tumbangnya rejim sosialis komunis di Yugoslavia, telah menawarkan janji-janji akan meluasnya proses demokratisasi di belahan dunia yang lain.
Fenomena mengalir dengan derasnya arus demokrasi, secara tegas terlihat bahwa strategi demokratisasi lewat penguatan civil society akhirnya mendapat tempat cukup penting dalam wacana politik setelah ia dianggap berhasil diterapkan seperti contoh-contah di atas.
Gerakan demokrasi yang telah menempatkan kekuatan masyarakat sebagai kelompok yang mempunyai otonomi untuk menuntut jaminan bagi hak-hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, serta keadilan yang merata, termasuk dalam masalah pembagian sumber daya ekonomi yang merata. Dalam pengertian ini ada baiknya kita melihat satu definisi mengenai civil society yang diberikan oleh Heningsen :
" Civil Society secara umum dapat diartikan sebagai pengelompokan dari warga negara yang dengan bebas dan egaliter mampu melakukan wacana dan praksis tentang segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan secara keseluruhan. Di dalamnya terdapat jaringan-jaringan, kelompok-kelompok sosial yang terdiri dari keluarga organisasi- organisasi sukarela, sampai pada organisasi yang mungkin pada awalnya di bentuk oleh negara tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara negara di satu pihak dan individu serta masyarakat di pihak lain. Oleh karenanya civil society harus dibedakan dengan clan, suku atau jaringan-jaringan klientelisme, karena variabel utama di dalamnya adalah sifat public dan civic yang menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan di depan umum ". (Heningsen, Democracy. hal 14, 1988).
Penempatan civil society seperti yang di gambarkan oleh Heningsen sudah jelas akan dapat terlaksana jika di dasari oleh sistim politik yang mempunyai legitimasi dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mereka yang memerlukan serta sistim politik yang di landasi oleh moral. Pemahaman politik seperti ini digambarkan Havel sebagai berikut :
Politik adalah tanggungjawab, yang diekpresikan lewat tindakan, ... ia adalah tanggungjawab ... karena ia memiliki dasar metafisik: ia tumbuh dari kesadaran atau kepastian sub dasar bahwa kematian kita tidak menghentikan apapun, karena segala hal yang kita perbuat tetap terekam dan dinilai ditempat lain, di tempat yang berada "di atas" kita, dalam apa yang saya namakan ingatan tentang yang ada (the memory of being), yaitu suatu aspek integral dari keteraturan rahasia mengenai kosmos, alam dan kehidupan yang bagi mereka yang beriman disebut Tuhan, terhadap siapa semua penilaian tergantung. (Havel, Di kutip dari Makalah As Hikam yang berjudul Demokrasi Melalui Civil Society, 1993).
Dengan pemahaman politik yang memiliki dasar metafisika yang demikian itulah, maka sistim politik yang berdasar pada rasionalitas instrumental, seperti sistim sosialisme maupun liberalisme akan ditolak. Perbedaan paham inilah yang membuat havel memberikan teorinya tentang landas tumpu civil society :
" Letak dasar pemahaman civil society mempunyai landas tumpu etika tanggung jawab sosial bukannya 'the realm of needs and necessity' seperti pada kaum Marxis ".
Pemahaman-pemahaman tentang civil society di atas juga tak jauh berbeda dengan pemahaman yang diberikan oleh Adam Verguson ketika civil society pertama kali dicetuskannya, yaitu :
Civil society untuk menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup mampu mengimbangi kekuasaan negara. (Adam Verguson, An Essay on The History of Civil Society, 1967)
Sementara itu ada Ernest Gellner memberikan pemahamannya tentang civil society sebagai berikut :
Di banyak bagian dunia, apa yang dimaksud oleh istilah itu tidak terdapat secara nyata. Ketiadaan ini perlahan-lahan sangat terasa dan sangat tidak disukai: pada akhirnya menjadi kehampaan yang menyakitkan. Ketiadaan seperti ini terasa sekali dalam masyarakat-masyarakat yang sangat tersentralisasi dalam segenap aspek kehidupan, dimana terdapat hierarki politik-ekonomi-ideologi tunggal yang tidak mentolerir adanya saingan, dan visi tunggal yang bukan saja mendefinisikan kebenaran tetapi juga menentukan ukuran kebenaran perilaku individu. Hal ini menyebabkan seluruh masyarakat mendekati kondisi teratomisasi, dan kemudian perbedaan pendapat menjadi tanda pemberontakan.
