Kemiskinan Mencolok.
Di Amerika Latin, gelombang privatisasi yang
diminta Word Bank dan IMF telah menghasilkan penganguran, mengantarkan ribuan
buruh turun ke jalan menjadi rombongan penganguran. Kontradiksi yang tak
terselesaikan di benua ini menjadi terpolarisasi. Kita percaya bahwa Amerika
Selatan adalah jaringan lemah dalam rantai imperialis transisional di era
globalisasi. Ide-ide ekonomi dan politik yang dihamburkan borjuasi imperialis dan intelejensia
mereka tak punya maksud lain yaitu untuk memusnahkan suatu bagian dari
masyarakat kita. Kita akan mencoba untuk menganalisa ide ini dalam bentuk yang
ilmiah. Suatu tugas untuk intelejensia progreif revolusioner harus
dikontribusikan lagi, sebagaimana nampaknya mereka masuk ke dalam periode swa
sensor beberapa waktu lalu. Sebagai suatu organiasi politik yang telah
berkembang di hati rakyat, kita akan mencoba untuk mengungkapkan ide-ide ini
dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tanpa kehilangan makna ilmihnya. Metode
ini, dan aksi praktis kita, membuat kita selalu berada di hati dan kepala
rakyat, mengesmpingkan harapan banyak orang yang masih mencoba untuk meyakinkan
diri mereka sendiri pada tangisan kemenangan Fujimoriisme, dan lainnya yang mengumumkan
bahwa penghancuran pada setiap kesempatan yang mungkin, sambil meminta maaf
bagi kediktatoran. Ini bukanlah tujuan kita untuk jatuh pada pemakaian
"terminologi yang enak" tetapi kita sadar itu sebuah permohonan maaf
untuk konsep klarifikasi, dimana banyak orang yang dulunya aktif dalam putaran
progersif dan revolusioner mulai memakai, karenanya hanya membuat kebingungan
dan harapan yang salah dalam rakyat kita.
Pada saat apa yang disebut "model
neo-leberal" menunjukkan dirinya sebenarnya, ada sebuah rangkaian protes
sosial dengan kekerasan, sebagaimana di Mexico, Venezuela, Argentina dll, yang
membuktikan bahwa tak mencapai hasil yang mereka inginkan , dan bahwa mereka
tak bisa lagi menjual harapan yang salah kepada jutaan orang miskin didorong ke
dalam kondisi kesedihan ekstrim, di Peru, di Andes kita dan diseluruh benua. "Statement
intensi" atau suatu program untuk neo koloni.
Dalam bayangan "statemen intensi" yang
dikembangkan IMF, mereka bermaksud untuk menswastakan tanah, sumber daya alam,
dan yang tertinggal dari industri kita . Statemen ini adalah program sejati
dari pemerintahan (neo kolonial) Amerika Latin dan telah menjadi penyebab
penganguran yang besar, kemiskinan, dan kesedihan, dan mereka membuat jutaan
orang mati kelaparan, seperti di Somalia. Adalah dalam kondisi ini ketika orang
Peru dan Amerika Latin dan organisasi revolusioner mereka harus merencanakan
alternatif objektif dan ilmiah untuk melawan sistem pembunuh dan pembinasa ini.
LIBERALISME DAN NEO LIBERALISME
Model ini secara teoritis berasal dari teori klasik
liberal milik Adam Smith dan David Ricardo, dan diterapkan di zaman
globalisasi. Bagaimanapun jika kita menekankan perbedaan kelas kita dengan
klasik ekonomi borjuis, yang tak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita tak
melihat kontribusi mereka pada teori ekonomi umum; teori tentang nilai kerja,
dimana dengan kelas elemen lain
diperlakukan sebagai basis dimana ketidak adilan teori ekonomi kapitalis
diumumkan, dimana mereka yang membuat kesejahteran yang berputar di dunia tak punya
akses untuk itu. Disamping pertanyaan
subjektif tentang keadilan dan ketidak-adilan, sistem ini membuat kelas
revolusioner, yaitu proletariat, yang dengan kapasitasnya membuat kesejahteraan
dan dengan bentuk organisasi sosial dalam proses produksi adalah satu-satunya
yang mampu untuk memberi alternatif radikal terhadap kapitalisme. Krisis
kapitalisme bukan dibuat oleh kelangkaan barang, seperti dalam ekonomi sebelum
kapitalisme, tetapi dengan dampaknya. Dari titik pandang ini, apa yang di sebut
"Neo liberal" adalah lebih jauh dari Smith dan Ricardo daripada
Marxisme; apologi borjuis mereka tak diharapkan atau mampu untuk masuk ke dalam
perdebatan tentang "Teori Nilai", dan dengan usaha mereka untuk
mengurangi krtesi produk dan kesejahteraan pada kekuatan besar kapital dan
pasar. Mungkin mereka tak mau tahu bahwa kapital ada sebagai produk nilai yang
diakumulasikan dan dibuat pekerja, yang kemudian dikonsentrasikan ke dalam
tangan swasta. Pada titik ini, yang adalah tulang belakang liberalisme, tak ada
pertemuan dengan neo liberal. Dengan cara yang sama "perdagangan Bebas" yang ditawarkan
oleh kaum liberal tak punya hubungan dengan monopoli komersial yang diterapkan
oleh kaum globalisasi, atau monopoli multinasional (imperialis). Menurut
Jonathan Elliot tahun 1987: "terhitung bahwa pada level pasar dunia, 40%
perdagangan tak melalui suatu pasar bebas tetapi melalui perdagangan internal
(dalam beberapa perusahaan)". Tahun 1994, Julies Kagian mengatakan dalam
"Midle East Internasional" bahwa : "di Amerika Serikat, lebih
80% pendapatan dari barang yang dijual diluar, terbatas dalam dollar, tak
datang dari ekspor tetapi dari menjual oleh perusahaan yang berafiliasi".
Globalisasi : Topeng baru Imperialisme
Pendewan pasar adalah tak lain dari produk modal
nasional pada tingkat internasional, menghancurkan rintangan fisiknya .
Fenomena ini dipelajarii pada permulaan abad ini dan dinamakan
"imperialisme" oleh Lenin. Dalam cara ini globalisasi ekonomi
hanyalah konsentrasi nilai yang dibuat masyarakat dunia dalam multinasional.
Dapat dikatakan kemajuan penyatuan modal bank, finansial dan produksi. Jumlah perusahaan
multinasional telah meningkat dari 7000 pada tahun 1970 menjadi 37.000 pada
tahun 1992. Bekas perusahan nasional telah bersatu dengan yang lainnya dari negara
lain dan mereka menjaga ketergantungan pada yang terbesar. Kekuatan ekonomi
perusahaan multinasional lebih besar dari banyak negara-negara nasional.
Contohnya penjualan mereka telah naik menjadi 5,5 milliard dollar, 90% yang
dibuat negara imperialis utara dan hanya
10% dibuat di negara produsen selatan. Kekuatan ekonomi multinasional memberi
mereka kekuatan politik tak terbatas
melampaui negara nasional.
SEDIKIT SEJARAH
Perkembangan produksi membuat kontradiksi
antagonistik antara kepemilikan swasta terhadap alat produksi dan sosialisasi
produksi itu sendiri antara modal dan buruh, dan hal ini dihasilkan dalam
banyak krisis dan dua perang dunia. Perang-perang ini mengizinkan pemenang
untuk memotong pasar dunia lagi, dan mengubur krisis mereka. Pada akhir perang
dunia 2, berkumpulnya kapital melalui multinasional sebagian besar Kapital
amerika utara, melalui Marshall Plan, untuk mengabsorb apa yang tertinggal
modal jepang dan eropa. Multinasional membuat
sebagian besar dari tingkat tinggi pembangunan yang dicapai oleh buruh
di negara-negara ini. Bagaimanapun disamping fakta bahwa pekerja menjual labor
mereka dalam kondisi baik, dikarenakan pengaruh kompetisi dari negara-negara
sosialis, maka tak mungkin untuk mengutamakan kontradiksi antagonis antara modal
dan buruh, atau antara produksi alam sosialis produksi dan perampasan swasta produknya. Tanpa kesadaran ini tak
akan mungkin bagi kita untuk menjelaskan ketidak-puasan dan pemogokan di
Perancis.
Mungkin bahwa Imperialis atau Globalizer (untuk
menggunakan istilah baru), telah menanam uang banyak untuk menginvestigasi
bagaimana menghindari krisis dan kebangkitan kekerasan, dan bahwa mereka telah
mencapai tahapan kontrol fikiran melalui media massa, tetapi mereka tak
berhasil dalam menutupi ketidakpuasan ini, yang tetap tumbuh hari demi hari,
dan setiap saat ia jadi lebih sulit bagi mereka untuk membuat orang
percaya bahwa sistem ini tak
bertanggung-jawab terhadap persoalan dunia; di utara mereka melihat gelombang imigran
dan jutaan dollar dikirim sebagai "bantuan" kemanusiaan pada negara
"terbelakang". Pada era pasca perang, mereka mengamankan pasar
internal di utara, yang meningkat dalam kedalaman tetapi tak meluas. Hal ini
membawa kepada perkembangan konsumerisme. Hal ini dihasilkan dalam
borjuisifikasi kelas pekerja, memisahkan mereka dari tugas sejarah mereka.
Alasan bahwa ia yang bisa memuaskan kebutuhan dasarnya tak punya kepentingan
dalam perubahan sosial. Meskipun mereka sadar akan kenyataan bahwa standar
tinggi mereka akan hidup datang dari pemusnahan seluruh orang, setelah sumber
daya alam bangsa-bangsa ini telah dirampok. Pemerintahan imperialis mensyahkan hal ini dengan
mengatakan bahwa orang selatan itu pemalas dan kepala batu. Diluar itu, mereka
juga telah dijangkiti oleh pertumbuhan tak putus-putus dalam pengangguran, yang
meskipun bisa ditutupi dengan manipulasi statistik tetapi tak dapat dibantah
bahwa kasus dan memindahkan sektor penting populasi dari pasar konsumen.
Cara lain yang mereka coba untuk menghindari atau
bangkit dari krisis mereka adalah dengan mengembangkan perang regional jauh
dari pusat mereka, yang didasarkan pada agama, rasisme, teritori dll. Mereka
menyediakan pasar yang bagus untuk senjata. Tetapi sesuatu yang mengerikan terjadi di
dunia globalisasi. Tahun demi tahun profit
terus menurun dan satu-satunya jalan bagi mereka untuk bangkit dari situasi ini
adalah dengan memotong upah dan tunjangan sosial, dan hal ini telah menyebabkan
gelombang kemubaziran yang massif, pertama di negara-negara selatan dan
kemudian di metropol mereka di utara. Tendensi ini tak punya peluang untuk
diperbaiki. Perbedaan nya adalah di utara efek sosial tendensi ini ditutupi
dengan negara kesejahteraan, sesuatu yang tak kita miliki di selatan. Negara kesejahteraan
di utara semakin memburuk, pada saat yang sama kelas menengah di Amerika Latin
menghilang, meningkatkan gelombang migrasi eksternal dan internal dalam upaya
untuk meningkatkan kondisi hidup mereka.