Walaupun demikian secara sederhana masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara. Meskipun tidak menghalangi negara yang berperan sebagai penjaga perdamaian dan wasit diantara berbagai kepentingan besar, tetap dapat menghalangi negara dari mendominasi dan mengatomisasi masyarakat. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakt Sipil, 1994, hal 6)
Pemahaman yang berbeda mengenai keberadaan civil society bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bertolak belakang dibahas dalam teori Karl Marx, sebagai berikut :
Masyarakat sipil merupakan suatu penipuan, gagasan pluralitas institusi baik yang menentang maupun yang mengimbangi negara, dan pada gilirannya di kendalikan dan dilindungi oleh negara tak lain hanyalah pemberian topeng atas dominasi yang tersembunyi dan merugikan. Gagasan itu memperkuat dominasi tersebut melalui institusi-institusi paksaan yang berpura-pura ramah, lunak, netra dan dikuduskan. Dalam hal ini teori Marxis telah berhasil membuka topeng, bahwa negara yang melindungi masyarakat sipil dan masyarakat sipil yang yang mengimbangi negara adalah mubazir dan penuh penipuan.
Maka dari itu formulasi masyarakat sipil tidak diperlukan: begitu eksploitasi berakhir, munculah tatanan sosial yang tak memerlukan penguatan yang bersifat memaksa. Hanya keterpecahan internal patologis masyarakat yang menciptakan kebutuhan akan negara; hilangnya kondisi itu secara otomatis akan menghilangkan kebutuhan akan sebuah negara. Negara tidak akan diperlukan, dan demikian tentu saja juga tak diperlukan institusi-institusi lain untuk mengimbangi agensi pengatur dari pusat itu. (Karl Marx, Membangun Masyarakat sipil, 1994).
Pernyataan dan pemahaman teori Marxis tentang civil society ini, memberikan visi ideal tandingan dari berbagai pakar maupun sudut pandang keilmuan lainnya, dalam hal ini Kaum Pluralitas dan Agama Islam memberikan pandangannya tentang pemahaman dan pendefinisian civil society, sebagai berikut :
Masyarakat sipil dalam gagasan pluralisme adalah mencegah tegaknya monopoli kekuasaan dan kebenaran dan yang mengembangi institusi-institusi sentral yang, meski diperlukan, justru dapat memperoleh monopoli semacam itu. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, 28, 1994).
Sedangkan dalam konsep Islam adalah sebagai berikut :
Islam secara resmi tidak memisahkan masjid dan masyarakat, sebagaimana yang juga berlaku terhadap masjid dan negara. Jauh sebelum dirumuskannya ideal-ideal modern seperti pemisahan kekuasaan dan konstitusi, Islam sebetulnya telah memiliki suatu versi keagamaan tentang keduanya. Dewan legislatif berbeda dengan eksekutif, karena perundang-undangan telah ditetapkan lebih dahulu oleh Tuhan, sedangakan agama itu sendiri terutama sekali merupakan hukum konstitusional masyarakat.
Jadi dunia muslim memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk menegakkan umat, yaitu komunitas menyeluruh yang berdasarkan pada iman yang sama dan penerapan hukumnya. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, 1994, hal 30)
Untuk lebih dapat memahami tentang konsep dan teori tentang civil society ada baiknya juga kita membahas perkembangan teori ini lewat teori perkembangan masyarakat yang ada sejak jaman yunani kuno sampai sekarang, yang pertama teori dan pemahaman mengenai masyarakat oleh Aristoteles, sebagai berikut :
Konsep Aristoteles tentang masyarakat dan negara saling berkait sehingga lebih baiklah memakai istilahnya sendiri, 'polis' untuk mengartikan komunitas sipil yang ia yakini sebagai latar sosial kodrati manusia. Pada awalnya perbedaan-perbedaan dalam kemampuan alamiah dipakai sebagai basis untuk pembagian kerja sederhana dan sebagai sebuah organisasi kekeluargaan yang kuasi-politis.
Rumah tangga adalah jenis komunitas yang paling dasariah tetapi terbatas dalam skop yang di berikannya untuk perkembangan kodrat manusia. Karena kebutuhan untuk membuat yang lebih baik untuk syarat-syarat material dan pertahanan-diri, perkembangan sosial alamiah adalah menuju desa. Desa adalah perkumpulan keluarga-keluarga yang sebagian besar didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kegunaan. Ikatan persahabatan yang diberikan oleh keluarga-keluarga itu terbatas pada apa yang hidup dari pengakuan akan kebutuhan satu sama lain, persahabatan yang berguna. Alasan-alasan yang sama menyebabkan pertumbuhan desa menghasilkan munculnya polis sebagai sebuah kumpulan desa-desa disekitar sebuah kota pusat. Polis tidak hanya meningkatkan keamanan terhadap serangan dari luar dan memudahkan perdagangan yang diperlukan untuk per kembangan ekonomi, polis juga memberi tataran untuk persahabatan sejati antara orang-orang yang sejajar. Sebuah polis terdiri dari komunitas yang secara material, militer dan etis cukup-diri, yang memiliki cukup orang dalam keanekaragaman yang memadai untuk mendukung basis material untuk hidup yang baik tetapi tidak begitu banyak sehingga mereka tidak bisa saling mengenal dan membentuk hubungan-hubungan pribadi yang didasarkan pada kontak temu muka.
Secara historis polis muncul setelah rumah tangga dan desa, artinya bahwa polis merupakan telos atau tujuan yang memberi arah dan tempat untuk bentuk-bentuk komunitas yang lebih kecil. Polis menyempurnakan kehidupan manusia dan dengan demikian jauh dari pada sekedar sebuah kumpulan yang didasarkan pada keinginan-keinginan individu yang telah ada sebelumnya.
Walaupun keuntungan-keuntungan polis mencakup kemajuan ekonomis yang dimungkinkan oleh perkembangan pembagian kerja dan keamanan militer yang diberikan oleh unit yang lebih luas, tujuan-tujuan ekonomis dan militer polis terbatas, dan perlu disyahkan dan dikontrol menurut manfaat semua itu dalam memungkinkan sebuah bentuk kehidupan yang tidak militeristis (seperti Sparta) atau juga tidak materialistis (seperti yang diinginkan para pedagang Athena). keinginan-keinginan untuk kekuasaan dan kesejahteraan tidak dengan sendirinya bersifat alamiah dan dapat dikekang sekali keinginan-keinginan ini mengarah melampaui pemuasaan kebutuhan-kebutuhan itu yang harus ditemukan sebelum manusia bisa masuk sepenuhnya ke dalam hubungan-hubungan persaudaraan dan mengejar kenikmatan-kenikmatan intelektual dari kebijaksanaan teoritis.
Dengan demikian sebuah polis pada hakikatnya merupakan sebuah kesatuan petani-petani kecil yang relatif independent, bersama dengan berbagai macam pedagang dan tukang yang memberi pelayanan yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan pertanian dan pada taraf tertentu oleh kehidupan kota. (Aris Toteles, Tujuh Teori Sosial, 1980, hal 70-75)
4.13. Teori perkembangan masyarakat oleh Thomas Hobbes
Pada saat manusia dalam keadaan asali, sebelum mereka membuat persetujuan-persetujuan lainnya, pertama-tama harus mengadakan kontrak satu sama lain untuk menyusun suatu kekuasaan yang akan memaksa mereka memelihara persetujuan-persetujuan mereka. Kontrak sosial untuk membentuk masyarakat sipil ini adalah sebuah piranti bagi manusia untuk bertindak menurut keinginan instrumentalnya akan hubungan-hubungan yang damai karena mereka lantas memiliki jaminan bahwa mereka akan menerima keuntungan-keuntungan yang mereka inginkan selama mereka sendiri diminta tidak melukai orang lain. Kontrak sosial terdiri dari pasal-pasal perdamaian yang dideduksikan dari hukum-hukum alam. Dalam skemanya sebuah hukum alam bukanlah sebuah imperatif moral, melainkan adalah sebuah perintah atau aturan umum yang ditemukan oleh rasio, yang dengannya manusia dilarang berbuat sesuatu yang merusak kehidupannya.