Proletariat internasional dan organisasinya masuk
ke dalam suatu periode pembengkokan kepada pengaruh "negara
kesejahteraan-isme" dan "reformisme". Hal ini memundurkan
perkembangan praktis dan teori sosialisme dunia untuk waktu yang lama.
Bagaimanapun peningkatan luar biasa dari kekuatan-kekuatan produksi tidak
dibarengi dengan program alternatif, yang tak hanya akan menahan peningkatan disproporsi dalam eksploitasi
kekuatan buruh dan perampokan sumber daya alam. Itu adalah sebagai contoh tak
mungkin untuk mengabaikan fakta bahwa hari ini, disamping kenyataan bahwa
kekuatan produksi telah berlipat ganda sejak abad terakhir dan kita telah
memasuki fase sebuah revolusi dalam teknologi informasi dan cybernet, orang
masih bekerja 8 jam sehari di utara dan jauh lebih lama di selatan. Hal ini
masuk akal karena pasti penganguran ketika seseorang dipaksa untuk bekerja dua atau tiga. Ini di dalam kapasitas setiap
pekerja untuk menyadari bahwa hari kerja tak dipotong paling tidak tiga atau
setengahnya. Di Amerika Latin, privatisasi terkenal yang diminta oleh World Bank
dan IMF telah memicu terjadinya pengangguran. Bagaimanapun melalui tingkatan
perkembangan kekuatan produksi yang dicapai di Amerika Latin dan melalui
polarisasi kontradiksi yang tak terselesaikan di benua kita.
Kita adalah jaringan lemah di dalam rantai
Imperialis. Benua kita telah melalui banyak jalan, kita telah membuat banyak
kesalahan dari mana kita percaya kita telah belajar dan sekarang kita
menawarkan untuk membangun alternatif sosialis, karena kalau tidak, jika kita
tinggal di kerajaan globalisasi imperialis, kita terancam pengangguran, kesedihan dan pemusnahan. Hal
yang digembar-gemborkan para ekonom, sosiolog, para guru manajemen, wartawan
dan politisi borjuis adalah bahwa kita saat ini hidup dalam era sejarah baru
dimana ekonomi nasional, budaya nasional dan batas-batas kenegaraan sudah
kehilangan makna dan luntur oleh sebuah proses “globalisasi” yang cepat dan
baru.
Pusat wacana mutakhir ini adalah
klaim bahwa sebuah “ekonomi yang benar-benar global” telah muncul atau sedang
muncul dimana keyakinan kebijakan ekonomi nasional dan negara menjadi tidak
relevan. Ekonomi dunia sekarang didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang
telah meng-internasionalisasi-kan aktivitas mereka untuk semacam perluasan,
membawa produksi dan penjualan ke begitu banyak negara, dimana mereka
(perusahaan-perusahaan tsb) tak punya kesetiaan terhadap suatu negara-bangsa
secara khusus dan akan menempatkan investasi dan operasi mereka dimanapun dalam
pasar “global”, dimana mereka bisa mendapatkan penghasilan tertinggi. Modal
besar sekarang begitu tanpa kaki dan sangat luwes (mobile-pentj) sehingga usaha
apapun yang dilakukan pemerintah-pemerintah nasional atau gerakan buruh di
suatu negara untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan peningkatan
biaya produksi akan menyebabkan para investor melarikan modalnya dari negara
tersebut dan merelokasi (memindahkan) operasinya di tempat lain, yang biayanya
lebih murah.
Dalam gerakan buruh
argumen-argumen tersebut juga laku, dan melahirkan pejabat-pejabat serikat
buruh yang merasionalkan pentingnya kaum buruh menerima potongan gaji, kondisi
kerja dan tunjangan-tunjangan sosial dalam rangka mendapat pekerjaan. Konsep
globalisasi juga telah memenangkan persetujuan diantara mantan penganut kiri
radikal yang beralasan bahwa modal besar sekarang begitu luwes (mobile) dan kuat,
dan negara-negara nasional begitu lemah jika dibandingkannya, sehingga tidak
penting bagi kelas pekerja untuk merebut kekuasaan negara. Teranglah, jika pikiran para globalis benar lalu para
Marxis revolusioner diseluruh dunia akan dihadapkan dengan kebutuhan mengkaji
ulang secara radikal konsepsi strategik mereka. Benarkah semua itu ?
PERUSAHAAN - PERUSAHAAN
TRANS NASIONAL
Menurut Laporan Investsai Dunia
1993 yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada 37.000 perusahaan
transnasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari
perusahaan-perusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara
maju. Dengan menggabungkan data dari
berbagai sumber, seorang akademisi Inggris Paul Hirst dan Graham Thompson,
dalam buku mereka yang baru saja terbit Globalization in Question, mencatat
penjualan dan aset perusahaan-perusahaan transnasional yang maha besar
jumlahnya itu terkosentrasi di negara atau regional “rumah” mereka, “disamping
semua spekulasi mengenai globalisasi”. Bagi
perusahaan-perusahaan transnasional disektor manufaktur dengan kantor pusat
mereka yang ada di Amerika Serikat pada tahun 1987, 70% dari penjualan mereka
dan 67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat sendiri. Di tahun 1993, 67% dari penjualan
dan 73% asset mereka berada di Amerika. Sebagian besar dari sisa penjualan dan
aset mereka pada tahun 1987 dan 1993 ada di Eropa dan Kanada. Bagi
perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Amerika Serikat yang
bergerak dalam bidang jasa, 93% penjualan dan 81% aset mereka ada di Amerika
Serikat pada tahun 1987.
Bagi perusahaan-perusahaan
transnasional yang berpusat di Eropa Barat, terjadi penyebaran penjualan dan
aset mereka secara lebih luas, tetapi antara 70-90% diantaranya ada di negara
“induk” (negara asal perusahaan) dan di negara-negara Eropa Barat lainnya.
Untuk perusahaan-perusahaan transnasional yang bergerak dalam bidang manufaktur
yang berpusat di Jepang, 75% dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di
Jepang, begitu juga 97% aset mereka. Antara tahun 1987 dan 1993, terjadi
perkembangan konsentrasi aset-aset para perusahaan transnasional di negara
“induk/asal” masing-masing, ketimbang trend ke arah “globalisasi”. Dus,
perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Inggris yang bergerak dalam
bidang manufaktur memiliki 52% dari aset mereka ada di Ingris pada tahun 1987,
tetapi pada tahun 1993 aset mereka yang ada di Inggris menjadi 62%.
Perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Jepang yang bergerak dalam
bidang manufaktur meningkatkan penempatan aset mereka di Jepang dari 64% pada
tahun 1987 menjadi 75% pada tahun 1993, sementara perusahaan-perusahaan
transnasioal yang berpusat di Jepang yang bergerak dalam bidang jasa yang
menempatkan asset mereka di Jepang meningkat dari 77% pada tahun 1987 menjadi
92% pada tahun 1993. Perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di
Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang manufaktur mengalami peningkatan
penempatan aset mereka di Amerika Serikat dari 67% pada tahun 1987 menjadi 73%
di tahun 1993.
Dari statistik di atas kita dapat
melihat bahwa, jauh dari apa yang disebut sebagai penyebaran aset dan penjualan
mereka, sekalipun menyeberangi bola bumi, justru perusahaan-perusahaan
transnasional telah memusatkan baik produksi dan penjualan komoditi mereka di
negara-negara “induk”. Dan mereka telah meng-internasionalisasikan
operasi-operasi mereka ini yang dikonsentrasikan di negara-negara kapitalis
maju lainnya. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tidak merata
(uneven) dalam hal investasi langsung (Foreign Direct Investment atau investasi
langsung) dan perdagangan dalam skala global.
DISTRIBUSI
INVESTASI DAN PERDAGANGAN GLOBAL
Pada tahun 1992 total modal
investasi langsung luar negeri seluruh dunia adalah sebanyak US$2 Trilyun.
Perusahaan-perusahaan transnasional yang mengontrol modal bertanggung jawab
atas penjualan sebesar US$5.5 Trilyun di seluruh dunia. 100 perusahaan
transnasional terbesar di dunia memiliki sepertiga dari modal ini. 60% dari
investasi langsung luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
transnasional adalah berhubungan dengan sektor manufaktur, 37% jasa dan hanya
3% dengan output produk-produk primer, seperti bahan mentah dari tambang dan
pertanian. Distribusi modal investasi langsung luar negeri secara geografis
sungguh-sungguh tidak merata. 75% diantaranya berlokasi di negara-negara
kapitalis maju, secara prinsip di Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yang
tertacat hanya 14% dari populasi penduduk dunia. 25% yang menjadi sisa dari
investasi langsung luar negeri, 66%nya ditempatkan di 10 negara “sedang
berkembang” yang utama --Argentina, Brazil, China, Hong Kong, Malaysia, Mexico,
Korea Selatan, Taiwan, Thailand dam Singapura. Negara-negara ini tercatat
merupakan populasi 29% dari penduduk dunia. Namun, dengan termasuknya China
didalamnya, dengan populasinya yang 1,2 Milyar orang, statistik ini
menggambarkan underestimasi mengenai ketidakmerataan yang riil dalam hal
distribusi investasi langsung luar negeri secara global. Investasi luar negeri
langsung mengalir ke China sangat terkosentrasi di propinsi-propinsi pesisir,
plus Beijing. Jika ini dimasukkan sebagai faktor, nampak bahwa 91,5% dari modal
investasi asing langsung global terkosentrasi di wilayah-wilayah bumi ini yang
hanya dihuni oleh 28% penduduk.
Selain itu ada juga
ketidakmerataan secara geografis dalam hal arus investasi luar negeri secara
langsung. 60%
dari investasi internasional mengalir di antara “Trio” imperialis Amerika
Utara, Eropa Barat dan Jepang. Dari sisanya 40% dari aliran investasi langsung luar
negeri --sekitar US$34 Milyard di tahun 1990-1993-- 56% nya pergi ke Asia Timur
dan 32% nya ke Amerika Latin. Bukan hanya negara-negara imperialis Amerika
Utara, Eropa Barat dan Jepang,yang merupakan organisator dan tujuan utama
investasi langsung luar negeri, pola aliran investasi langsung luar negeri
negara-negara non-Triad juga memperlihatkan pola yang amat terkosentrasi. Dus,
begitu besar investasi langsung luar negeri negara-negara non-Triad dari US
megalir ke Amerika Latin. Bagi investasi luar negeri non-triad yang bersala
dari Jepang, Asia timur adalah tujuan utama. Bagi investasi langsung luar
negeri Eropa Barat untuk negara-negara non-Triad, tujuan utamanya adalah Eropa
Timur, Brazil, Afrika Utara dan Barat.