Perjanjian alam yang pertama adalah mengusahakan kedamaian, sejauh manusia mempunyai harapan untuk memperolehnya. Perjanjian alam yang kedua adalah seorang manusia yang menghendaki, bila orang lain bertindak demikian juga, sejauh mungkin, untuk ke damaian dan pertahanan dirinya sendiri, dia akan berpikir perlulah meletakan hak ini pada segala hal: dan puas dengan begitu banyak kebebasan melawan orang lain melawan dirinya sendiri, disinilah bahwa hak-hak kodrati manusia dalam keadaan asali dan diserahkan dalam kontrak sosial itu semata-mata merupakan kebebasan-kebebasan atau tidak adanya kewajiban-kewajiban.
Kontrak sosial timbal baliklah yang merupakan dasar dari kehidupan sosial. Kalau semua orang menyerahkan hak kodrati mereka untuk mempertahankan diri dan mempercayakan tugas ini kepada satu orang atau sekumpulan orang, lalu setiap orang dilindungi dari 'free-rider' yang mengambil keuntungan-keuntungan dari kerjasama sosial tanpa memenuhi kewajiban yang memungkinkan keuntungan-keuntungan ini. Satu orang atau kelompok (kekuasaan tertinggi) ini mengerahkan kekuatan kolektif seluruh anggota masyarakat untuk melawan free-rider atau pelanggar kontrak, lalu menjamin kesesuaian dengan hukum alam ketiga bahwa manusia melaksanakan perjanjian-perjanjian yang mereka buat. (Thomas Hobbes, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 92-94)
4.14. Teori perkembangan masyarakat oleh Adam Smith,
Hidup dalam masyarakat berarti hidup bersama dalam kedamaian yang mencukupi untuk menghindari kematian, mengembangbiakan species-species, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang hakiki untuk mempertahankan hidup. Karena itu prasyarat pertamanya adalah keadilan, yaitu sistim tertentu untuk mengendalikan kecenderungan alamiah manusia untuk melukai orang lain.
Dan masyarakat dapat dilihat sebagai keseluruhan sebagai sebuah mekanisme yang terintegrasi dengan sebuah tujuan menyeluruh. (Adam Smith, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 122-123)
4.15. Teori perkembangan masyarakat oleh Karl Marx,
Dalam produksi sosial yang dilaksanakan manusia mereka masuk ke dalam hubungan-hubungan tertentu yang tak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini berkaitan dengan sebuah tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi mereka yang bersifat material. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat. Pembedaan masyarakat atas dasar cara-cara produksi masyarakat-masyarakat tersebut. Sejarah adalah kemajuan masyarakat primitif ke masyarakat perbudakan dan kemudian menjadi feodalisme dan pada akhirnya menuju komunisme. Oleh karena itu fungsi negara tak lebih dari pada penjagaan kepentingan-kepentingan kelas ekonomis yang berkuasa dengan jalan kekerasan. Pemerintah adalah sebuah manifestasi dan pertahanan dari kekuasaan ekonomis. (Karl Marx, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 146)
4.16. Teori tentang masyarakat oleh Emile Dhurkeim,
Masyarakat adalah sebuah tatanan moral, yaitu seperangkat tuntutan normatif lebih dengan kenyataan ideal dari pada kenyataan material, yang ada dalam kesadaran individu meski demikian dengan cara tertentu berada di luar individu. Dua konsepnya yang berhubungan dengan kenyataan sosial atau masyarakat yaitu; pertama, gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota-anggota kelompok. Kedua kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para anggota individual masyarakat dan yang menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif.
Dan masyarakat dapat dibagi menjadi dua, pertama masyarakat sederhana yang mempunyai ciri-ciri populasinya kecil dan tersebar dalam wilayahnya yang terbatas. Anggota-anggota masyarakat memiliki ciri-ciri dan kegiatan-kegiatan yang sama dan termasuk di dalam kelompok-kelompok kecil yang sebagian besar terisolasi yang memiliki sedikit interaksi. Masyarakat sederhana terintegrasi secara ketat, dalam arti tak ada perbedaan yang tajam antara aturan-aturan dan tuntutan-tuntutan kehidupan keluarga, keagamaan, politis, moral dan legal. Semuanya sangat tradisional dan dikontrol secara ketat sehingga individu lahir kedalam situasi-situasi sosial yang dirumuskan dengan jelas dimana kewajiban- kewajibannya persis, jelas dan tak dapat dielakan. Kedua adalah masyarakat kompleks, mempunyai ciri-ciri kebalikan dari masyarakat tradisional, mempunyai wilayah yang luas dengan penduduk yang rapat, dengan berbagai kelompok yang tersusun secara beraneka ragam. Rancangan-rancangan institusional dispesialisasikan sehingga jenis institusi-keluarga, religius, pendidikan, politis dan ekonomis menjadi lebih tampak jelas dan demikian juga setiap jenis institusi menjadi kurang pokok untuk kehidupan para anggota masyarakat itu. Individu-individu tidak lagi berada di bawah kontrol ketat institusi-institusi yang terjalin erat yang mendominasi masyarakat-masyarakat sederhana. Di dalam dirinya setiap institusi juga menghasilkan spesialisasi peran-peran dan karenanya menyebabkan munculnya perbedaan-perbedaan yang penting di antara para individu yang menduduki peran-peran tersebut. Spesialisasi kegiatan- kegiatan yang saling tergantung ini adalah ciri bukan hanya dari proses ekonomi melainkan dari segala segi masyarakat. Misalnya sebuah masyarakat organis membutuhkan sebuah organ politis yang terspesialisasi, negara untuk merundingkan dan memutuskan demi kepentingan seluruh masyarakat, dan didalam organ masyarakat yang tertentu ini ada keanekaragaman peran politis yang saling tergantung, antara lain yang paling jelas peran menyusun undang-undang, mengadili para pelanggar undang-undang, mengadili para pelanggar undang-undang dan melaksanakan undang-undang. (Emile Dhurkeim, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 178-184)
4.17. Teori Masyarakat oleh Max Weber,
Teori ini memusatkan diri pada perbedaan masyarakat tradisional dan rasional, Otoritas tradisional yang berdasarkan pada penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan itu telah lama ada dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah dengan aturan-aturan ini. Di dalam tatanan tradisional individu merupakan loyalitas dari masa lalu dan mereka mewakili masa lalu itu, sebuah loyalitas yang seringkali berakar dalam sebuah kepercayaan akan kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Sedangkan ciri dari masyarakat rasional adalah sebuah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial yang bersifat asosiatif dan orientasi tindakan sosial berdasarkan pada sebuah penyesuaian kepentingan-kepentingan yang di motovasi secara rasional atau persetujuan yang di motivasi secara sama.
4.18. Peranan Militer Di Negara Berkembang
Dalam kebanyakan konsep tentang militer di masyarakat Barat, peran militer pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika peranannya telah menyimpang jauh dari apa yang dimaksud di atas maka, ia dianggap telah melakukan intervensi politik. Dalam hal ini Samuel P. Huntington memberikan pernyataannya secara tegas, sebagai berikut :
Bahwa sekarang mayoritas profesional militer di Barat menerima kekuasaan sipil sungguh-sungguh sebagai hal yang semestinya ada. (Samuel P. Huntington, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 2)
Sedangkan pada umumnya di negara berkembang atau di Dunia Ketiga, lebih banyak kecenderungan dimana militer lebih besar untuk melibatkan diri dalam politik nasional. Namun keterlibatannya militer di Dunia Ketiga dimungkinkan jika ada beberapa faktor, seperti yang dikatakan oleh Bilver Singh :
Pertama, apabila ada kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat yang mengancam eksistensi angkatan bersenjata. Kedua, militer akan melakukan intervensi politik untuk mendapatkan kekuasaan yan lebih besar yang oleh korps perwira dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada dalam masyarakat. Ketiga, adanya kesempatan. (Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 5).