Kosentrasi secara geografis dalam
hal akumulasi modal dan aliran investasi langsung luar negeri dapat
diparalelkan dengan ketidakmerataan secara geografis dari pola perdagangan
global. Pada tahun 1992, total ekspor seluruh dunia adalah US$3.7 Trilyun. 69%
dari ekspor seluruh dunia pergi ke anggota negara-negara Triad imperialis dan
selanjutnya 14% dari seleuruh ekspor dunia menuju ke 10 besar Negera Dunia
Ketiga terpenting dalam term aliran investasi langsung luar negeri. Berarti,
84% dari perdagangan seluruh dunia adalah hanya diantara wilayah-wilayah bumi
yang hanya dihuni oleh 28% penduduk.
MARGINALISASI
NEGARA-NEGARA TERBELAKANG
Dalam kata lain, sebagian besar
mayoritas negara-negara di dunia, yang dihuni oleh hampir tiga per empat
penduduk dunia --sekitar 3,8 Milyar orang-- tidak hanya dihapus dalam peta
ketika menyangkut investasi langsung luar negeri, mereka juga secara lengkap
termarjinalisasi senpanjang menyangkut perdagangan dunia. Jalan utama dimana
mereka “terintegrasi” ke dalam ekonomi kapitalis global adalah melalui laporan
pembayaran sebesar US$40 Milyar yang mereka buat dalam pembayaran dan servis
hutang bagi bank-bank dan pemerintahan anggota Triad imperialis. Tetapi dalam pengelolaan hutang, mereka memberikan
tanggungjawab besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial, sekalipun hutang ini
hanyalah merupakan bagian marjinal dari hutang seluruh dunia. Pada tahun 1990,
jumlah keseluruhan dari hutang yang dimiliki pemerintah-pemerintah lokal dan
pusat, bisnis rumah tangga dan non-finansial di seluruh Amerika Serikat sendiri
adalah sebesar US$10,6 Trilyun --hampir 10 kali total hutang negara-negara
Dunia Ketiga.
Dus, bagi mayoritas penduduk bumi
ini, tempat mereka dalam pasar “global” mirip propinsi-propinsi terbelakang
imperium Romawi pada masa epos kemunduran dan kehancuran corak produksi (mode
of production) perbudakan --dirampok dan dimiskinkan untuk memperkaya
orang-orang yang berkuasa dan kaya yang tinggal di pusat imperium. Contoh di atas mengambarkan distribusi investasi langsung
luar negeri, perdagangan, aset dan penjualan dari perusahaan-perusahaan
transnasional yang memperagakan, bagi segala maksud dan tujuan tersebut,
negara-negara imperialis yang menyatakan keanggotaan ekonomi “global”, jika
entitas semacam itu dapat benar-benar dinyatakan untuk eksis. Ekonomi kapitalis dunia terstruktur meliputi tiga blok
persaingan perdagangan dan investasi yang terpusat di negara-bangsa imperialis,
yaitu Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang. Kekuasaan mayoritas
perusahaan-perusahaan transnasional “masih hanya” beroperasi di sejumlah kecil
negara --secara prinsip di negara-negara “induk” mereka dan di negara-negara
“berupah tinggi” lain diantara Triad imperialis.
Bertentangan pernyataan yang
dibuat oleh para penganjur thesis globalisasi, perusahaan-perusahaan
transnasional tidak mengarahkan investasi mereka ke daerah-daerah dimana upah
buruh paling murah. Tidak ada dorongan besar perusahaan-perusahaan
transnasional yang berbasis di Jerman, dimana rata-rata tingkat upahnya sebesar
$25 per jam, ke cabang-cabang industri di India yang tak ada serikat buruhnya,
dimana tingkat upah rata-ratanya hanya 40 Sen per jam. Faktanya, investasi
langsung luar negeri dari perusahaan-perusahaan transnasional sektor manufaktur
secara meningkat diarahkan ke cabang-cabang industri dengan tingkat pembelanjaan
modal tetap tinggi, dengan tenaga kerja yang lebih sedikit tapi lebih terlatih
(sklilled), dan dengan demikian tingkat upahnya relatif lebih tinggi (semisal
industri kimia, otomotif dan elektronik) dan menjauh dari cabang-cabang
industri yang ber-skill rendah, upah-murah dan padat karya semacam tektil,
pakain dan sepatu.
‘DIVERGENSI’,
BUKAN ‘KONVERGENSI’
Dalam Laporan Pembangunan Dunia
1995, Bank Dunia memperingatkan “ adalah bodoh jika memprediksikan bahwa
perbedaan antara negara-negara kaya dan miskin akan secara cepat hilang melalui
konvergensi, ataupun meningkatkan (upward) ( standar upah dan kondisi hidup
negara-negar miskin menjadi sama dengan yang di negara-negara maju) atau
menurun (sebaliknya)”. “Konvergensi”, begitu
ditulis dalam laporan tersebut, “ adalah sebuah catatan yang ditujukan kepada
para ekonom, yang mendogma pada teori [maksudnya, teori mengenai persaingan
sempurna dalam wilayah tingkat-permainan dimana semua pemilik komoditas
seimbang --DL], dan dibenci oleh kubu populis di negara-negara kaya, yang
melihatnya sebagai ancaman bagi pendapatan mereka. Pengalaman yang lalu,
bagaimanapun, dukungan ataupun harapan terhadap yang terdahulu atau ketakutan
terhadap yang berikutnya...”Diatas segalanya, divergensi, bukan konvegensi,
telah menjadi hukum...”. Lebih jauh : rata-rata
pendapatan per kapita negara-negara kaya adalah 11 kali pendapatan per kapita
negera-negara miskin pada tahun 1870, meningkat menjadi 38 kali pada tahun
1965, dan 58 kali pada tahun 1985.
Diantara sekitar jumlah tenaga
kerja global sebesar 2,5 Milyar orang, 59% sekarang berada di tempat yang oleh
Bank Dunia golongkan sebagai “negara-negara dengan upah murah”, 27% di
“negera-negera dengan upah menengah” dan hanya 15% yang tinggal di
“negara-negara dengan upah mahal”. Itu adalah proyeksi 30 tahun lalu, hanya 10%
dari tenaga kerja global yang akan tinggal di “negara-negara dengan upah
mahal”. Disamping itu, laporan Bank Dunia tersebut menjatuhkan ide bahwa sebuah
“pasar bebas” global yang “terintegrasi’ pasti akan menghasilkan kenvergensi
bagi para buruh seluruh dunia. Berikut adalah contoh tipikal dari laporan
tersebut: Cerita-cerita mengenai hilangnya
integrasi sering menjadi headline: bagaimana Joe kehilangan pekerjaan karena
persaingan dengan orang-orang miskin Mexico seperti Maria, dan bagaiaman upah
dia (Maria) menurun karena adanya ekspor murah dari China. Tetapi Joe sekarang
mempunyai pekerjaan yang lebih bagus, dan ekonomi Amerika Serikat telah
mendapat untung dengan adanya ekspor yang meluas ke Mexico. Standar kehidupan
Maria telah meningkat, dan anaknya dapat mengharapkan masa depan yang lebih
baik. Produktifitas dua pihak buruh tersebut meningkat dengan adanya
peningkatan investasi, bagian yang terdanai dengan meningkatkan tabungan buruh
di negara lain, dan dana pensiun Joe akan dibayar lebih tinggi melalui
kesempatan diversifikasi dan investasi baru.
Laporan yang sama, ternyata,
secara faktual menyatakan: “Ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan,
antara kelompok-kelompok etnik, dan antara wilayah geografis secara khusus
bersifat kekerabatan...Wilayah miskin, semacam negara bagian Chiapas di Mexico,
selalu tetap miskin secara relatif sekalipun ekonomi seluruh dunia meningkat”! Cerita singkat Bank Dunia mengenai Joe dan Maria, tentu,
tidak menceritakan kepada kita mengenai sesuatu hal yang realistis terhadap
kehidupan umumnya seorang “Joe” di Amerika Serikat ataupun kehidupan umumnya
seorang “Maria” di Mexico. Ini memang sengaja dirancang untuk mengaburkan fakta
bahwa daya beli dari upah buruh-buruh non-supervisory di AS telah jatuh sejak
tahun 1973 sampai pada level tahun 1950an, dan rata-rata upah riil di Mexico
jatuh hampir 50% selama tahun 1980-an dan standar hidup mayoritas rakyat Mexico
sekarang lebih rendah dibanding sebelum Perang Dunia II dulu.
INTERNASIONALISASI
MODAL
Tak diragukan lagi, ada tendensi
yang kuat ke arah internasionalisasi modal pada beberapa dekade terakhir ini.
Munculnya perusahaan-perusahaan transnasional akhir-akhir ini sebagai bentuk
dominan organisasi modal besar dibawah kapitalisme monopolis mutakhir adalah
buktinya. Tetapi untuk memahami dinamika riil dari tendensi ini adalah penting
sekali untuk tidak mengacaukan antara internasionalisasi produksi dan penjualan
komoditi (misalnya, internasionalisasi produksi dan realisasi nilai lebih
(surplus value) dengan internasionalisasi kekuasaan mengendalikan modal
(misalnya, sentralisasi secara internasional terhadap modal).
Internasionalisasi realisasi
nilai lebih, misalnya internasionalisasi penjualan komoditas, adalah sebuah
tendensi yang sifatnya inheren dalam kapitalisme, tetapi ia telah berkembang
sangat berbeda dalam sejarah corak produksi ini. Dengan perkataan yang lebih
luas, internasionalisasi meningkat dari sejak awal abad 19 sampai permulaan
Perang Dunia I (waktu itu, ekspor meningkat dari dari 3% dari out put seluruh
dunia pada tahun 1800 menjadi 33% pada tahun 1913). Ini jatuh lagi selama
gelombang depresi panjang yang menyebabkan tahun-tahun dua Perang Dunia dari
1913 sampai 1939. Kemudian mulai mendaki lagi pada periode setelah Perang Dunia
II –meskipun pendapatan perkapita dan nilai ekspor relatif sebelum masa PD I
tidak dapat dicapai sampai tahun 1973. Sebelum
Perang Dunia II, hanya ada internasionalisasi yang sifatnya marginal dalam hal
produksi nilai lebih, diluar bahan mentah utama. Berarti, sangat sedikit
perusahan besar yang membelanjakan modal konstan dan variabel nya diluar
negara-negara “induk” mereka. Ini mulai berubah setelah Perang Dunia II, karena
perusahaan-perusahaan besar berbasis di negara-negara kapitalis maju
--terutama, perusahaan yang berbasis di AS-- mulai menginvestasikan dalam
bidang manufaktur di luar negeri, atau dengan cara mendirikan
perusahaan-perusahaan yang dimiliki anak cabang mereka di negara asing atau
melalui cara membeli perushaan-perusahaan manufaktur asing. Sejak tahun
1960-an, ini telah mulai menjadi fenomena umum bagi pemodal besar di seluruh
negara-negara kapitalis maju, yang mana untuk pertama kalinya secara aktual
mencetak semuah frame-work internasional dengan cepat bagi persaingan modal.
Namun demikian, pembelanjaan
internasionalisasi modal adalah tidak perlu kongruen (sama) dengan
internasionalisasi kepemilikan modal, yakni fusi modal-modal dari berbagai
bangsa menjadi perusahaan-perusahaan multinasional yang tulen, misalnya,
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh kapitalis dari berbagai bangsa dimana
kewenangan mengatur modal perusahaan tersebut tidak berada dalam tangan
kapitalis satu bangsa tertentu. Diluar Eropa Barat, ada sedikit bukti bahwa
fusi modal internasional semacam itu sudah atau sedang mulai.
KEKUASAAN
NEGARA DAN PERSAINGAN ANTAR-IMPERIALIS
Jika benar-benar ada proses fusi
modal besar secara internasional kita akan dapat melihat suatu dalil menurunnya
persaingan antar-imperialis, yakni, perbedaan kepentingan ekonomi di antara
pemilik-pemilik modal dari berbagai bangsa akan cenderung menghilang dan ini
akan mencerminkan menurunnya penggunaan kekuasaan negara-negara imperialis
untuk mempertahankan dan memperluas kepentingan kelompok-kelompok kapitalis
nasional (AS, Eropa dan Jepang) unutk melawan satu sama lainnya. Sekalipun
dalam kasus semacam ini,tentunya, kekuasaan negara imperialis akan tidak saja
sekedar “melenyap”. Yang akan melenyap adalah peranannya sebagai sebuah
instrumen persaingan antar-imperialis. Peranan negara sebagai pusat pertahanan
kepentingan bersama dari para pemilik modal imperialis dalam perjuangan kelas
antara modal dan tenaga kerja akan lantang dibandingkan sebelumnya. Lagi, tak
ada bukti perihal adanya kemunduran peranan negara-bangsa imperialis sebagai
senjata persaingan antar-imperialis. Sebaliknya, semenjak akhir perang dingin
telah terjadi intensifikasi penggunaan kekuasaan negara imperialis, khususnya
oleh para kapitalis AS, untuk meningkatkan kepentingan ekonominya melawan rival
mereka dari Jepang dan Eropa Barat. Contoh yang paling besar adalah konflik
dalam hal perjanjian Helms-Burton dalam Kongres AS. Perjanjian tersebut
mengijinkan mantan para pemilik perusahaan yang diambil alih oleh negara
Pekerja Kuba untuk memboikot perdagangan luar negeri dengan Kuba sebagai
kompensasinya. Ini tidak hanya mendorong gelombang protes dari
pemerintah-pemerintahan imperialis lain, yang telah menolak menyetujui sanksi
hukum terhadap cabang-cabang perusahaan AS di negara-negara masing-masing.
Undang-undang Helms-Burton tidak
sekedar membantu dalam hal mengetatkan blokade ekonomi AS terhadap negara
sosialis Kuba. Ini dirancang oleh para lawyer dari perusahaan penyulingan
alkohol Bacardi, yang terkenal dengan rum putihnya (non-Kuba). Sasaran utama
Bacardi adalah perusahaan Pernod-Richard dari Perancis, yang telah melakukan
negosiasi yang menghasilkan deal-deal besar bagi Kuba untuk menyediakan
sulingan rum bagi operasi pemasaran di seluruh dunia .
Persaingan ekonomi terbuka antara
perusahaan-perusahaan transnasional AS dan Eropa Barat juga berakar pada
perjanjian D’Amato-Kenedy yang menyetujui sanksi pengadilan AS terhadap
perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi dan perdagangan untuk bidang
minyak dengan Iran dan Libya. Perusahaan-perusahaan ini termasuk Total dari
Perancis, konglomerat minyak dan gas Italia Agip, Petrofina dari Belgia dan
Verba dari Jerman. Perusahaan lain yang jadi sasaran adalah ENI, perusahaan
negara Italia yang bergerak dalam bidang energi, yang telah menginvestasikan
sebanyak US$6 Milyar dalam pembangunan pipa gas Libya. Dalam menanggapi isi
perjanjian D’Amato-Kennedy oleh Kongres AS, Komisi Eropa menerapkan sebuah
“black list” perusahaan-perusahaan AS untuk dijadikan sasaran untuk sanksi
balasan oleh pengadilan-pengadilan di Eropa. Konflik dan rivalitas antara
imperialis AS dan Perancis secara terbuka termanivestasikan dalam kejadian
baru-baru ini di Zaire. Selama Perang Dingin, Washington, yang mana menjumpai
sumber dayanya macet di tempat lain, tunduk pada kelanjutan militerisme Perancis,
dominasi diplomasi dan ekonomi pada bekas koloninya di Afrika. Tetapi, dengan
berakhirnya Perang Dingin, Washinton tidak mau lagi membiarkan modal Perancis
mempunyai akses istimewa atas negara-negara yang kaya tambang di kawasan Afrika
Francofon seperti Zaire. Sejak jatuhnya rejim suku Hutu yang di-bekingi
Perancis tahun 1994, Washington telah meningkatkan kebencian rejim baru
terhadap Perancis untuk memperkokoh pengaruh diplomatiknya di Afrika tengah dan
timur. Washington secara terbuka menentang usaha-usaha Perancis untuk
bersama-sama menempatkan kekuatan militer yang akan melakukan intervensi di
Zaire timur guna memproteksi orang-orang Zaire dan kerabatnya dari suku Hutu
Rwanda dari serangan pemberontak Zaire. Dalam rancangan menentang rencana Perancis
tersebut, juru bicara kementerian luar negeri AS Nicholas Burns menyatakan: “
Beberapa orang di Paris nampak hidup dibawah angan-angan bahwa bagian tertentu
dari Afrika dapat dipesan atau didominasi oleh kekuatan kolonial tertentu
...Itu adalah pernyataan yang mundur jauh ke belakang. Waktunya telah lewat
saat...kekuatan asing dapat melihat keseluruhan kelompok di negara-negara lain
sebagai dominasi pribadi mereka.”
Ketika datang persaingan
antar-imperialis untuk akses terhadap pasar dan peluang investasi sama sekali
tidak ada garis pemisah antara penggunaan kekuatan hukum, diplomatik dan
militer. Dus, pemerintah AS menggunakan baik kekuatan diplomatik maupun
kekuatan militernya pada bulan September 1996 untuk membendung rencana PBB
“food for oil” untuk Irak yang merupakan inisiatif Perancis. Dibawah rencana
itu, Irak diijinkan menjual sampai $2 Milyar dari minyaknya setiap 6 bulan
dalam rangka untuk membeli makanan dan obat-obatan. Banque Nationale de Paris
yang akan menangani rekeningnya dimana hasil penjualan minyak Irak
didepositokan. Washington telah memblokade persetujuan rencana ini dengan Dewan
Keamanan PBB selama lebih dari satu tahun. Pada bulan Mei rencana ini terpaksa
disetujui. Namun, hanya menjelang rencana ini dilaksanakan, Washington menggunakan
peningkatan intervensi Bagdad dalam konflik rivalitas partai-partai borjuis
Kurdi di Irak utara untuk memproklamirkan bahwa Bagdad melanggar traktat antara
Kuwait dan Saudi Arabia. Clinton memerintahkan serangkaian serangan Amerika
dengan sasaran Irak Utara dan secara sepihak menyatakan bahwa rencana “food for
oil” PBB ditunda. Pada bulan Desember 1996, pemerintah AS membiarkan rencana
PBB tersebut dilaksanakan, tetapi dengan satu perubahan yang tidak signifikan
--sekarang hasil penjualan minyak Irak tidak akan lagi didepositokan di sebuah
bank di Paris, tetapi gantinya akan didepositokan di sebuah bank di New York.
Selama perang dingin, para
kapitalis AS menggunakan kekuasaan negara mereka, khususnya aparatus militer
mereka yang massif, untuk membela kepentingan pemilik modal imperialis melawan
ancaman pengelolaan secara kolektif oleh kekuatan negara non-imperialis,
khususnya negara pekerja. Dengan berkurangnya ancaman tersebut, para kapitalis
AS telah mulai menggunakan kekuasaan militer yang maha besar itu untuk
meningkatkan kepentingan ekonomi mereka sendiri melawan saingan imperialis
lainnya. “Tata Dunia Baru” muncul setelah kolapsnya blok Sovyet, sehingga akan
mendorong untuk semakin menampakkan diri seperti kekuasaan imperialisme klasik
pada jaman Lenin, walaupun dengan beberapa modifikasi yang penting. Yang utama
adalah kepemilikan senjata nuklir oleh kekuatan-kekuatan imperialis utama atau,
dalam kasus Jerman dan Jepang, basis teknologi untuk secara cepat mereka
miliki, membuat perang global antar-imperialis sangat tak mungkin. Hal itu
tidak termasuk, tentu saja, perang antar-imperialis yang dilokalisir yang oleh
perlawanan penguasa-penguasa non-imperialis.
Mereka yang beranggapan bahwa
perusahaan-perusahaan transnasional telah menjadi kekuasaan kolosal lintas
negara-bangsa borjuis, atau mengabaikan pertanyaan mengenai kekuasaan
negara-bangsa , membuat dua kesalahan yang fundamental. Pertama, mereka gagal
untuk memahami bahwa persaingan antar perusahaan-perusahaan transnasional yang
meningkat, akan meningkatkan pula kebutuhan perusahaan-perusahaan tersebut akan
adanya kekuasaan negara yang tangguh untuk mempertahankan kepentingan mereka
dari pesaingnya. Dalam konteks ini, segala perusahaan “satu negara”(maksudnya
perusahaan yang berasal dari negara yang sama—pentj) akan menjadi semakin
terancam oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki dukungan aparatus negara
nasional yang tangguh. Kedua, kegagalan dalam membedakan antara negara borjuis
semi-kolonial yang lemah dan negara-bangsa imperialis. Kekuasaan ekonomi yang
kolosal yang dimliki oleh perusahaan-perusahaan transnasional terhadap negara
borjuis semi-kolonial secara fakta berakar pada dukungan yang mereka terima
dari kekuasaan negara imperialis yang menjadi basis/“induk” perusahaan mereka
dalam semacam area yang krusial sebagai riset dan pengembangan yang disubsidi
negara, infrastruktur ekonomi, subsidi ekspor, dan lain-lain.
ORGANISASI-ORGANISASI
INTERNASIONAL
Tetapi bukankah telah terjadi
peningkatan “pengalihan kekuasaan” (“ceding sovereignity) pemerintah kepada
organisasi-organisasi internasional yang bertindak demi kepentingan
perusahaan-perusahaan transnasional seperti IMF, Bank Dunia dan Organisasi
Perdagangan Dunia ? Lagi-lagi kita perlu membedakan antara negara-negara
semi-kolonial dan negara-bangsa imperialis. Pemerintah negara-negara imperialis
tidak lain adalah merupakan sebuah komite eksekutif untuk mengelola kepentingan
bersama para kapitalis nasional mereka, fraksi yang dominan diorganisir di
dalam perusahaan-perusahaan transnasional. Dan adalah pemerintah negara-negara
imperialis yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan WTO, sebagaimana mereka juga
mengontrol Dewan Keamanan PBB. Di dalam IMF, misalnya, proporsi suara
berdasarkan besarnya setoran saham mereka atas sumber keuangan. Pada tahun 1990,
ke 23 negara-negara imperialis memiliki 62,7% suara sebagai tandingan 35,2%
suara yang dimiliki 123 anggota lainnya. Lima pimpinan Dewan Eksekutif Permanen
IMF dicalonkan oleh lima besar pemilik saham --AS, Inggris, Perancis, Jerman
dan Jepang.
Fungsi pokok IMF, Bank Dunia dan
WTO adalah untuk menyetir seluruh negara dalam hal kebijakan ekonomi dunia yang
telah disepakati oleh negara-negara imperialis utama. Kebijakan tersebut
diputuskan dalam pertemuan tahunan pemerintah 7 negara imperialis utama (atau
kelompok G7,pentj). Dalam pertemuan tahun 1976 mereka, misalnya,
pemimpin-pemimpin negara G7 menyetujui rencana reorganisasi ekonomi
negara-negara Dunia Ketiga melalui : pembukaan pasar dunia (dalam hal ini,
untuk mengimpor barang-barang dari negara-negara imperialis), memprioritaskan
ekspor daripada pasar dalam negeri, privatisasi BUMN-BUMN serta pemfungsian dan
membukanya bagi investasi asing (dalam hal ini : imperialis), dan pemotongan
pos-pos anggaran yang “tidak produktif” seperti pendidikan dan kesehatan.
Setelah tahun 1976, keputusan itu menjadi kebijakan yang dipaksakan bagi
negara-negara pengutang yang berasal dari Dunia Ketiga oleh IMF dan Bank Dunia.
Tujuan dari kebijakan ini adalah
untuk menancapkan pengaruh guna mendapatkan konsesi politik dan ekonomi bagi
negara-negara imperialis dan perusahaan-perusahaan transnasional yang mana
dekolonisasi dan kemerdekaan politik formal yang diberikan kepada borjuasi di
negara-negara tersebut. Dus, penerapan beberapa resep pro-export bagi semua
nagara-negara debitur (pengutang—pentj)Dunia Ketiga berarti adalah
intensifikasi persaingan diantara mereka, dengan efek yang menghancurkan harga
komoditi ekspor mereka, yang terdiri dari sebagian besar bahan mentah.
Menjelang tahun 1989, harga rata-rata produk-produk ini, diluar minyak, adalah
dibawah 33% harganya di tahun 1980.
Penaklukan kembali pasar dalam
negeri negara-negara semi-kolonial adalah juga merupakan tujuan mendasar
dibalik tekanan kekuatan negara-negara imperialis terhadap asosiasi-asosiasi
“pasar bebas” seperti NAFTA dan APEC. Penghapusan tarif impor terhadap seluruh
anggota asosiasi-asosiasi ini menghapus satu-satunya bentuk proteksi yang
tersisa oleh negara-negara semi-kolonial terhadap penetrasi pasar dalam negeri
mereka oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Tetapi negara-negara imperialis dapat
membatasi penetrasi terhadap pasar dalam negeri mereka terhadap ekspor dari
negara-negara semi-kolonial melalui menerapkan serangkaian hambatan-hambatan
non-tarif yang kokoh.
“INTEGRASI” BLOK NEGARA-NEGARA EX-SOVIET
Kebijakan yang sama telah
diterapkan kepada negara-negara yang dulunya negara sosiali di Eropa Timur dan
Eks-USSR. Mereka mengira “integrasi” ke dalam pasar kapitalis dunia
,sebagaimana sering dipuji oleh para kaum globalis yang mendukung klaim tersebut,
akan membawa mereka masuk ke era sejarah baru dimana kapitalisme sekarang telah
menjadi sebuah sistem global yang sejati. Bagaimanapun, terdapat satu cacat
kecil dalam argumen ini, negara-negara ini masih belum memiliki sistem ekonomi
yang benar-benar kapitalis. Privatisasi legal yang meluas di semua
negara-negara ini menyembunyikan fakta bahwa ekonomi mereka masih diregulasi
oleh negara dan institusi yang yang dimiliki negara daripada kepemilikan
kapital secara pribadi. Saat terjadi privatisasi
“kecil-kecilan” yang ekstensif, dengan penciptaan toko-toko kecil,
perusahaan-perusahaan kecil, dan bengkel-bengkel kecil secara cepat,
perusahaan-perusahaan industri utama di negara-negara ini masih menghadapi satu
kesulitan yang utama dalam pembentukan borjuasi, dimana mereka(borjuasi pemula
itu) berakar pada birokrasi dan kelas menengah, dan kecenderunganya mereka
sebenarnya memiliki modal yang sang sedikit dan kecil. Dalam sistem Stalinis
lama yang melakukan perencanaan yang tersentral dan sang birokratis, uang
adalah satu income, antara lain, uang bisa membeli barang-barang konsumsi, tapi
tidak pernah menjadi kapital atau modal, antara lain seperti, untuk digunakan
dalam mengontrol produksi, tidak juga dapat diakumulasi seperti modal
(money-capital). Mekanisme pasar secara parsial yang ada tidak mengesankan
adanya disiplin anggaran dalam perusahan-perusahaan. Di USSR, dimana hal itu
sangat sering terjadi, para manajer tidak memahami neraca keseimbangan
perusahaan mereka yang akan menunjukkan keuntungan dan kerugian mereka.
Sebagai tujuan untuk mengatasi
problem modal riil, untuk “mengkapitalisasi tanpa sang kapitalis”, dan unutk
melegitimasi perpindahan kepemilikan publik ke pemilikan pribadi, Republik
Czech mengawalinya dengan disrtibusi massal kupon privatisasi ke masyarakat,
mengijinkannya untuk di gunakan sebagai saham perusahaan yang diperjualbelikan
melalui bank-bank yang mengelola dana privatisasi. Dengan adanya “Kupon
Privatisasi” Perdana Menteri Czech Vaclav Klaus mendeklarasikan bahwa
privatisasi perekonomian negaranya telah komplit, bahkan lebih dari separo GDP
negaranya dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki dana itu.
Bagaimanpun, adalah negara sebagai pemilik bank, yang mendominasi pengelolaan
dana tersebut.
Di Polandia, dimana adalah bekas
negara sosialis pertama yang memulai proses privatisasi secara besar-besaran,
banyak pengamat ekonomi yang menyimpulkan bahwa jalan untuk menuju kapitalisme
baginya masih sangat panjang. Basis dari argumen mereka adalah perekonomian
Polandia belum ditegaskan, dikontrol dan diregulasi oleh modal pribadi (private
capital). Regulator utama masih tetap dipegang oleh negara, yang diteruskan
dengan redistribusi samapi dengan 80 % GDP. Seperti negara-negara ex-blok
Soviet, di Polandia sektor swasta sangat tergantung dengan sektor-sektor yang
dikuasai oleh negara. Menurut pengamatan Jan Sylwestrowicz yang di majalah
Labour Focus di musim gugur tahun 1995 : Program
privatisasi secara fundamental dibiayai oleh negara. Adalah negara, dan
sektor-sektor ekonomi yang dikuasai negara, yang men-support program
privatisasi., yang berfungsi sebagai sebuah mekanisme pendukung yang besar
untuk menyelamatkan sektor swasta. Meskipun akumulasi primitif telah berjalan,
sektor swasta masih belum mampu unutk selamat jika tidak ada peringanan pajak,
dipenuhinya kebutuhan sektor swasta oleh sektor-sektor industri yang dimiliki
negara, harga sewa yang murah untuk pabrik-pabrik dan mesin-mesin yang dimiliki
negara, kredit-kredit istimewa dari bank-bank negara, subsidi langsung maupun yang
tidak langsung bagi sektor perbankan/finansial swasta, kemudahan pengurusan
ijin ekspor/impor, jaminan negara untuk operasi perdagangan dll. Lebih lanjut,
kebijakan-kebijakan yang di keluarkan negara (terutama tingkat suku bunga dan
tingkat nilai tukar) telah memicu terbunuhnya sektor swasta oleh operasi
spekulan yang simpel…Dan efeknya, pemerintahan Polandia bekerja bagaikan sebuah
mesin pemompa panas yang besar, memompa keluar sumber daya yang dikuasai sektor
publik untuk dimasukkan ke sektor swasta. Melalui berbagai macam mekanisme
kebijakan dan peranannya sebagai juru penengah langsung (direct
intermediation), negara kenyataannya telah menjadi administratur dari bagian
kerja perekonomian swasta yang baru.”
Dan faktanya, sebagaimana
disampaikan oleh Sylwestrowicz, satu-satunya sektor swasta yang mampu hidup
secara mandiri tanpa bantuan pemerintah adalah mafia Polandia, yang telah
menjadi pemain utama dalam “perdagangan luar negeri” Polandia, yang
pekerjaannya mencuri mobil di negara-negara eropa timur dan kemudian dijual
dengan murah di eropa barat dan timur. Jumlah mobil yang telah melewati
tangan-tangan mafia pada tahun 1993 diperkirakan mencapai 300.000 unit- hampir
sama dengan output pabrik-pabrik mobil di Polandia sendiri. Ketika privatisasi
menyebabkan bertambahnya kekayaan para birokrat-birokrat tua dalam
negara-negara ex-blok Soviet, yang kesemuanya didapatkan dari pencurian dan
peramporkan aset-aset ekonomi negara. Namun kekayaan itu tidak
ditransformasikan menjadi kapital riil. Bahkan, kekayaan itu mereka pergunakan
untuk memberi barang-barang mewah yang berasal dari eropa barat, atau diikutkan
dalam aktivitas-aktivitas spekulatif yang ada di pasar finansial eropa barat.
Tidak ada perubahan fundamental
dalam hubungan lama antara buruh perusahaan yang dibawa oleh privatisasi. Hal
yang sama juga terjadi di Rusia “Kapitalisme” di Rusia Di tahun 1994 lebih dari 39.000 perusahaan-perusahaan
Rusia yang sudah diswastakan terjerat oleh hutang yang sangat kronis dan
tingkat hutang yang ada di perusahaan-perusahaan itu mencapai 100 trilyun
rubel. Meskipun begitu, meluasnya penutupan pabrik-pabri,
kebangkrutan-kebangkrutan dan pemecatan besar-besaran tidak atau belum terjadi.
Sebuah penelitian yang baru-baru ini diadakan oleh ILO, yang berbasiskan pada
pengambilan sampel di 400 perusahaan di Rusia, memperkirakan bahwa perusahaan
ini yang memperkerjakan 35 % dari keseluruhan buruh di Rusia tidak dapat di
tutup tanpa berperangaruh ditingkatan produksi. Tapi sebagaimana diamati oleh
Bob Arnot melalui sebuah survei pada musim panas tahun 1995 yang dimuat dalam
Labour Focus on Eastern Europe : “ Proses reformasi dan
privatisasi tidak merusakkan ketergantungan dalam hubungan buruh dan
perusahaan. Hubungan yang berubah itu, dalam beberapa hal, malah meningkatkan
ketergantungan. Para pekerja terikat dengan pabriknya karena adanya penghasilan
yang tidak berbentuk uang yang disediakan oleh perusahaan, dan semuanya itu
sangat dibutuhkan oleh buruh untuk kegiatan konsumsi. Perusahaan masih
menyediakan, meskipun berbeda-beda derajatnya, subsidi untuk kantin,
transportasi, sembako, barang-barang konsumsi, perumahan, pendidikan, dan
fasilitas untuk anak-anak. Kegiatan kerja mungkin
telah berkembang, diferensiasi penghasilan mungkin meningkat, dan mungkin ada
kegiatan spekulasi finansial dalam jumlah besar, namun kekuatan buruh masih
belum menjadi sebuah komoditi. Kerja masih belum menjadi kegiatan “bebas”
seperti yang ada dalam “dual sense”-nya Marx. Proses reformasi mungkin telah
merubah bentuk dan sifat-sifat ketergantungan dalam hubungan buruh-perusahaan,
namun proses tersebut masih belum mampu untuk melenyapkannya. Kemunduran yang
berkelanjutan dan yang mengakibatkan kolaps dalam proses produksi menggambarkan
bahwa proses kapitalisasi ini masih belum berhasil. Privatisasi, dan dalam
bentuk-bentuk lainnya, belum diikuti dengan restrukturisasi, dan penutupan
dalam skala besar masih belum menghasilkan apa-apa, karenanya strutur tua
industri/produksi masih tetap berdiri kokoh. Proses reformasi belum mengarah
pada akumulasi modal domestik dan percepatan dalam eksploitasi kerja buruh,
malahn proses tersebut mengobrak-abrik akumulasi modal di masa lalu (past
accumulated wealth), disertai dengan adanya capital flight, yang disponsori
oleh mantan kelompok-kelompok penguasa, wiraswastawan baru dan elemen-elemen
kriminal…”
Arnot menyimpulkan apa yang
terjadi di Rusia sama dengan apa yang terjadi di bekas negara-negara blok
Rusia, sebagaimana dia menulisnya :
“Kekuatan negatif dari
populasi kelas pekerja telah menghalangi proses reformasi dari awal. Faktanya
adalah tidak ada kepemilikan kelas ataupun sebuah struktur sosial yang dapat
dengan jernih dan tidak ambigu untuk mendukung proses marketisasi, bahkan yang
ada mereka yang memperburuk keadaan. Para institusionalis akan berargumen bahwa
dengan sebuah kerangka kerja institusional yang benar sebuah ekonomi pasar
dapat diciptakan. Tapi institusi merefleksikan dasar ekonomi-politik dan
kepentingan kelas dan jika hal tersebut adalah satu-satunya cara utnuk
mewujudkan perekonomian pasar, maka institusi yang diciptakan akan menjadi
sebuah kulit belaka. “ Perjalanan kita masih teramat jauh dari keadaan dimana
sebuah perekonomian pasar, mode produksi kapitalis, menjadi fenomena yang
mengglobal.
MOBILITAS GLOBAL MODAL
Barangkali argumen utama dalam
mendukung thesis globalisasi adalah banyaknya berbagai modal uang yang terjadi
dalam transaksi saham internasional, obligasi dan mata uang. Tehnologi
komunikasi elektonik berarti bahwa jumlah uang/modal yangbegitu besar ini dapat
ditransfer ke seluruh dunia dengan sekejap. Pergeseran terkombinasi pada
sebagian besar pasara modal dalam satu hari adalah equivalen (atau
setara—pentj) dengan pergeseran dalam perdagangan internasional dalam satu
tahun. Kesamaannya adalah kebenaran transaksi dalam pasar uang utama. Tetapi
fakta yang berlainan ini mengindikasikan bahwa lebih dari 90% dari
transaksi-transaksi ini berbasis pada gerakan “mengambang” uang kertas, yakni,
secara esensial bersifat spekualtif. Persamaan tersebut benar untuk jumlah
modal uang yang besar yang diinvestasikan di pasar saham dunia. Semenjak “crash” pasar modal pada Oktober 1987, jumlah
uang kertas yang diinvestasikan di saham-saham perusahaan telah meningkat lebih
dari 25% di Itali dan Kanada, lebih dari 50% di AS, Jerman, dan Inggris serta
lebih dari 100% di Perancis. Ini telah menghasilkan peningkatan yang tak
terprediksikan dalam harga saham. Tentu, semakin tinggi harga suatu saham
perusahaan, semakin rendah nilai relatif dividennya --pembagian keuantungan
dari produksi yang didistribusikan kepada setiap pemegang saham. Dalam
realitasnya, hanya sedikit investor akhir-akhir ini yang membeli saham dengan
tujuan mendapat bagian keuntungan sebuah perusahaan yang dihasilkan melalui
produksi dan penjualan komiditinya. Poin dari jual beli di pasar modal adalah
spekulasi, menjual dan membeli saham di perusahaan-perusahaan --sembarangan
perusahaan-- dengan harapan menghasilkan keuntungan yang cepat dengan
memprediksikan bilamana orang-orang lainnya akan membeli dan menjual nya besok,
atau dalam lima menit mendatang.
Bagian yang terpenting dari uang
kertas yang “mengambang” ini berisi apa yang disebut Marx sebagai modal
“fiktif” atau “imajiner” yang berlawanan dengan realitas, produktif, komoditi,
dan modal. Obligasi pemerintah, contohnya, mewakili titel legal atas sebuah
bagian dari pendapatan pemerintah di kemudian hari, misalnya, dari sektor
perpajakan. Modal-uang yang digunakan untuk belanja negara salah satunya
diperoleh dari penjualan obligasi dan obligasi itu diperjualbelikan oleh
negara, misalnya, ia telah menjadi pinjaman bagi pemegang obligasi tersebut.
Tetapi karena pemegang obligasi menerima bunga dari pinjaman ini, dan dapat
menjualnya sebagai komoditi, kemudian obligasi tersebut berlaku sebagai modal.
Sebagaimana yang digarisbawahi Marx dalam Bab 30 pada Volume 3 Das Kapital, “
Surat Pengakuan utang ini yang ditujukan untuk sebuah peminjaman (pemberian
utang) tapi ketika diperjualbelikan, surat ini membiakkan modal yang tak tampak
(annihiliated capital), yang berfungsi untuk dimiliki sebagai modal sejauh
surat tersbut bisa diperjualbelikan selayaknya sebuah komoditas dan bisa
dirubah menjadi modal” (K. Marx, Capital, Penguin, London, 1991 edn,
Vol.3,p.608).
Saham dalam perusahaan-perusahaan
bermodal gabungan adalah titel kepemilikan modal yang riil. Tetapi sebagaimana
yang digarisbawahi oleh Marx, “Mereka tidak bisa mengontrol modal yang ada”
karena “modal tersebut tidak bisa ditarik kembali” sejak modal atau saham itu
terikat dalam bangunan, mesin, bahan mentah, dan sebagainya. “Tetapi [demikian Marx menambahkan] titel ini nampak
menjadi kertas duplikat modal riil, seolah-olah sebuah bill of lading (sebuah
perintah pengambilan kargo --DL) yang secara simultan mencerminkan sebuah nilai
dari kargo tersebut. Mereka menjadi nominal yang mewakili modal tak-eksis. Bagi
modal yang secara aktual eksis sama halnya, dan tidak ada perpindahan tangan
jika duplikat ini dijual-belikan. Ini menjadi bentuk modal tanpa-bunga karena
tidak hanya membuahkan suatu pendapatan tertentu tetapi nilai modal yang
diinvestasikan didalamnya dapat dibayar ulang dengan penjualannya. Sejauh
akumulasi dari sekuritas ini mencerminkan sebuah ekspansi rel-rel kereta api,
pertambangan, kapal uap, dll., Ia mencerminkan sebuah ekspansi sebuah proses
reproduksi yang aktual...Tetapi sebagai sebuah duplikat yang mana oleh mereka
sendiri dapat dipertukarkan selayaknya komoditi, dan , sementara itu sirkulasi
sebagai nilai modal, mereka impikan, dan nilai mereka dapat naik dan turun
secara cukup independen terhadap gerakan nilai modal aktual terhadap apa yang
mereka titelkan...” aba dan rugi yang
merupakan hasil fluktuasi dalam harga dari kepemilikan titel ini ..adalah
alamiah dalam kasus tersebut semakin banyak hasil dari gambling.
Begitu bermacamnya gunung-gunung
modal ilusi tersebut yang telah terjadi adalah terhalang oleh sebuah grafik.
Menurut Financial Times terbitan London pada tanggal 21 Maret 1994, nilai
nasional kontrak masa depan (yakni, perlindungan kontrakan terhadap dan
mengantisipasi gerakan masa depan harga-harga komoditi pertanian, indikasi
pasar modal, jumlah tingkat bungan dan tingkat pertukaran mata uang) yang
diperdagangkan di seluruh perdagangan dunia telah mencapai jumlah US$14 Trilyun
setiap tahun. Tentu, spekulator yang sama akan menggunakan dengan baik tingkat
yang sama dalam beberapa operasi yang sama suksesnya, sehingga laporan yang
aktual mengenai perdangan di masa yang akan datang mungkin seperlima atau
sepersepuluh jumlah ini. Tetapi sekalipun itu adalah sebuah grafik yang
mengagetkan jika dibandingkan dengan jumlah total modal riil, tidak termasuk
real estate, ini secara adalah kepemilikan-pribadi di seluruh dunia yang
dihitung oleh Bank Chase Manhattan sebanyak US$10 Trilyun pada tahun 1993.
Pertumbuhan yang mengerikan
jumlah uang kertas “mengambang” telah dipicu oleh berbagai macam ekspansi
hutang oleh negara, perusahaan dan rumah tangga yang diperoleh melalui kredit
bank yang terjadi sejak permulaan gelombang depresi panjang pada awal 1970an.
Sebab mendasar sistem spekulatif yang membengkak ini adalah berbagai macam
ekses kapasitas produktif (yakni, overproduksi aktual dan potensial dari
komoditi-komoditi) yang membelenggu sebagian besar industri di seluruh dunia.
Modal baru tetap saja terbentuk oleh profit yang dihasilkan setiap tahun yang
tidak lama kemudian menemukan kesempatan investasi yang cukup aman
setidak-tidaknya pada keuntungan rata-rata, yang mana itu sendiri tetap
terdepresi dibandingkan level ia sendiri selama permulaan “gelombang panjang
ekspansi” dari akhir 1940-an sampai akhir 1960-an. Fakta bahwa modal ini tidak
terinvestasi secara produktif lagi menghasilkan gelombang depresi panjang
(khususnya berkurangnya lahan kerja), yang mana berubah menjadi over-akumulasi
modal, transformasi yang terus tumbuh dari modal ini menjadi kertas tanpa bunga
dan, oleh karenanya, spekulasi dalam kertas ini.
Aktivitas yang spekulatif tidak
hanya dilakukan oleh para “spekulator” profesional. Ia semakin didominasi oleh
sebagian besar bank-bank swasta besar dan perusahaan-perusahaan transnasional. Tapi berbagai macam massa kepentingan yang diterima para
spekulator adalah dikurangi dari total nilai lebih yang diproduksi waktu itu.
Oleh karenanya, fraksi dari nilai lebih tersebut, modal riil, yang disediakan
untuk investasi produksi saat itu semakin menurun. Dus, dunia telah dicuci oleh
modal illusi karena pemotongan modal riil secara relatif, dan meningkat terus. Sementara begitu besar jumlah uang kertas “mengambang”
secera konstan menjelajahi bumi, berpindah dari satu pasar uang ke yang lainnya
selama 24 jam penuh, para pemiliknya dimana pasar uang ini berada mempunyai
berbagai macam kebijakan. Karena begitu banyak aktivitas spekulatif ini yang
ditaruh dalam kredit-uang (money-credit), pemainnya sangat sensitif sekali
terhadap peningkatan tingkat suku bunga. Itulah makanya menjadi sensitif
terhadap segala perkembangan dalam ekonomi “riil” yang mana para spekulator
tersebut mungkin khawatir akankah ini membuat bank sentral di negara-negara
imperialis utama, terutama sekali Federal Reserve Board AS, akan menaikkan
tingkat bunga obligasi pemerintah.
GLOBALISASI DAN
NEO-LIBERALISME
Jika, sebagaimana telah
dijelaskan, argumen dalam mendukung tesis “globalisasi” tidak berdiri di atas
sekuritas, mengapa konsep ini telah menjadi begitu terkenal? Hirts dan Thompson
menawarkan penjelasan berikut : Retorika politik baru ini adalah didasarkan pada
liberalisme yang anti-politik. Membuat bebas dari politik, ekonomi global baru
ini membiarkan perusahaan-perusahaan dan pasar-pasar mengalokasikan
faktor-faktor produksinya sampai ke tingkat tertingginya, dan tanpa distorsi
oleh intervensi negara. Perdagangan bebas, perusahaan-perusahaan transnasional
dan pasar modal dunia telah membebaskan bisnis dari kekuasaan politik, dan
mampu menyediakan konsumen di dunia ini dengan barang-barang termurah dan
produsen-produsen yang paling efisien. Globalisasi menyadari yang cita-cita
kaum liberal mengenai perdagangan bebas pada pertengahan abad ke-19 seperti
Cobden dan Bright: ialah, dunia yang telah di-demiliterisasi dimana aktivitas
bisnis adalah yang primer dan kekuasaan politik tidak punya peran lain selain
perlindungan sistem perdagangan bebas dunia.
Bagi kaum kanan di negara-negara
industri maju rethorika mengenai globalisasi adalah merupakan sebuah takdir. Ia
memberikan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan setelah kegagalan yang
bersifat menghancurkan dalam hal eksperimen kebijakan moneter dan
individualisme yang radikal pada tahun 1980-an. Hak-hak buruh dan kesejahteraan
sosial dan praktek-praktek semacamnya di era manajemen ekonomi nasional akan menyebabkan
masyarakat Barat menjadi tidak kompetitif dalam hal hubungannya dengan
negara-negara yang baru saja mengalami proses industrialisasi di Asia dan
karenanya harus dikurangi secara dramatis. Ia, retorika mengenai “globalisasi” diperlukan untuk
memberikan legitimasi ideologis bagi usaha meneruskan kebijakan-kebijakan
ekonomi neo-liberal setelah mereka gagal memenuhi janji-janji alami mereka
mengenai pertumbuhan ekonomi yang dipertahankan dan peningkatan standar hidup.
Ini tentu saja tidak kebetulan bahwa retorika “globalisasi” menjadi trend
diantara para komentator ekonomi, sosial dan politik borjuis yang dimulai
semenjak resesi kapitalis interna sional pada tahun 1990-1993. Setelah resesi tahun 1980-1982, ada peningkatan dalam
semua negara-negera ekonomi kapitalis maju. Resep neo-liberal nampak sudah
jalan. Penerimaan oleh publik terhadap resep ini adalah yang paling luas karena
crash pasar modal pada tahun 1987 tidak segera menghasilkan resesi
harapan-harapan setiap orang. Perekonomian negara-negara kapitalis maju terus
tumbuh dan pengangguran sedikit menurun.
Tetapi lalu pada resesi 1990-1993
yang menyebabkab dampak yang lebih luas dari pada resesi yang terjadi pada
1974-1975 atau 1980-1982. Pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat
rata-rata resmi 8% di seluruh negara-negara imperialis. Perbaikan mulai lagi
dengan dinamisme besar-besaran pada tahuh 1994, tetapi dalam 18 bulan ia
kembali menguap. Pada periode tersebut semenjak akhir dari resesi, pengangguran
di seluruh negara-negara imperialis hanya menurun menjadi 7.8% menurut laporan
resmi. Argumen lama kebijakan ekonomi neo-liberal telah kehilangan
kredibilitasnya. Gantinya, argumen baru yang sedang dicari-cari untuk
meligitimasi kebijakan ini: jika kita, kamu buruh di negara-negara industri maju,
tidak menerima potongan lebih besar lagi dari gaji kita, kondisi kerja, hak-hak
kesejahteraan sosial,dan pembayaran lebih banyak lagi bagi tunjangan kesehatan
individu, tunjangan pendidikan dan tunjangan pensiun, maka negara “kita” akan
menjadi tidak kompetitif di mata “kekuatan-kekuatan yang secara bergerak
global” yang dimiliki bisnis-bisnis besar sekarang ini, dimana lalu akan
memindahkan investasi ke negara-negara yang upah buruhnya lebih murah diantara
“negara-negara industrial baru” (NICs).
Pada tahun 1980-an, kemandegan
ekonomi neo-liberal dijustifikasi dengan klaim bahwa pengorbanan kecil saat ini
akan menghasilkan lapangan kerja baru dan kesejahteraan di masa depan. Pada
tahun 1990an, di saat sangat jelas sekali bahwa tingkat pengangguran yang tinggi
tersebut merupakan sebuah masa depan kehidupan yang permanen di dalam ekonomi
“pasar bebas”, kita didongengi bahwa jika kita tetap tidak terima dengan
pemotongan dan penghematan anggaran, maka perekonomian kita akan jauh lebih
buruk di masa depan. Di dalam pasar global yang semakin kompetitif, siapa yang
tidak bekerja lebih “keras” dan menerima pendapatan mereka berkurang akan
mendapati diri mereka tidak punya pekerjaan sama sekali.
NEO-LIBERALISME DAN
KEMANDEGAN EKONOMI KAPITALIS
Tentu saja, kaum kapitalis si
penguasa negara-negara imperialis tidak punya komitmen untuk
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal karena mereka telah
terangsang oleh mitos “globalisasi”. Kebijakan ini klop dengan prioritas
perjuangan klas dari kelas penguasa.
Selama
masa-masa gelombang ekspansi panjang dari akhir 1940-an, dibawah kondisi
akumulasi modal yang cepat, dan ada kemunduran mendasar dalam hubungan
internasional kekuatan-kekuatan pada biaya-biaya penguasa imperialis (yakni,
peningkatan kekuasaan kapitalis di Eropa Timur dan Cina, munculnya perjuangan
anti-kolonial, tumbuhnya sentimen pro-komunis di antara pekerja di Eropa Barat
dan Jepang), prioritas dari kelas kapitalis di negara-negara imperialis adalah
membeli perdamaian sosial di negaranya dan mendukung kebijakan luar negeri
imperialis melalui reformasi sosial, diantaranya adalah penyediaan lapangan
kerja yang relatif penuh dan kebijaan-kebijakan pengamanan sosial memainkan
peran kunci.
Ekspansi ekonomi sendiri
menciptakan kondisi material dimana, sedikit-banyak, sistem mampu menyediakan
barang-barang. Dalam framework pertumbuhan ekonomi jangka panjang di atas
rata-rata (bagi kapitalisme monopoli), kebijakan Keynesian mengenai jaminan
full-employment selama siklus menurun melalui merangsang ekonomi melalui
peningkatan daya beli massa, walaupun ia menyebabkan sedikit inflasi, tapi
tidak akan mengancam laba kapitalis. Kelas kapitalis yang paling ideologis
berkesadaran kelas cukup terbuka untuk hal ini. Dus, Pennant Rhea, mantan
editor mingguan bisnis Ingris The Economist, menyatakan bahwa sistem
kesejahteraan paska-perang merupakan “impor dari Marxisme” yang dipaksakan
terhadap orang-orang kaya melalui perang dingin. Menjelang akhir 1970an, ternyata, menjadi jelas bagi
penguasa imperialis bahwa gelombang panjang ekspansi telah memberi jalan bagi
gelombang panjang depresi, dan itu tidak lagi memungkinkan untuk menjamin full
employment, untuk menjaga keamanan sosial dan menjamin adanya keuntungan jika
peningkatan yang lambat dalam income riil bagi pembayar upah tanpa mengancam
keuntungan kapitalis. Pada poin tersebut dorongan untuk merestorasi tingkat
keuntungan melalui peningkatan tingkat penghisapan terhadap kelas pekerja
menjadi prioritas utama penguasa imperialis.
Anti-Keneysian kontra-revolusi”
neo-liberal dalam bidang ilmu ekonomi dan sosial borjuis bukan apa-apa kecuali
hanyalah sebuah ekspresi ideologis atas prioritas yang berubah ini. Tanpa
adanya restorasi jangka panjang dari pengangguran struktural yang kronis (
yakni pengangguran permanen bagi buruh dan tenaga kerja underemployed untuk
memaksakan “disiplin” bagi buruh yang masih punya pekerjaan), tanpa restorasi
terhadap “ rasa pertanggung jawaban individual dan terhadap keluarga” atas
kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (yakni tanpa beberapa potongan bagi
keamanan sosial dan komponen-komponen lain porsi upah yang disosialkan), dan
tanpa kemandegan ekonomi yang di-generalkan (yakni, penurunan pendapatan riil
bagi kelas penerima upah), tak mungkin bisa ada restorasi atas tingkat laba
didalam lahan investasi yang produktif.
KEMUNCULAN LAGI PERLAWANAN
KELAS
Selama tahun 1980-an dan awal
1990-an, penguasa imperialis didapati telah membuat kesepakatan yang terang
dalam hal melemahkan perlawanan kelas pekerja dengan mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan tersebut. Tetapi kejadian-kejadian sejak tahun 1995 telah
mengindikasikan kelas kapitalis telah benar-benar sukses dalam hal
menghancurkan kemampuan kelas pekerja untuk memperoleh lagi kepercayaan diri,
daya pukul dan organisasinya yang diperlukan untuk menyusun pertempuran yang
defensif melawan dorongan kemandengan kelas penguasa. Dimulai dengan pemogokan buruh transportasi umum dan pos
di Perancis pada Desember 1995, telah ada kemunculan lagi daya tempur kelas
pekerja di serangkaian negara-negara industrial dan semi-industrial.
Gelombang pemogokan Desember di
Perancis tahun 1995 dipimpin oleh buruh kereta api dan digerakkan sebagai
respon terhadap usaha pemerintah memotong tunjangan sosial atas buruh kereta
api. Tetapi, pukulan pemerintah secara meluas dipahami secara secara mendasar
telah mengarahkan semua buruh Perancis dan bahkan kelas menengah strata bawah.
Pemogokan tersebut didukung oleh relli dan demonstrasi secara mingguan yang
membawa kemacetan aktivitas ekonomi secara nyata di seluruh kota-kota penting
di Perancis. Meningkat sampai dua juta orang yang berpartisipasi pada aksi
protes tersebut pada setiap akhir minggu di kota-kota kecil dan besar seluruh
negara selama 24 hari golombang pemogokan. Lalu pada tanggal 16 Oktober, dilaporkan 1,6 juta buruh
sektor publik Perancis melakukan pemogokan sehari, bersamaan dengan buruh
transportasi dan layanan publik lain, dalam protes menentang proposal, yang
sedang didebatkan didalam parlemen Perancis saat itu, untuk menghapuskan
tunjangan bagi buruh sektor publik dan pemotongan sebanyak 5.500 lapangan kerja
di sektor publik menjelang akhir tahun tersebut dalam rangkat mencapai target
anggaran untuk menciptakan sebuah mata uang tunggal Eropa pada bulan Januari
1999. Empat hari kemudian, 300.000 orang reli di seluruh Brusel dalam rangka
protes terhadap perlindungan secara diam-diam oleh politisi Belgia terhadap
lingkaran pornografi anak-anak yang menculik dan membunuh anak-anak. Seminggu
kemudian Federasi Umum Pekerja Berlgia yang dibawah pimpinan kaum sosial-demokrat
mengorganisir pemogokan selama 24 jam untuk menuntut pengenalan minggu kerja
yang lebih pendek tanpa potongan upah untuk memerangi peningkatan pengangguran.
Pada tanggal 24 Oktober, 400.000
buruh baja, buruh galangan kapal dan buruh-buruh industri manufaktur lain di
Jerman mogok melawan pemotongan gaji saat sakit. Aksi ini hanyalah yang terbesar
diantara protes-protes serupa di Jerman. Satu hari kemudian, para buruh memukul
telak terbesar di Kanada, Toronto, dalam pemogokan umum seluruh kota untuk
menolak pemotongan anggaran negara atas tunjangan kesejahteraan, pendidikan dan
kesehatan oleh pemerintah daerah Ontario. Pemogokan tersebut diikuti dengan
dengan relli dan pawai oleh 300.000 demonstran pada tanggal 26 Oktober.
Pemogokan umum Toronto hanyalah yang terbaru diantara pemogokan lima kota di
propinsi Ontario.
Pada tanggal 28 November, tiga
juta buruh berpartisipasi dalam pemogokan umum di Yunani untuk memprotes
pengumuman pemerintah partai sosdem PASOK yang baru saja terpilih yang
menyatakan akan menyapu ukuran-ukuran kemandegan ekonomi. Pada hari yang sama
ribuan petani Yunani memasang blokade-blokade jalan yang memotong negara
tersebut menjadi dua bagian. Para petani tersebut menuntut peningkatan harga
produk mereka untuk menjamin pendapatan mereka, bahan bakar yang lebih murah,
penundaan pembayaran hutang sebesar US$1,3 juta terhadap bank-bank dan menuntut
pajak yang lebih murah untuk mesin-mesin pertanian. Pada tanggal 13 Desember,
tujuh juta buruh mengadakan pemogokan selama 24 jam di seluruh kota-kota utama
di Italia dalam rangka memprotes ukuran-ukuran kemandegan oleh pemerintahan
partai coalisi Pohon Jaitun pimpinan Romano Prodi yang baru saja terpilih,
komponen utamanya adalah Partai Demokrat Kiri yang sosdem, sebelumnya disebut
Partai Komunis.
Ini semua, dan seperti aksi-aksi
oleh para buruh di Argentina, Rusia dan, sekarang, Korea Selatan adalah gejala
permulaan sebuah respon kaum buruh terhadap peningkatan serangan modal terhadap
standar hidup kelas kita, khususnya eskalasi serangan kaum kapitalis terhadap
tunjangan-tunjangan keamanan sosial.Dari Pertempuran Defensif ke arah
Pertempuran Ofensif Namun, barangkali yang paling penting diantara kasi-aksi
buruh tersebut adalah pemogokan oleh 50.000 sopir truk Perancis yang dimulai
pada tanggal 17 November dan berakhir pada 12 hari kemudian. Pemogokan ini
adalah yang paling sighnifikan karena ia bukan merupakan sebuah pertempuran
defensif yang sukses, seperti halnya pemogokan Desember 1995, tetapi merupakan
sebuah pertempuran offensif yang sukses. Para sopir truk tersebut memenangkan
tuntutan utama mereka --pemotongan jam kerja tanpa pemotongan gaji dan
pemendekan umur pensiun dari 60 sampai 55 setelah 25 tahun bekerja. Keputusan
akhir juga menyertakan janji pemerintah akan adanya tunjangan gaji rutin selama
5 hari sebagai ekstra.
Kunci kemenangan para sopir truk
tersebut adalah solidaritas massa yang mereka terima dari buruh Perancis yang
lain. Seperti yang dilaporkan oleh majalah Time edisi London: “Menurtn polling
pendapat, 87% dari para sopir yang diwawancarai setuju dengan tuntutan para
sopir mengenai peningkatan upah, pemotongan jam kerja dan masa pensiun 55 tahun
sebagai hal yang dianggap fair”. Harian London juga melaporkan bahwa selain
jalan-jalan yang diblokade, pom bensin kosong dan kerumunan massa yang tidak
seperti biasanya, para pemonton yang simpati secara aktif memberikan dukungan
kepada para pemogok. Ini, termasuk pula para pemilik restoran dan para pemilik
usaha kecil yang men-support para pomogok yang memblokade jalan dengan makanan,
kopi dan uang.
New York Times edisi 30 November
merangkum alasan mengenai kemenangan atas dukungan masyarakat :“Walaupun
pemerintah bukan pihak yang langsung dalam perselisihan tersebut, pemerintah
telah dilemahkan olehnya. Simpati masyarakat yang meluas terhadap para sopir
truk mencerminkan peningkatan melemahnya negara dalam hal ekonomi dan semakin
mendalamnya ketidak puasan terhadap pemerintahan konservatif Presiden Jacques
Chirak yang berumur 17 bulan itu.” “Persetujuan itu juga hembusan lain terhadap
kebijakan pemerintah dalam hal memegang jalur keuntungan kaum buruh dan
perubahan dalam hal aturan kerja...”
Dalam sinyal yang lebih jauh
mengenai kelemahan tersebut, Perdana Menteri Alain Juppe berusaha tidak
mengancam untuk menggunakan paksaan guna membersihkan berikade-berikad, dan
nampaknya ketakutan akan memprovokasi pemogokan yang lebih luas lagi. Hal yang
secara khusus mengganggu penguasa kapitalis adalah apa yang dimulai di Perancis
pada penghujung tahun 1995 sebagai pertarungan yang bagus perjuangan defensif
terhadap perusakan yang intensif oleh kapitalis global terhadap standar
kehidupan massa --satu-satunya hal yang benar-benar mengglobal di bumi dewasa
ini-- telah memimpin ke arah perjuangan yang sukses dengan kharakter yang
secara terang offensif. Para sopir truk Perancis berjuang mendemonstrasikan
bahwa serangan sosial dan ideologis kaum borjuasi kehilangan kredibilitasnya
dan kaum buruh memperoleh kembali kepercayaan diri mereka untuk membangkitkan
pertempuran defensif yang sukses, mereka akan segera memperbaiki kepercayaan
diri untuk meningkatkan kontra-offensif yang pasti datang. Pelajaran utama dari
pemogokan para sopir truk Perancis tersebut adalah bahwa aksi massa yang
militan dan solidaritas perjuangan kelas, kelas kita tidak dapat sekedar
memblokade serangan kapitalis atas standar kehidupan kita tetapi memaksa mereka
agar mundur. Pada permulaan abad ke-21 ini, hal itu merupakan konsep
globalisasi yang benar-benar mengagumkan.