Keterlibatan militer di Dunia Ketiga juga mengundang para ahlinya untuk mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dan dapat disebut sebagai rezim militer, dalam hal ini Amos Perlmutter mengamatinya sebagai berikut :
Apa yang disebut sebagai rezim militer tidak lagi dapat dianggap hanya sebagai rezim-rezim yang didominasi oleh militer. Bahwa rezim-rezim militer modern dalam komposisinya bukan semata-mata diisi oleh militer. Malahan mereka adalah fusionis antara rezim militer-sipil. Dengan demikian rezim militer dapat diklasifikasikan sebagai berikut; hakikat hubungan antara elite dan struktur militer dan sipil; jangkauan otonomi organisasional dan institusional militer dan sipil dalam rezim militer; hakikat sarana politis dan administratif yang dimanfaatkan dalam rezim militer untuk mencapai modernisasi dan legitimasi-struktur birokratis, komisi, partai politik, kelompok- kelompok kepentingan dan militer itu sendiri dan kelas maupun kelompok yang disusupi oleh rezim militer dan kelas yang hendak dikooptasi atau diajak kerjasama oleh militer.
Kaidah yang biasanya berlaku dalam militer melakukan intervensi, akibat krisis politik, ekonomi, sosial yang muncul dari perubahan masyarakat. Oleh sebab itu Amos Perlmutter juga mengatakan :
Rezim-rezim militer terdapat dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, kekurangan tata keteraturan dan dukungan politik yang sah. Rezim-rezim itu cenderung tumbuh subur dalam dalam pemerintahan yang tidak stabil, belum berkembang secara politik, belum padu secara struktural, dan dalam kebanyakan kasus, belum berfungsi atau berfungsi dengan buruk. Rezim-rezim militer di dirikan untuk menggantikan rezim-rezim yang lemah, eksekutif-eksekutif dan pemerintahan yang lemah, dan khususnya ... untuk mempertahankan negara dari pengambil-alihan secara revolusioner oleh kaum komunis atau ekstrimis.
Dengan latar belakang ini, menurut Amos Perlmutter ada banayak alasan bagi campur tangan militer, alasan-alasan itu meliputi :
Anti kolonialisme, nasionalisme, oposisi terhadap rezim nasionalis, anti-oligarkisme, dorongan untuk melindungi institusi militer dari pelanggaran dan ketakutan akan hilangnya otonomi dan kekuasaan militer, keinginan untuk mem promosikan modernisasi dan perkembangan ekonomi, serta tanggapan terhadap ancaman dari sayap kiri.
(Amos Perlmutter, Political Roseland Millitary Rules, 1980, hal 238).
4.19. Paradigma Hubungan Sipil-Militer
Keterlibatan militer di negara berkembang secara tegas sekali dapat diakibatkan oleh faktor-faktor yang bersifat internal dan eksternal. Mengenai kedua faktor ini dapat kita temui dalam pembahasan-pembahasan yang di kemukakan oleh beberapa ahlinya, sebagai berikut :
Kemungkinan untuk campur tangan politik tidak hanya terdapat pada pihak militer itu sendiri tetapi juga ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial politik eksternal. Kebangkrutan politik dan demoralisasi dalam sebuah sistem yang demokratis, ... dibarengi dengan krisis ekonomi, dapat mendorong militer untuk bertindak. (Taufik Abdullah, Dwifungsi ABRI, 1995, hal 5).
Keterlibatan militer dalam politik dapat dilihat pada karakteristik internal pihak militer itu sendiri maupun pada situasi eksternal dimana militer beroperasi. Seperti, faktor internal orientasi dan kepentingan militer dan faktor eksternal meliputi kondisi sosio ekonomis, kondisi politik, dan faktor-faktor internasional. (Harold Crouch, The Millitary and Politics in Southeast Asia, 1985, hal 288).
Sebaliknya, Ulf Sundhaussen memberikan sarana analisis yang berbeda untuk memeriksa kelangsungan keterlibatan militer dalam bidang politik, khususnya di Dunia Ketiga. Rezim-rezim militer tidak dianggap sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang alamiah, walaupun kebudayaan-kebudayaan politik yang berbeda akan menentukan hal ini secara berbeda pula. Seperti yang dikatakan olehnya :
Jika rezim militer memulihkan konsensus atau sekurang-kurangnya, menjalankan hukum dan membangun institusi-institusi politis yang dapat berfungsi untuk memecahkan konflik ... hal itu, demi maksud-maksud praktis, hidup lebih lama dari manfaatnya. Jika dilain pihak rezim itu gagal untuk mencapai tujuan-tujuan ini, rezim itu kehilangan raison d'etre atau dasar keberadaannya dan dengan demikian juga legitimasinya serta pada akhirnya kemampuannya untuk berkuasa. Jadi terlepas dari apakah rezim militer itu gagal atau berhasil, dalam jangka panjang rezim itu dapat disingkirkan dan bahkan dapat menjadi amat merugikan (counter productive). Dan rezim itu seharusnya sudah menarik diri sebelum masyarakat umum menerimanya lagi. (Ulf Sundhaussen, The Durability of Military Regime in Southeast Asia, 1985, hal 270).
Walaupun pihak militer melibatkan diri dalam politik Dunia Ketiga dan dapat memberikan sumbangan pada pembangunan masyarakat, itu tidak berarti keterlibatan politiknya bersifat tetap. Dalam hal ini S.E. Finer menyatakan bahwa ada tiga pola yang bisa terjadi:
Pertama menyerahkan kekuasaannya, kedua menjadi sipil kemabali, ketiga pola tengahan dengan menjadi setengah sipil. (S.E. Finer, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17).
Akan tetapi samuel P. Huntington mengemukakan empat skenario yang mungkin: Militer mengembalikan kekuasaan tetapi menghalangi partisipasi seperti di Birma; mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi seperti di Thailand tahun 1973; mempertahankan kekuasaan dan menghalangi partisipasi seperti di Birma (1958-1960) dan lagi setelah tahun 1960 dan tetap mendominasi kekuasaan tetapi memperluas partisipasi seperti di Thailand periode tahun 1968 - 1971. (Samuel P. Huntington, dalam Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17).
Dari pembahasan teori-teori di atas merupakan suatu upaya menjelaskan bagaimana keterlibatan militer di bidang politik khususnya di Dunia Ketiga. Dalam pandangan militer terhadap perannya di Dunia Ketiga merupakan suatu kerangka pikir yang baru yang berbeda dengan Barat. Konsep dikotomis hubungan anatara sipil dan militer di Dunia Ketiga dengan supremasi sipil didalamnya sama sekali tidak memadai dalam rangka menjelaskan hubungan sipil-militer di Dunia Ketiga.
Dengan begitu hubungan sipil militer yang suram tidak hanya disebabkan oleh kurangnya modernitas masyarakat, tetapi juga oleh keadaan ketertiban negara, tradisi-tradisi nasional, dan doktrin militer suatu negara. Kapanpun hubungan sipil militer akan ditentukan oleh faktor-faktor seperti, keadaan-keadaan suatu pemerintah berkuasa, hubungan dengan negara-negara lain, tingkat spesialisasi fungsional antara unsur-unsur eselon atas kaum elite yang memerintah, tingkat perselisihan fraksi dalam tubuh elite yang sedang berkuasa, tingkat birokrasi politik, sikap-sikap historis terhadap peran militer dalam kehidupan politik, struktur institusional masyarakat dan kepentingan korps militer.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar